BAGIAN KEDUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bu Ane mengamati Lana yang tengah tertidur pulas. Malam ini cukup tenang, entah apa yang membuat perubahan ini terjadi. Lana jauh lebih tenang saat menjelang malam.

Ponsel Bu Ane bergetar, ada panggilan masuk. Dia melangkah keluar.

"Halo, ada kabar apa?" tanya Bu Ane sambil menuju ke ruang keluarga. Ruang ini juga merangkap ruang kerja. Saat harus lembur, Bu Ane dapat menemani Lana sekaligus.

"Semua normal, Bu. Tadi Lana belajar seperti biasa. Tapi ada satu cowok yang sepertinya dekat dengan Lana. Ibu tahu?" ucap seseorang dari seberang.

"Cowok? Seperti apa orangnya?" tanya Bu Ane dengan nada sedikit cemas.

"Orangnya rapi, tampan, putih, tingginya sekitar sejengkal di atas Lana. Oya, tadi dia pakai seragam basket."

Bu Ane mencerna semua rincian Rian. Ya, yang menghubungi Bu Ane adalah Rian. Sang bodyguard.

"Saya kenal dia, namanya Arka. Dia kakak kelas Lana."

"Lana sangat nyaman saat bersama Arka, Bu. Saya pikir Arka bersih dari tuduhan," ujar Rian hati-hati.

"Oke, kasih tahu saya kalau ada yang mencurigakan. Segera!"
"Baik, Bu."

Hubungan telepon terputus. Bu Ane bernafas lega, seharian ini semua lancar. Malam ini pun dia bisa tidur nyenyak.

*****

Beberapa bulan kemudian...

Bu Ane agak melonggarkan pengawasan terhadap Lana. Tapi Rian tetap pada tempatnya, hanya saja tidak harus melapor sesering sebelumnya.

Lana merapikan rambutnya, baju olah raga dilipat rapi dan masuk tas plastik. Dara belum selesai ganti baju.

"Dar, udah belum? Buruan, bentar lagi pelajarannya Pak Roni, loh," ujar Lana mengingatkan. Pak Roni guru Matematika, dia paling tidak suka ada yang terlambat masuk kelas, di saat jam dia mengajar.

"Lo duluan aja, Lan. Gue bentar lagi juga beres, kok."
"Ya udah, gue duluan, ya." Lana melangkah keluar.

Saat melewati taman tengah menuju kelas, Lana melihat seorang pria sedang merapikan tanaman. Pria itu mengamati sekeliling.

Lana tersentak, dua matanya melebar. Tubuh gemetar, keringat dingin membasahi seragamnya. Plastik yang digenggamnya terlepas dari genggaman. Lana ingin teriak tapi bibirnya mendadak kelu.

Dalam hitungan detik ....
"Aaaaaaaaa!!" Lana berteriak, suaranya menggema ke semua area sekolah.

Dara yang sedang menyisir rambutnya, segera keluar toilet. Arka yang mendengar teriakan Lana, juga keluar kelas. Kebetulan saat itu jamkos di kelasnya.

Arka bertemu Rian tepat di tempat Lana terkulai pingsan.

"Tolong, bawa Lana ke UKS. Temani dia, jangan ditinggal sampai aku datang," kata Rian dengan nada tegas.

Arka mengangguk. Lana dibopong menuju UKS. Berpapasan dengan Dara, Arka langsung mengajaknya. Tidak enak kalau mereka hanya berdua nanti.

Di taman, Rian menghampiri pria yang mungkin adalah penyebab Lana pingsan. Rian menginterogasi pria itu.

"Saya tukang kebun baru, Mas. Karena panas saya pakai masker dan topi. Saya juga kaget, tiba-tiba ada yang teriak-teriak." Pria itu ternyata seorang bapak-bapak, umurnya sekitar 50-an.

Rian tahu bapak ini jujur. Banyak saksi yang mengenalnya. Beliau orang baik. Trauma Lana belum sembuh benar.

Di UKS, Lana belum sadar juga, Arka terus di sampingnya. Menggenggam jemari Lana lembut, mengajaknya bicara, melakukan apa saja untuk menyadarkan Lana.

"Lan, kamu dengar aku kan? Kita semua nunggu kamu di sini. Ayo, bangun!" Arka mengambil minyak aromaterapi, lalu mengoleskan di ujung hidung Lana.

Dara yang juga di ruangan yang sama, hanya menunggu.

"Cuma kita yang tahu soal penculikan itu, Ka. Kasihan Lana, traumanya belum hilang," ujar Dara sedih.

"Karena itu aku selalu ngawasin dia, Dar. Tanpa dia tahu, karena setelah kejadian itu, mama Lana sangat protektif. Kami sempat jauh, padahal ...."
Ucapan Arka terhenti, kurang pantas rasanya cerita soal perasaannya. Dalam kondisi Lana pingsan pula.

"Kok, nggantung ceritanya, Ka? Cerita aja kali, gue kan sahabatnya Lana. Gue tahu kalau Lana suka sama lo. Gue tebak elo juga suka Lana, kan?"

Arka menunduk tersenyum, lalu kembali berusaha menyadarkan Lana.

"Ma ... Ma! Lana takut, Lana mau pulang." Lana mengigau. Arka terus memanggil Lana, dan mengajaknya bicara.

Hanya sekejap setelah itu, Lana sadar. Arka menarik nafas lega.

Rian yang duduk di luar ruang UKS, segera menghampiri Lana.

"Emm, mama." Lana membuka matanya perlahan. Kepalanya pusing dan dia berusaha mengingat semua yang terjadi. Saat mengingatnya Lana kembali panik. Nafasnya memburu, dia meringkuk, memeluk lututnya, matanya mengawasi seluruh ruangan.

Bu Ane tiba, langsung memeluk putrinya erat.
"Tenang Nak. Mama di sini. Tidak ada apa-apa, tenang."

Lana traumanya akan muncul saat melihat orang memakai masker bergambar tengkorak. Bapak tukang kebon tadi salah satunya.

"Tante, ayah saya kebetulan psikiater. Kalo diijinkan biar Lana terapi sama ayah saya," ujar Arka hati-hati.

Bu Ane setuju, terapi sebelumnya tidak membawa hasil.

*****

Terapi berjalan lancar, rutin Lana konsultasi seminggu sekali. Obat juga harus Lana minum teratur, untuk mengatur emosinya.

Karena terapi ini, pertemuan Lana dan Arka semakin sering.

Di atas motor, Lana membonceng Arka. Arka sesekali melirik Lana lewat kaca spion. Lana yang sadar diperhatikan, tertunduk malu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jangan meleng bawa motornya." Lana mengalihkan perhatian Arka.
"Liatin kamu nggak boleh? Kamu kan cewek istimewa buatku."

Arka menghentikan motornya di depan sebuah kafe.

"Aku serius, Lan." Arka membuka percakapan setelah sekian waktu mereka terdiam

"Serius soal apa, Ka?" tanya Lana lirih. Jantungnya berdegup kencang.

"Ya, soal kita. Aku ingin bisa dampingi dan lindungi kamu. Kamu ... mau jadi pacarku?"
Pecahlah suasana, Arka lega sudah mengutarakan isi hati. Tinggal menanti jawaban dari Lana.

Lana mendongak, tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Namun tatapan Arka, sudah memperjelas semuanya.

Lana mengangguk. Hanya sebuah anggukan, senyum tulus, sekaligus tersipu, menjadi jawaban yang membahagiakan untuk Arka.

Arka, adalah sosok yang nantinya bisa menyembuhkan trauma Lana. Lana selalu tenang dan nyaman saat di dekatnya. Kebetulan pula ayah Arka ahli medis dunia kejiwaan.

Lana yakin dengan pilihan hatinya. Dengan bersama Arka, dia berharap kondisinya cepat pulih.

Kedua tangan saling bertaut, menatap matahari tenggelam di ufuk barat. Menyongsong harapan dan mimpi baru.

TAMAT



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro