Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Behari-hari sudah berlalu sejak pertemuan mereka malam itu. Tidak ada yang berubah, selain munculnya rasa sakit di gigi sebelah kirinya.

Airine merengut sepanjang waktu, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Bulir-bulir keringat terus berjatuhan karena panas, laju pernapasannya terlalu cepat, kulitnya terlihat kering, dia masih tidak terlihat baik-baik saja.

Airine sedang menerima barang toko yang datang, mengecek kesesuaian antara pesanan dengan barang yang datang, mengecek expired date di barang-barang tersebut, serta memastikan dalam kondisi yang layak untuk dijual kembali.

Dia sudah harus datang di toko jam enam pagi, membersihkan toko seperti menyapu, mengepel, mengelap kaca, menyapu halaman depan toko supaya terlihat bersih, dan bersiap-siap dengan modal untuk hari ini. 

Uang toko ditaruh di lemari yang terkunci, Airine dipercayakan untuk mengetahui lokasi kunci tersebut oleh pemilik toko. Pemilik sudah percaya padanya, melihat dari semangat kerja dan keseriusannya.

Namun, Airine tahu dengan begini dia tidak punya celah untuk berbuat kesalahan. Sekali saja dia membuat kesalahan, belum tentu dia akan mendapatkan kepercayaan ini lagi.

Airine mengenakan kaos kemeja berwarna hijau muda dengan celana panjang kain berwarna hitam. Rambutnya dia ikat supaya tidak berantakan, lagipula hal ini cukup menguntungkan mengingat panasnya suhu dua bulan terakhir ini.

"Hmm, semua udah beres. Tinggal nungguin anak-anak datang aja. Siapa tahu ada pembeli datang, lebih baik siap daripada terburu-buru," gumamnya sambil memijat keningnya.

Airine tipe orang yang pelupa, karena itu dia harus mencatat apa saja yang harus dia lakukan di buku catatan kecilnya. Namun, perihal dirinya dia tidak terlalu memperhatikan dengan baik.

"Selamat pagi wahai temanku yang masih aja pucat wajahnya," sapa Dandy sambil berdecak kesal.

Airine tersentak karena ucapannya yang tiba-tiba. "Eh, biasa aja kalo ngomong. Bisa nggak pake lampu sen dulu baru ngomong? Dehem dikit kek, atau ketok pintu dulu kek. Kayak nggak kenal aja aku gampang kagetan," omelnya kesal.

Dandy mengangkat sebelah alisnya heran. "Yaelah, biasa aja kali. Makanya punya resolusi sama masalah sendiri, dong. Dari jaman batu sampai udah modern gini masih aja kagetan. Kalau bos sendiri yang ngagetin emang kamu marahin juga? Mana berani,sih," balasnya lagi sambil tertawa.

Airine mengerucutkan bibirnya kesal. Dia selalu kehabisan kata untuk membalas omelan Dandy. "Teman macam apa coba kamu ini? Malesin, masih pagi juga udah buat aku kesal," balasnya lagi.

"Udah, deh. Berisik. Oh iya, aku hari ini cuman mampir ngasih ini doang. Hari ini aku masuk sore. Aku nitip ini, nanti Bumi ambil ke sini."

Airine menatapnya heran. "Kurang kerjaan bener jadi orang. Kamu ngapain jauh-jauh ke sini kalau mau ngasih ini doang? Dari tadi bukannya nitip aku sebelum berangkat. Kamu lupa kita tetanggaan?"

Dandy tertawa keras, dia selalu suka mendengar omelan Airine. Entah kenapa omelannya terdengar lucu di telinganya. "Tadi pagi aku masih di rumah Clairine, dia lagi sakit. Kamu tahu sendiri dia maniak kerja, sama kayak kamu."

Wajahnya langsung berubah, Airine menatap Dandy dengan tatapan sendu. "Kamu nginap di rumah dia?"

Dandy terdiam, dia lupa hubungan mereka ada di tahap yang rumit. Tidak ada kejelasan tentang siapa yang mereka sukai, dan bagaimana mereka akan meluruskan seperti apa hubungan ini akan berjalan.

"Ah, iya. Tadi malam aku mau main ke rumahmu, tapi aku ditelpon Clairine. Sempet main juga sama Bumi, mereka kan serumah. Namanya juga kakak sama adik, pasti serumah."

Airine mendengkus kesal. Entah kenapa dan darimana asalnya rasa kesal dan sedih ini, tapi dia jelas merasakan hal ini. "Kenapa harus kamu? Bukannya ada Bumi? Kenapa harus kamu, Dandy?"

Dandy menatap ke mata Airine yang menyiratkan kekecewaan. "Kenapa aku nggak boleh datang? Aku bisa aja datang, Airine. Kami berteman dekat, kalau kamu sakit pun aku pasti akan datang dan nemenin kamu."

"Tapi kamu tidak pernah nginap. Kamu lupa? Waktu itu aku dan Clairine sakit di waktu yang sama, pada akhirnya kamu lebih memilih Clairine, kan? Bullshit, kamu jelas lebih mementingkan dia dari aku. Sebenarnya nggak ada yang salah, karena ini hak kamu seutuhnya. Cuman ada rasa sakit yang anehnya malah aku rasain."

Mata Dandy membola, dia tidak tahu perihal ini. "Hah? Kamu nggak pernah ngomong soal itu. Kamu selalu bilang semuanya baik-baik aja, aku bisa pergi ketemu Clairine. Tapi, kamu malah memendam semua sendirian. Kalau kamu sakit, kasih tahu aku. Mau sakit fisik atapun perasaan, kasih tahu aku. Jangan pura-pura kuat, Airine. Jangan."

"Terus? Kamu mau apa kalau aku bilang aku nggak suka kamu dekat sama Clairine? Kamu emang bakal stay sama aku kalau aku minta kamu jangan pergi temuin dia? Nggak, kan? Kamu tetap akan pergi, Dandy. Jangan kasih aku harapan yang ujung-ujungnya nggak bisa kamu jaga. Jangan buat aku ngerasa aku ini spesial, kalau masih ada yang lebih spesial di hati kamu. Aku punya perasaan, aku nggak sekuat itu ngerasain sakit hati berulang kali."

Dandy meremas rambutnya kasar, kebiasaanya setiap kali frustasi dengan masalah yang dia hadapi. "Oke, kita sama-sama dalam kondisi yang kurang baik. Kamu lagi marah, kita nggak akan menemukan jalan tengah. Kita butuh kepala dingin baru bisa lanjut ngomong. Aku pergi dulu, ini obat dan makanan kamu. Aku tahu kamu belum sarapan dan jarang minum obat. Wajahmu udah pucat kayak gini, jangan nunggu pingsan dulu baru sadar butuh minum obat. Aku pergi dulu, kalau Bumi ke sini tolong kasihkan barang titipanku tadi. Aku pergi dulu," ucapnya sambil menepuk pundak Airine pelan.

Ada tatapan tidak rela di sana, dia masih ingin melihat dan memastikan Airine makan makanannya dan minum obat. Dia masih ingin memastikan Airine tidak pingsan setelah dia tinggal pergi ke tempat lain. Namun, dia dikejar waktu. Papanya bisa marah kalau dia tidak segera berangkat ke perusahaan papanya sekarang. Mengingat jalanan yang macet, dia harus spare waktu yang cukup supaya bisa sampai tepat waktu.

Airine memejamkan mata, menarik napas panjang menghirup aroma parfum Dandy sebanyak mungkin. Dia selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Mereka sudah bersama dalam waktu lama, sayangnya masih ada gadis lain yang sudah bersamanya sebelum dia datang ke hidup Dandy. Sialnya, Dandy merasakan perasaan lebih dari teman padanya.

"Kita bicarakan ini lain kali. Kamu pikirkan baik-baik soal perasaanmu. Sebaiknya kita segera luruskan ini, soal kamu dan Clairine , soal hubungan pertemanan kita juga. Aku pikirkan lagi soal kamu dan mas Elano. Sial memang, hidup udah susahgini, aku malah nambah kerumitan hidup dengan perasaan ini."

Dandy tertawa, "Yah, namanya juga manusia. Kalau bisa diperumit, kenapa nggak diperumit aja biar seru?"

"Seru apaan? Pusing iya," omelnya lagi.

Mereka kembali berbicara sebentar sebelum Dandy berpamitan. Tanpa mereka sadari dari kejauhan ada sepasang mata yang menatap mereka dari kejauhan, mempertanyakan hubungan keduanya dengan tatapan tidak senang.

-Bersambung-

1074 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro