Chapter 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagu Niki terdengar merdu, lagu yang menenangkan sekaligus memberikan luka di hati pendengarnya, mungkin hanya pada Airine saja. Rambutnya masih basah, guratan di wajahnya terlihat jelas, wajahnya terlihat pucat, tidak terlihat binar di matanya seperti sedia kala.

Airine menghela napas panjang, dia sudah tahu reaksi Dandy akan seperti ini. Dua manusia keras kepala yang tidak ingin berpisah satu sama lain, dua manusia yang sering berantem, tapi selalu merindukan kehadiran satu sama lain. Dua manusia yang menyangkal akan perasaan yang mereka rasakan, tapi tidak berani mengakui keberadaan perasaan ini.

"Dandy? Diem mulu. Lagi sakit gigi?" tanya Airine heran, meskipun dia sudah bisa menduga alasannya, tapi dia ingin mengajaknya berbicara.

Wajah kusut Dandy tidak jauh berbeda dari Airine, mereka sama-sama menderita dalam kegundahan yang ada. Tidak ingin mengakui perasaan yang dirasakan, tapi tidak ingin berpisah juga.

"Kenapa mau jaga jarak? Memangnya itu ngasih solusi? Rumah kita dekat, jauh lebih baik kalau aku anterin kamu ke tempat kerja, kita kerjanya juga di tempat yang sama. Aku bisa anterin kamu ke tempat sambilan kamu yang lain, kita bisa habiskan waktu makan siang bareng. Aku nggak pernah keberatan, Airine. Kenapa kamu mau pilih jalan ini?"

Airine mengerutkan kening, "Aku nggak pernah kepikiran kamu bakal keberatan, sih. Soalnya kamu juga yang ngajakin, jadi aku iya-in aja. Mumpung kamu bilang gini, sekalian aku tanyain, deh. Kamu keberatan? Kamu kecapean, nggak, sih? Secara kamu juga ada kerjaan selain di toko, kan?"

"Hah? Apaan? Kamu bicara apa, sih?" tanya balik Dandy dengan gugup.

Airine tertawa keras, sungguh jelas sikap Dandy kalau berbohong. Dia tidak akan berani melirik ke arahnya, dan mengalihkan topik segera secepat kilat.

"Yakin? Kamu kira aku sebego itu, tuan muda Dandy? Kamu aja yang bego, udah punya privilage sebagus itu dan kamu milih buat bekerja sama aku? Kamu bisa bekerja di perusahaan papamu, tempat yang jauh lebih nyaman. Masa depanmu terjamin, kamu nggak perlu kerja keras di tempat lain. Kenapa kamu tidak manfaatin itu? Kenapa kamu harus berdebat dengan papamu demi bekerja di tempatku bekerja?"

Dandy menyeringai, dia terlihat tidak senang dengan ucapan Airine barusan. "Tempat yang menyenangkan? Kamu tahu apa soal aku? Kamu tahu apa soal keluargaku? Seenaknya aja kamu bilang kayak gitu. Pertemanan selama ini ternyata tidak membuatmu mengenalku, ya? Bodohnya aku ngerasa sakit hati dengerin ucapanmu barusan. Seakan-akan semua yang aku lakukan sia-sia," ucapnya kecewa.

Airine menghela napas panjang, dia bisa melihat kilatan kecewa di matanya. Perasaan bersalah menghantam relung hatinya, kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan hatinya.

"Dandy, sst. Udah, diem dulu. Iya, aku ngaku salah. Aku udah jadi manusia paling sok tahu yang pernah ada. Udah tahu nasib modelan gini, sikap teledor sepanjang masa, ceroboh masih jadi hobi nomor satu yang dilakukan tiap hari. Orang yang bersedia buat nemenin dan memahami sikap kayak gini cuman kamu doang, udah gitu aku malah nyakitin kamu. Bego emang, padahal kan hidup-hidup kamu, suka-suka kamu mau ngapain. Jadi, aku minta maaf. Meskipun aku sadar, nggak akan semudah itu buat kamu ngerasa lebih baik."

"Nah itu tahu," sela Dandy kesal.

"Iya, ih. Udah, kepalaku sakit nyut-nyutan banget. Dengerin kamu ngomel, malah buat aku makin sakit kepala. Kamu bawa obat, nggak?" omel Airine sekaligus menanyakan keberadaan obat yang selalu dia bawa.

Dandy tertawa pelan, "Udah tahu masih butuh aku, malah sok-sokan mau ngusir. Nggak jelas kamu," omelnya sambil merogoh tablet yang ada di saku kemejanya. Dia sudah menyiapkan obat ini sejak masuk ke mobil untuk menjemput Airine. Di tengah kepanikannya, dia masih bisa memikirkan apa yang dia bisa lakukan setelah berhasil membawa manusia keras kepala ini menuju mobilnya.

Airine menirukan gerakan mulut Dandy, bibirnya mulai mengoceh tanpa suara. Airine terlihat lucu, tadinya dia mau lanjut mengomel, tapi tindakan Airine malah membuatnya ingin tertawa.

"Ngomel mulu, heran," sahut Airine setelah selesai menirukan cara Dandy mengomel. Dia sudah mengambil botol minum yang tersedia di sebelah kursinya, sengaja Dandy sediakan supaya mudah diambil saat keadaan mendesak dan butuh minum air putih segera.

"Kamu yang buat aku ngomel. Lagian nggak sopan niruin orang kayak gitu. Jangan lakuin ke orang lain, kamu bisa kena gampar," ucapnya dengan bijak.

Airine memejamkan mata sejenak setelah selesai minum obat, "Berisik. Aku tidur bentar, jangan turunin aku di pinggir jalan. Kamu tahu aku nggak tahu jalan pulang, aku udah merindukan kasur dan selimutku. Pengen teh manis hangat, pengen makan bubur ayam juga. Ih, banyak banget maunya, heran."

Dandy tersenyum lebar, Airine selalu punya cara untuk membuatnya jatuh bangun. Mudah baginya untuk membuat Dandy kesal, marah dan bahagia. Tingkah sembrono, tidak dipikir efek dan resikonya membuatnya kewalahan. Tapi, Dandy sadar dia tidak bisa lama-lama marah dengan Airine, karena pada akhirnya dia akan luluh dengan sendirinya.

"Siapa juga yang mau nurunin di pinggir jalan. Udah, deh ngebacotnya. Kamu istirahat, jangan begadan dan main ponselmu. Ingat idolamu ada di negara lain, lagipula dia nggak tahu kamu hidup di negara ini. Tahu nama kamu aja nggak, kan? Kalau kamu sakit, emang dia bakal rawat kamu? Jadi, jaga kesehatanmu. Ada waktu buat idola, ada waktu buat istirahat dan bekerja. Sadar dikit kondisi lagi nggak baik, makan yang bener, minum obat dan banyakin istirahat. Jangan keras kepala aja yang diandelin, sekali dua kali pikir yang bener. Ingat kalau umur makin tua, kamu butuh jaga kesehatan diri sendiri. Yah, meskipun aku tahu dia berperan cukup besar dalam menjaga kewarasan dan semangat hidupmu. Jadi, aku serahin lagi ke kamu mau ngapain."

Airine tersenyum kecut mendengar omelan Dandy yang tidak ada putus-putusnya. "Iya, deh. Heran aku, mamamu ngidam apa, sih? Seneng banget ngomelin orang lain. Iya, dia memang berperan besar buat aku. Kamu sadar dia itu motivasi aku banget. Idola aku bekerja sambil kuliah, sedangkan aku cuman kerja aja udah semaput gini. Capek banget woy, dan dia bisa nge-handle semua. Gila, kan? Emang hebat banget dia," pujinya dengan kagum.

"Ya, dia bisa. Baguslah, kamu jadi ada motivasi buat lanjutin pekerjaanmu. Tapi, boleh nggak aku minta kamu perhatiin jam makan dan istirahatmu juga? Kamu banyak habisin waktu buat kerja, kapan kamu istirahat? Kalau kamu sakit, yang ada uangmu kepake juga buat berobat," sahutnya mencoba menyadarkan Airine dari mode gila kerja dan masa bodo dengan kesehatan.

Airine tertawa keras. "Emang siapa yang mau ngabisin uang buat berobat? Gila aja, kali. Mending beli merchandise idola aku aja, lebih worth it. "

Ucapan yang dihujani lirikan tajam dari Dandy, tentu saja ini sasaran dari ucapan Airine barusan. Dia senang menggoda Dandy, begitu juga sebaliknya. Dua manusia dengan pikiran yang membingungkan, tapi satu yang pasti mereka ingin bersama.

-Bersambung-


1069 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro