Chapter 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elano ingin menggenggam jemarinya, sayangnya dia tidak berani bertindak sejauh ini. Wajahnya tidak seceria biasanya. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja.

Dia menggaruk hidungnya perlahan, dahinya berkerut, perasaannya jadi gundah gulana. Entah apa yang sebenarnya dirasakan Airine. Elano ingin mengetahuinya, tapi bibir itu terkatub rapat.

Airine tetap diam, dan hanya menatapnya dengan tatapan penuh kesedihan.

"Ai, jangan kayak gini, please. Kamu cuman nyakitin diri kamu sendiri," ucap Elano memohon.

Airine tersenyum tipis, bisa berada di dekat Elano benar-benar another dream come true. Sayangnya, mimpi hanya akan sebatas mimpi. Kenyataannya berbeda, rasa sakit ini semakin mengirisnya hingga dasar terdalam.

Matanya berkaca-kaca, bibirnya terkatub rapat, sinarnya perlahan meredup.

Besar inginnya untuk memeluk pria tampan di hadapannya, sayangnya dia hanya pengecut yang gemar berandai.

Bayangan Elano bersama gadis lain terus berputar dalam pikirannya.

"Mas ingat di ibadah terakhir, mas sama mbak cantik lagi main sama anak kecil," ujarnya pelan sambil menerawang jauh.

Elano mengerutkan kening lalu menatap Airine bingung. "Maksudmu Nathaniel?"

"Iya, masih ingat, kan mas?"

Elano mengangguk lagi, masih tidak paham dengan kemana Airine membawa topik ini.

"Iya, masih. Kenapa, Ai?"

Airine tersenyum lagi. "Kalian terlihat cocok bersama, mas."

Airine menunggu respon Elano, penasaran dengan apa yang akan diucapkan pria ini.

Sayangnya, dia hanya diam dan mengulum senyum. Dari sana, rasa penasaran dalam dirinya terjawab secara tidak langsung.

"Diam aja nih? Emang ada rasa apa kalian udah pacaran?" tanya Airine mencoba memberanikan diri.

Elano menggaruk kepala, wajahnya memerah. Salah tingkah membuatnya semakin lucu.

"Aku nggak berani ungkapin perasaan, Ai. Dia baik, sabar dan sempurna buatku. Kami sudah menghabiskan waktu untuk pelayanan selama bertahun-tahun. Aku terbiasa dengan hadirnya, Ai."

Airine mengangguk paham. "Terus, mas?"

"Aku nggak suka lihat dia ramah sama yang lain, maksudku sama cowok lain. Cuman pengen dia dekat sama aku. Tapi, aku nggak membuat komitmen juga dengan dia. Jadi, yah mau gimana, ya, Ai?"

Airine mengulum senyum, rasa sakit masih ada. Tapi, apa yang bisa dia lakukan perihal rasa? Semua penantian ini terasa sia-sia.

"Kamu kenapa lagi, Ai? Nggak capek murung mulu?"

Airine menggeleng pelan lalu mengangguk. "Capeklah, mas. Overthinking dua puluh empat jam per tujuh hari. Seminggu, nggak, sih? Tahu ah, capek mas."

"Ya ampun, masih aja ngelawak."

Airine tertawa. "Apaan, sih? Nggak jelas ih," ucapnya lagi.

Airine tertawa pelan. Kepalanya terasa berat, beban hidupnya sudah berat. Dia malah menambah beban dengan memikirkan perasaan yang tidak jelas ini.

"Senyum, kamu kelihatan lebih baik dengan senyuman itu," ujarnya sambil menampilkan senyuman yang disukai Airine.

Elano terlihat semakin tampan ketika tersenyum, tapi sebenarnya apapun yang dia lakukan terlihat baik di matanya. Pria dengan tubuh kurus, postur tubuh tegap, mata sayu, rambut hitam legam, bulu mata lentik, dia terlihat sangat tampan.

Airine sadar dia terlihat jauh lebih lelah daripada dirinya. Airine merutuk diri, menggigit ujung bibirnya keras.

"Ai? Kamu kenapa?" tanya Elano untuk kesekian kalinya.

Airine menatap dalam mata Elano, melihat sorot mata kekhawatiran dari sana. Sialnya, hal itu malah membuat degup jantungnya semakin berdegup kencang.

"Aku pengen kamu," gumamnya dengan suara sangat pelan, nyaris tidak ada suara.

Satu detik berikutnya, begitu menyadari perubahan ekspresi Elano membuat Airine sadar dan menyesali tindakannya.

"Hah? Maksudmu apa, Ai?" tanya balik Elano. Memang ucapan itu nyaris tidak ada suaranya, tapi Airine lupa jika gerakan bibirnya masih bisa terbaca.

Wajah Airine merah padam, rasanya dia ingin berteriak dan melarikan diri dari sana. Sayangnya, dia tidak sehebat dan secanggih itu. Dia hanya manusia biasa dengan beragam macam kekurangan.

"Ai? Kamu mau apa tadi? Aku bisa beliin selagi masih cukup uangku. Biar kamu seneng juga. Aku kangen senyummu. Jangan manyun terus. Bisa ya Ai?"

Ucapan yang begitu lembut darinya, senyumannya terukir manis di wajahnya. Airine nyaman dengan perlakuan manis Elano padanya. Sial memang, tapi Airine semakin dibuat bingung oleh perlakuan Elano padanya.

"Mas," panggil Airine sambil tersenyum manis.

Wajah tampan itu menatapnya balik, rambutnya lurus dan sedikit bergelombang membuatnya terlihat semakin tampan, mata sayu itu terlalu dalam memikat perhatiannya. Airine ingin selalu dekat dengannya, berada bersamanya dan berbagi kisah dengan dia.

"Apa, Ai?" tanya balik Elano.

Airine mengulum bibirnya erat. Dia mengepalkan tangan, berusaha menancapkan kuku ke telapak tangan. Dia ingin rasa sakit itu menyadarkan dia akan posisinya dalam hidup Elano.

"Mas suka sama mbak cantik?"

Pertanyaan ini mengundang tanda tanya darinya. "Hah? Kenapa nanya ini, Ai? Tadi aku udah jelasin, kan?"

"Jawab aku, mas. Sekali lagi, aku mohon. Jawab dengan jujur. Mas suka sama dia?"

"Suka sebagai teman atau apa maksud kamu?" Elano mencoba memperjelas pertanyaan Airine barusan.

Airine mendengkus pelan.

"Do you love her? I know you understand what i mean. Please, give me an answer. Do you love her?"

Elano menghela napas panjang. Seolah tengah mempertimbangkan jawaban terbaik untuk diucapkan.

"No need to give me another bullshit. Just answer my question without any lies, please."

Elano mengusap wajahnya kasar. Kilas balik pembicaraannya dengan beberapa orang kembali terngiang begitu jelas. Kejujuran itu ingin dia ungkapkan, tapi ini bukan saatnya. Dia butuh waktu lebih lama lagi untuk membiarkan Airine memikirkan ulang akan perasaannya dan membuat keputusan.

"Airine, aku menyayanginya sebagai teman, partner dalam pelayanan dan pengurus di komisi pemuda ini. Jujur aku belum memikirkan lebih jauh soal perasaanku, dan kurasa kamu sedang dilanda gundah karena perasaanmu ke Dandy, kan?"

Airine menunduk, nyeri di sekujur tubuhnya semakin menjadi-jadi, keram di beberapa titik membuatnya lesu dan tidak bertenaga. Badannya benar-benar terasa remuk. Begitu juga dengan perasaannya yang tidak karuan.

"Aku nggak mau kayak gini, mas. Aku capek. Capek dibuat bingung sama perasaan sendiri," ucapnya pelan lalu menatap dalam ke arah Elano.

"Mas tahu nggak kalau aku suka sama mas?" tanya Airine lagi sambil tersenyum tipis.

Ekspresi terkejut terlihat jelas di wajahnya. Airine sudah tidak lagi peduli dengan nasib hubungan pertemanan dia dengan Elano akan tetap bertahan atau luluh lantah seperti orang di masa lalu.

Airine sudah lelah menyimpan pikiran dan kegundahan ini sendirian. Dia tidak lagi mau memikirkan konsekuensi, dia ingin bebas untuk beberapa saat saja.

Airine menatap lekat ke arahnya, menanti respon darinya. Entah apa yang merasuki dirinya sehingga dia berharap Elano juga mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Sayangnya, Elano tetap di posisinya dan tidak kunjung memberikan respon.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro