Chapter 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Airine tersenyum tipis, terpancar kesedihan dari manik matanya. Degup jantungnya begitu cepat, wajahnya memucat, badannya semakin dingin. Wajahnya kusam, ditambah lagi dengan mata panda yang semakin melebar saja jangkauan luasnya.

"Ai, kamu yakin mau kayak gini? Buat apa? Kamu cuman nyakitin diri sendiri, bego," omelnya sambil menggeleng heran.

Airine menatapnya dengan tatapan sendu yang paling tidak dia sukai. "Ih, terus aja kamu pake tatapan kayak gitu, nyebelin tahu nggak?"

Dia menghela napas panjang lalu mengedikkan bahu. "Yah, mau gimana lagi? Kerjaanku kacau, keluargaku juga kayak gini kondisinya," ucapnya pelan.

"Kayak gini maksudnya?" tanyanya mencoba memperjelas pernyataan Airine barusan. Tangan Elano gatal ingin merapikan helai rambut yang terurai menutupi mata kiri Airine. Rambutnya terlihat berantakan, begitu juga dengan kondisi perasaannya yang kacau balau. Tangannya baru saja digerakkan untuk merapikan helai-helai rambutnya, tapi Airine mengangkat tangan dan mengehentikan apapun yang hendak Elano lakukan.

Senyuman darinya tidak terlihat menyenangkan, senyuman yang dilipuri lara mendalam. Perasaan yang terlihat jelas dari kilat sorot mata dan gerak-geriknya.

"Maaf, nggak bermaksud. Hmm, terus kenapa? Kamu belum jawab pertanyaanku barusan," ucapnya berusaha mencairkan suasana. Semenjak Dandy beranjak dari tempatnya berdiri, Airine kembali menjadi dia yang cuek dan dingin. Senyuman manisnya hilang, dia tidak lagi seperti Airine yang Elano kenal.

"Kenapa apaan? Oh yang tadi?" tanya Airine sambil menggeleng pelan. Matanya sudah berkaca-kaca, entah apa yang dia pikirkan. Namun, hal ini terasa menyakitkan bagi Elano dan pastinya Dandy juga merasakan hal yang sama.

Airine menyadari kegelisahan darinya lalu tersenyum, ada rasa sakit yang menjalar dalam lubuk hatinya. Dia terus berusaha mengelak perasaan yang terus tumbuh dari hari ke hari, sayangnya hal ini tidak semudah yang dia kira. Airine berada dalam ambang kebimbangan, saat ini dia merasakan berada dalam titik tergundah yang pernah ada. Dia tidak tahu hal ini akan semenyedihkan ini.

"Nggak usah pura-pura bego, deh. Mas bahkan lebih dekat sama mama daripada aku dekat sama mamaku sendiri. Mas udah tahu kondisi keluargaku dari dulu sampai sekarang macam apa, nggak usah mengelak gitu. Nggak guna, jujur."

Suasana menjadi tegang, Elano tidak mengira Airine akan tahu jika Airine sudah mengetahui hal ini.

"Santai aja, nggak ada yang salah juga, kok. Lagian nggak ada yang salah dengan menjaga hubungan antar jemaat, apalagi mas juga aktif di pelayanan. Mama juga mulai aktif di pelayanan, meskipun tidak mau jadi bagian dari panitia. Yah, aku harap mas dan rekan-rekan lain bisa memaklumi karena mama punya kegiatannya sendiri dan waktunya tidak tetap. Mas paham maksudku, kan?"

Elano mengangguk paham. "Yaudah, terus soal Dandy gimana? Kamu mau buat dia salah paham dengan cara kayak gini?"

Airine mendengkus kesal. "Kenapa? Nggak suka? Takut pacarmu salah paham ya, mas?" ulti balik Airine.

"Hah? Apaan, sih? Orang nggak ada yang bilang udah punya pacar juga," bantahnya tidak terima dengan tuduhan yang dilayangkan barusan.

"Udahlah, ngaku aja. Lagian tiap ibadah juga aku bisa lihat kalian dekat banget. Kalau duduk pasti bersebelahan, pasti saling godain satu sama lain, kalian memang cocok. sih. Mas aktif di pelayanan, dan dia juga anak teologia, kan? Pas banget, loh. Nggak kayak aku yang kelakuannya nggak patut ditiru. Mas pantas kok sama dia, kalian sama-sama cantik dan ganteng. Pasangan yang ideal secara rohani dan jasmani," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Elano menarik napas panjang lalu menghela napas lagi. "Senyuman palsu. Buat apa? Cuman buat orang susah hati ngeliatnya," kritiknya dengan raut wajah kesal.

"Berisik. Udah deh, yang penting Dandy udah pergi dari sana. Aku capek banget, aku awalnya suka sama mas Elano. Cuman semua berubah, aku juga nggak tahu kapan berubahnya. Satu yang pasti, rasa itu bertumbuh semakin dalam dari hari ke hari. Aku menyayanginya, mas. Aku sayang sama Dandy. Sayangnya perbedaan diantara kami terlalu kentara, semacam tidak ada masa depan untuk kami berdua."

Elano sesekali menatap ke arah Airine, lalu kembali menatap pemandangan alam di depannya. "Kamu tahu darimana nggak ada masa depan untuk kalian berdua?"

Airine tertawa pelan. "Gampang, cukup perhatian keadaan dan mas akan paham apa yang aku maksudkan. Aku bukan siapa-siapa mas, cuman anak yang banting tulang kocar-kacir nyari pekerjaan biar bisa bertahan hidup setiap harinya. Sayangnya anak ini malah memilih memberikan perasaan dan hatinya ke seorang pria muda yang akan menikah, mungkin saja mereka sudah bertunangan dan semua dilakukan secara privat.

Elano memutar bola matanya malas. "Kebiasaan, deh. Udah ayo kita berdoa lalu aku antar kamu pulang. Ini udah malam, nanti kamu makin diceramahin sama mamamu."

"Lagian dimarahin sekali lagi atau dua kali lagi juga nggak masalah. Aku udah terbiasa dengan makian, marahan, dan segala macam perkataan menyakitkan lainnya. Mas tahu, kan, kalau beauty privillage itu beneran ada? Aku mau jadi cantik karena hal itu, mas," ucapnya sekalian mencurahkan isi hatinya.

"Oh ya? Ngomong-ngomong soal kecantikan, kita bisa akses untuk mendapatkan kosmetik hanya dari rumah. Kamu paham, kan, adanya e-commerce memudahkan sebagian besar orang."

Awalnya Airine sudah mengantuk, tapi berada di luar rumah dengan perut keroncongan benar-benar menyusahkan.

"Yakin? Ya udah kalau masih bisa nahan lapar sampai acara ini selesai," tanya Elano lagi.

Airine hanya mengangguk, badannya sudah lemas dan kepalanya pusing, tapi dia tidak mau mengatakan apa-apa ke orang yang ada di sana, cukup dia tahu saja.

"Yakin-yakin aja, sih. Adanya e-commerce ini membantu orang yang ingin tasnya saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kamu juga harus hati-hati kalau beli kosmetik di sosial media."

Airine mengerutkan kening bingung. "Hah? Oh iya, bisa pakai aplikasi dan check KLIK, kemasan label, izin edar dan tanggal kadaluarsa. Yah, memang kita butuh sosialisasi untuk menelaah kode yang ada di sana," jawabnya tidak fokus karena ada suara mobil berhenti di depan rumah.

Angin berhembus semakin kencang, Elano dan Airine mengeratkan jaket yang mereka kenakan. "Sok tahu, deh. Lagian aku udah biasa dimarahin mama, kok, mas. Jadi, santai aja. Hal yang terpenting adalah urusan ini selesai dan jelas. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita. Mas paham, kan?"

Elano berdehem pelan, pikirannya masih bekerja keras berusaha mencerna apa yang sudah disampaikan dan semua rencana yang mau diujicobakan.

"Hmm, yaudah. Mas mau jemput dia dulu. Hari ini kan dia ke sini buat latihan pelayanan lagi. Kamu mau ikut jemput dia?"

Airine berseri-seri mendengar ajakan tadi, jarang sekali dia mendapatkan ajakan dari Elano yang terdengar cuek dan dingin, padahal senyumannya sangat manis dan menenangkan.

"Kebiasaan, deh. Aku cuman akan jadi obat nyamuk diantara kalian mas. Lagian berkaca dari ibadah terakhir, kalian kelihatan asik-asik aja berdua. Kalau aku ikut, malah jadi akward banget loh. Jangan gitu, deh, mas," tolaknya secara halus.

Penolakan ini kembali membawa kegundahan dan tanya tanya dalam sanubari, maju dan mundur sama-sama memberikan perasaan bersalah. Namun, dia tidak bisa memilih keduanya. Pertanyaannya adalah apa yang akan dia lakukan?

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro