Chapter 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elano tercengang, dia sudah lama menduga tentang perasaan Airine kepadanya. Namun, dia selalu berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.

Ternyata inilah kenyataannya. Airine tidak lagi diam membisu membiarkan perasaannya tidak terungkapkan.

Airine menatap lekat mata Elano, degup jantungnya semakin cepat menanti jawaban dari cowok itu. Sayangnya, dia hanya menemukan ekspresi kebingungan dari sana.

"Mas bingung ya? Maaf sudah buat mas dalam posisi sulit. Aku cuman mau mengungkapkan perasaan yang dulu pernah ada," ucapnya pelan.

Setiap perkataan terasa sulit untuk terucap, matanya memanas, air matanya sudah bersiap untuk keluar. Wajah Airine terlihat kurang baik, dia ingin berlari dari sana dan berdiam diri dalam kamarnya, atau kemanapun dimana hanya ada dia dan orang yang menyayanginya. Namun, Airine terlalu berekspektasi tinggi. Kenyataannya tidak seindah ekspektasinya.

"Ah, Airine. Maaf, kamu nggak salah. Nggak perlu minta maaf. Aku paham kamu mau ungkapin perasaanmu dan itu nggak salah. Hanya saja aku tidak menganggapmu lebih dari teman. Aku mendekatimu biar aku tahu dan kenal anggota yang ada di ibadah remaja, hanya sebatas itu. Lagipula, ada orang lain yang aku sukai, Ai."

Airine tercekat, tidak menyangka akan sesakit ini  begitu mendengar langsung dari bibir Elano. Penolakan ini  sudah berulangkali masuk dalam pengandaian yang mungkin terjadi. Dia sudah berusaha memahami jika tidak semua hal akan berjalan seperti yang dia inginkan.

Namun, rasa sakit itu terasa sangat menyakitkan. Airine tersenyum kaku, pandangan matanya kosong, sorot mata yang menyiratkan kepedihan teramat dalam.

"Ai, maaf. Kamu pasti akan menemukan orang yang lebih baik dari aku. Kamu pasti bisa, aku rasa kamu hanya ikut arus aja. Bisa aja ini perasaan nyaman yang kamu anggap salah, Ai."

Airine menatap lama ke arah lain lalu kembali menatap mata Elano dengan tatapan sedih.

"Maksud mas aku berlebihan?"

"Bukan gitu, Ai. Kamu butuh tenangin pikiranmu dulu. Kamu pasti kecapean, nanti kalau udah tenang baru kita bahas ini lagi. Oke?" tawar Elano lagi.

"Mas, buat apa orang yang jauh lebih baik kalau ada mas Elano? Kenapa harus yang lain kalau aku maunya mas Elano?" tanya Airine dengan air mata bercucuran.

Tangannya meremas baju di dada dengan kuat, sambil memukul dadanya kuat. Airine berusaha meredakan rasa sakit ini, namun dia tidak bisa.

Elano meraih jemari Airine dan menggenggamnya erat.

"Airine, nggak harus aku, Ai. Aku tidak menganggap kamu lebih dari teman, kalau kita teruskan juga pecuma saja," gumamnya pelan.

Elano terlihat lelah, sementara Airine semakin berbeban berat karena merasa sudah menjadi beban bagi Elano.

"Percuma kenapa?" Sejujurnya Airine sudah menebak kemana arah pembicaraan ini, hanya saja dia ingin mengulur waktu lebih lama. Airine ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Elano, meskipun dengan pembicaraan yang menyakitkan dirinya sendiri.

Elano menghela napas panjang. "Kamu sudah tahu jawabannya, Ai. Melanjutkan hubungan yang tidak didasari perasaan sama-sama suka hanya akan menyakiti salah satu pihak atau bisa juga menyakiti kedua belah pihak. Aku nggak mau menyakitimu lebih dari ini. Biarkan aku jadi kakak yang baik buat kamu, saudara yang membantu menguatkanmu bukan menambah lukamu, Ai."

Airine tertawa pelan. "Mas, aku sudah terluka. Aku butuh penawar luka, bukan penambah luka," ucapnya penuh penekanan.

Elano ingin menanggapi ucapan itu, namun tidak jadi dia ungkapkan. Elano paham situasi sekarang kurang bagus. Mereka hanya akan menambah luka satu sama lain.

"Airine, pertama aku minta maaf karena menambah lukamu. Tapi ini demi kamu juga, kalau aku iyakan permintaanmu untuk menjalin hubungan lebih dari teman, kamu sendiri yang akan menderita karena aku tidak mencintaimu."

Airine tidak bersuara, dia ingin merengkuh dan memeluknya erat. Sayangnya, dia tidak memiliki hak atas itu. Mereka tidak lebih dari teman.

"Kapanpun kamu butuh teman untuk mendengar keluh kesah, meminta bantuan, atau apapun itu. Kumohon jangan sungkan untuk datang. Aku akan selalu ada buatmu, kamu butuh ruang untuk berpikir. Aku pun demikian, saat kamu merasa lebih baik mari kita bahas ini lebih dalam lagi tanpa harus menyakiti siapapun. Aku mohon percayalah, aku tidak mau menyakitimu, Ai."

Airine terdiam lalu tersenyum. "Ya, kita butuh ruang untuk berpikir. Aku setuju mas," jawabnya sambil tersenyum kaku.

"Ai," ucapnya mencoba memegang erat jemari Airine tapi dia mundur.

"Mas, sampai jumpa," ujarnya lalu berlari kecil kembali ke halte.

Airine ingin pulang sendiri dengan bus malam, menikmati angin sepoi-sepoi tanpa ada orang yang mengomelinya.

Tidak ada Dandy yang kerap kali mengomelinya jika tidak ada kabar, tidak ada Elano yang perhatian padanya, tidak ada Bumi yang gemar mengomelinya dua puluh empat jam per tujuh.

Sekarang hanya ada dia dan penumpang lain yang terlihat kelelahan. Airine menikmati dinginnya malam, memejamkan mata dan menarik napas dalam lalu menghembuskannya.

"Percuma, semua sia-sia. Aku hanya ingin pulang, aku ingin disayang, tapi mereka menjauh. Mas Elano nggak ada rasa ke aku, Dandy juga akan tunagan dan menikah, lalu aku gimana? Semua semakin menyedihkan. Ternyata mengikuti tawaran dari atasan tidak ada salahnya. Menjauh dari semua hingar bingar menyesakkan ini. Aku capek," gumamnya lagi.

Airine melihat ada seorang di kursi paling belakang memperhatikan gerak-gerik orang yang ada di depannya. Dia bisa melihat dari pantulan kaca jendela.

Airine membuka pesan masuk di ponselnya. Airine tersenyum membaca pesan dari Bumi, Dandy dan Elano.

Bumi

Hey, kamu dimana? Udah jam berapa ini woy. Ayo pulang, kabarin aku cepet. Kamu nggak lihat jeleknya ekspresi Dandy barusan? Dia khawatir kayak orang bego tahu. At least, tell me you are fine. Please, let me know, Airine.

Airine tersenyum, Bumi dan tingkahnya memang lucu. Namun, dia orang baik yang mau mengurusi kehidupan Airine di saat hidupnya sudah memusingkan. Airine melanjutkan ke pesan selanjutnya. Degup jantungnya semakin berdetak kencang.

Dandy
Ai, aku bodoh. Aku nggak terus terang soal yang terjadi diantara aku dan Clairine. Aku mohon, jangan kayak gini. Jangan ngilang, Ai. Kembali, aku mohon.

Airine senang, mendapatkan perhatian dari orang yang dia inginkan. Yah, dulu dia memang menginginkan Elano menjadi pasangannya. Namun, semakin lama bersama dengan Dandy membuatnya sadar dia sudah berpaling padanya.

Elano
Ai, udah di rumah? Aku bisa anterin kamu tadi :(
Please tell me once you arrive at home, okay?

Airine mau membalas pesan Bumi tapi layar ponselnya berubah jadi gelap karena batreinya hampir habis. Airine menghela napas lalu mematikan ponselnya. Dari pantulan itu dia menyadari ada pantulan cahaya dari belakang. Pantulan yang terlihat semakin nyata seiring dengan langkah seseorang ke depan.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro