Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elano Samuel Abraham mengunyah sebatang cokelat pemberian mamanya dengan tatapan kosong. Hembusan angin yang kencang tidak lagi mengganggunya dari kegiatan melamun ini, sesekali dia menghela napas lalu melirik ke dalam rumah.

Teras rumahnya tidak sebesar teras rumah tetangga di sebelah kanan dan kirinya, rumahnya juga biasa saja, masih kokoh untuk menjadi rumah dua orang di dalamnya. Sudah dua puluh tahun berlalu, penghuni rumah ini tidak lagi tiga orang, hanya tersisa dia dan ibunya. Kakak perempuannya sedang merantau di kota lain mencari pundi-pundi uang, sementara dia masih mencari lowongan pekerjaan.

Tidak mudah untuk mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan harapan, passion dan hal lainnya. Ketika ada yang pas, akan ada aja halangan yang menghambatnya untuk diterima.

Pada akhirnya dia akan kembali pulang dengan lapang dada dan mata dan hidung yang memerah. Badannya gemetar, wajahnya pucat, Elano selalu mempertanyakan berbagai macam hal terkait nasib masa depannya yang terlihat suram, entah apa maksud Tuhan, tapi semua terlihat begitu berat.

"Kenapa Tuhan ngasih cobaan berat gini, ya? Aku kasihan sama mama yang bela-belain lanjut kerja, padahal sering masuk angin. Aku udah coba cari kerja, Tuhan. Kenapa masih nggak ada panggilan gini? Ini sudah dua tahun sejak aku lulus kuliah. Kenapa masih kayak gini hidupku, Tuhan?" racaunya dengan nada gemetar.

Rasa sakit dan kecewa menguasai dirinya, memudarkan senyum yang sering terukir di wajah ovalnya. "Aku nggak mau mama sakit, aku mau mama sehat. Tuhan, biarin aku dapat pekerjaan, ya? Aku tetap akan aktif di pelayanan, tetap berusaha menjadi saksi hidup-Mu, tolong bantu aku, Tuhan. Kuatkan aku melalui semua ini," ucapnya lagi.

Elano sering mengajak Tuhan berbicara, walaupun tidak terlihat tapi dia yakin dan percaya kalau Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian. Dia selalu punya tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah.

"Yah, walaupun aku merengek kayak gini, tapi aku percaya Tuhan baik. Tolong beri kesehatan dan umur panjang untuk mama dan kakak, ya. Elano butuh mereka, sangat butuh mereka," ucapnya mengakhiri percakapan dengan Tuhan sebelum wanita paruh baya keluar dari pintu rumah dan menepuk pundaknya.

"Hei, lagi apa? Anginnya lagi kencang, Nak. Nanti kamu masuk angin," ucap wanita ini lagi sambil mengelus puncak kepala Elano.

Elano membalas senyumannya dan memeluknya dengan erat. "Ma, mama gimana keadaannya? Masih masuk angin? Mama mau dibuatin teh manis hangat?"

"Mama baik-baik aja, kok, Nak. Kan ada kamu yang siap merawat mama, jadi mama cepat sembuhnya. Kamu kenapa melamun sendirian di sini? Ada masalah, Nak?"

Elano menatapnya dengan tatapan sendu. "Ma, mau maskeran bareng? Hmm, atau mau minum teh hangat bareng? Habis itu Elano akan cerita ke mama," ucapnya lagi sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.

Dia mengangguk lalu mengusap puncak kepala Elano lagi. "Boleh, Nak. Kita ngobrol di ruang tamu aja, ya? Anginnya terlalu kencang, Nak."

"Siap, ma. Mama duduk dulu aja di dalam, Elano akan buatin mama teh manis hangat yang paling enak sedunia!"

Elano langsung bergegas ke dapur, mengambil dua cangkir dan membuatkan teh manis hangat. Minuman ini adalah minuman favorit mereka, pas di saat apapun. Di saat kedinginan atau kelaparan, sebab hanya ini yang bisa mereka sediakan. Untuk sepiring nasi dan lauk terkadang mereka kesusahan untuk mendapatkannya. Seringkali mereka berlatih untuk berpuasa sambil menunggu gajiannya dan sebagian gajian kakak perempuannya.

Matanya berkaca-kaca setiap kali melihat apa yang sudah mereka lalui dan kendala yang mereka hadapi sekarang. Kesulitan ini membuatnya kuat sekaligus semakin jatuh dalam kesedihan mendalam. Kesedihan yang membuatnya menarik diri dari segala macam kehedonan duniawi, termasuk keinginan untuk menjalin hubungan asmara, sebab dia masih fokus untuk mencari pekerjaan dan membahagiakan mamanya terlebih dahulu.

Elano kembali mendekat ke arah mamanya, setelah menaruh dua cangkir di meja, dia langsung menaruh kepalanya di atas paha mamanya. Pandangannya tertuju ke depan, dia tidak berani menatap langsung ke mata mamanya.

"Ma, kenapa Elano nggak dapat pekerjaan mulu, ya? Tuhan lagi marah ya sama Elano?" tanya Elano memulai pembicaraan.

"Hmm? Kok Elano ngomong gitu, sayang?"

"Habis udah dua tahun Elano lulus kuliah, tapi hidup Elano masih gini-gini aja. Elano udah berusaha biar bisa bantu mama dapat penghasilan, tapi kenyataannya Elano masih aja jadi pengangguran. Elano malu ma, teman-teman Elano bahkan sudah dapat pekerjaan saat mereka akan diwisuda, sedangkan Elano masih aja plonga-plongo model gini."

"Hush, nggak boleh gitu. Gusti Allah nggak suka kalau kamu ngomel sepanjang hari. Selalu ingat, nak, Tuhan itu baik adanya. Dia mendengar jeritanmu, dengar keluh kesahmu, Gusti Allah mboten sare, sayang. Dia nggak tidur."

Elano menatap mata mamanya lalu memajukan bibirnya perlahan. "Tapi, Elano capek. Elano capek berdoa sepanjang malam tapi doanya belum dijawab. Elano, kan, tetap setia buat ibadah, ma. Elano tetap setia buat jadi anak yang baik dan hamba yang baik. Kenapa seakan-akan doa Elano nggak dijawab, Ma?"

"Sayang, kamu tahu apa jawaban Tuhan? Jawabannya iya, tidak dan tunggu dulu. Ingat untuk setia dalam setiap perkara kecil, barulah kamu akan dipercaya untuk diberikan tanggung jawab yang besar. Tuhan selalu ada di dekat kita, ada di sini," ujarnya sambil menunjuk ke jantung Elano.

"Bersyukurlah untuk hal-hal kecil yang kamu punya, sayang. Kamu masih bisa berjalan dengan tegap, kamu masih bisa tersenyum, kamu masih bisa buang air kecil dan buang air besar, kamu masih bisa makan dan minum tanpa alat bantu, kamu bisa ingat semua dengan jelas dan yang paling penting kamu masih bernafas. Bersyukurlah sayang, itu semua kasih karunia Tuhan. Tetaplah berusaha dan tetaplah aktif dalam pelayanan, biarkan kamu jadi saksi hidup-Nya. Elano kuat, Elano bisa. Anak mama cuman dua dan mereka hebat dan kuat," lanjutnya lagi.

Dia mungkin tidak bisa merasakan apa yang dirasakan Elano, tapi dia cukup paham jika binar di matanya kembali bersinar. Harapan yang redup mulai memancarkan cahayanya perlahan-lahan. Elano duduk di sebelahnya dan mereka saling berpelukan, menyalurkan kehangatan kasih sayang.

"Ma, papa juga ada di sini, kan?" tanya Elano sambil memegang dada kirinya. Matanya sudah berkaca-kaca sejak mereka memulai pembicaraan ini.

"Iya, papa ada di sini. Selalu menjaga kita dan mendoakan yang terbaik buat kita. Papa nggak mau jagoan kesayangannya mudah putus asa, kamu selalu bisa diandalkan, jagoan paling hebat yang pernah papa dan mama tahu. Semangat sayang, dicoba lagi sambil didoakan biar Tuhan menguatkan kamu dan kita semua dan kasih kamu petunjuk kemana kamu harus melangkah. Sekarang siap-siap dulu, kamu ada pelayanan di gereja, kan?"

Elano mengangguk dengan semangat, bertemu kembali dengan teman-teman di ibadah membuatnya kembali bersukacita, dia selalu senang berbicara dengan orang lain sebab dari sana dia sadar masih ada orang lain yang juga menderita dengan penderitaannya masing-masing, dia tidak sendirian di sini, semua orang sedang berjuang untuk hidup.

-Bersambung-
1

077 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro