Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ibadah sudah selesai sejak setengah jam yang lalu, anak-anak mulai mengobrol satu sama lain. Mata Airine terus terpaku pada Elano, senyumannya yang tampan dan sikapnya yang ramah membuatnya terus terpana melihatnya.

"Eh, Airine mau minum susu jahe hangat lagi? Bisa kok kalau mau nambah, ada di dapur," ajak Aleta sambil menepuk pundak Airine dengan senyuman manisnya.

"Hah? Oh iya, oke. Terima kasih, Aleta," jawabnya pelan.

Fokusnya terpecah karena ucapan Aleta barusan, mood Airine perlahan menjadi buruk, terlebih lagi saat dia melihat interaksi antara Aleta dan Elano.

Airine menghela napas panjang sambil melirik ke arah cangkirnya yang sudah kosong. Perutnya mulai melancarkan aksi mengeluarkan bunyi keroncong dari dalam, matanya mulai memerah, kepalanya terasa berat, beberapa kali dia menahan biar tidak menguap. Dia tidak ingin orang lain menyadari jika dia nyaris jatuh tertidur di sini.

"Hei, Airine. Kamu oke?" tanya Elano pelan. Dia sudah berada di samping Airine entah sejak kapan, padahal daritadi dia masih berbicara dengan Aleta.

"Hah? Oh, oke kok mas," jawab Airine dengan ekspresi terkejut, dia tidak mengira Elano akan mendekatinya.

"Hmm, oke. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngabarin ya. Oh iya, kamu kerja ya di sini?"

Airine menatap lekat manik mata Elano lalu tersenyum. "Iya, mas. Di sini aku kerja."

"Kerja di mana?" lanjutnya lagi dengan penasaran.

"Deket, kok, dari sini. Mas jalan aja ke jalan raya, ada tempat kerjaku di sana. Aku tadi baru pulang kerja, terus ke sini. Jadi agak telat juga, sih, tadi."

"Oh ya? Wah, mantap juga."

Airine sudah tidak mampu lagi menahan kantuknya, pada akhirnya dia mulai menguap. Sialnya di sebelahnya ada Elano yang menatapnya sambil mengulum senyuman. Pupus sudah usahanya menjaga image bagus di hadapan dia.

"Kamu ngantuk? Boleh pulang kok, ini juga udah selesai. Biar kamu bisa istirahat juga," tawar Elano lagi.

Airine mengucek matanya perlahan, "Oke, mas. Ngantuk berat, mas. Mungkin karena aku minum obat antihistamin juga kali ya. Meskipun yang kuminum ini obat yang efek ngantuknya minimal, tapi tetep aja bisa terjadi perbedaan efek pada setiap orang. Aku kayak orang mabuk jadinya, jalan sempoyongan gini," jawabnya pelan.

"Kamu sakit?"

Entah kenapa terlihat ekspresi khawatir dari wajah manisnya, membuat Airine tersipu malu.

"Iya, mas. Lagi musim batuk pilek panas juga, sih. Biasa deh, perubahan cuaca dari panas ke dingin ke panas lagi, belum lagi polusi udara gini. Semakin menjadi-jadi, deh, penyakitnya."

"Hmm, gitu ya. Oke deh, kamu dijemput atau gimana?"

Airine menatapnya lama, lalu tersenyum. Seandainya ditawarkan untuk diantara Elano pun dia tidak akan menolaknya, kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan mas tampan yang membuat degup jantungnya menjadi tidak karu-karuan.

"Jalan, mas. Deket kok dari sini," jawab Airine pada akhirnya.

"Ya sudah, kamu hati-hati. Nggak mau minum lagi sebelum pulang?" tanya Elano, dia sudah melirik cangkir kosong miliknya sehingga dia ingin menawarkan minuman sebelum Airine pulang.

"Ah, udah, mas. Terima kasih ya, mas," jawabnya kikuk. Melihat senyuman manis dalam jarak pandang sedekat ini membuatnya grogi.

Airine langsung membereskan barang-barangnya sambil sesekali menguap, matanya benar-benar sulit diajak kerja sama , padahal dia masih harus memperhatikan langkahnya saat dia kembali pulang, tapi matanya seakan memintanya untuk segera tidur saat ini juga.

Elano ikut berdiri saat Airine berdiri dan berpamitan dengan teman-teman lainnya. Manik mata mereka bertemu lalu seulas senyuman Elano kembali terukir.

"Kamu datang lagi, kan, minggu depan?"

Airine mengulum senyum, ada perasaan senang yang hinggap dalam dirinya. "Iya, mas. Minggu depan aku datang lagi. Mungkin akan ada hari-hari dimana aku ijin dulu, mas. Ada kegiatan di luar kota. Nggak apa-apa, kan, mas?"

"Tentu saja tidak apa-apa. Santai aja. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Sudah ada nomor saya, kan?" tanya Elano memastikan, lalu dia melirik ke arah ponselnya dan mengetikkan pesan kepada orang lain.

Mata Airine memicing begitu dia melihat ada foto gadis cantik yang dipasang di wallpaper ponselnya. Ada rasa nyeri yang menjalar di dalam sana, rasanya dia ingin menanyakan siapa gerangan gadis ini? Kenapa dia ada di layar ponsel milik Elano?

Airine sendiri tidak menyadari jika dia juga memasang foto wallpaper dengan foto idolanya yang berasal dari negeri Thailand itu.

Pada akhirnya Airine menahan ujung lengan kemeja Elano, membuatnya berhenti mengetikkan pesan dan menaruh atensinya pada Airine, sebelah alisnya terangkat karena Airine tidak kunjung mengatakan maksud dari tindakannya barusan.

"Kenapa, Airine?"

Airine meneguk ludah dengan susah payah, rasanya dia ingin mengutuki diri karena berbuat senekat ini di hari pertama mereka bertemu kembali.

"Kakak lagi suka sama orang lain, ya?" tanya Airine out of nowhere.

Elano cengo menatapnya dengan ekspresi heran. "Suka sama orang? Emang kenapa? Kalau iya kenapa, kalaupun tidak juga kenapa?"

"Ih, gitu amat sih. Nyebelin," gerutu Airine sambil mengerucutkan bibirnya kesal.

Elano menggeleng pelan lalu mengajak Airine keluar menuju pintu gerbang. "Lagian, ya, kamu ngapain nanya kayak gitu? Apalagi kamu baru ketemu lagi sama aku, kan? Dimana sopan santunnya? Aku, loh, lebi h tua dari kamu," jawabnya dengan sarkas.

"Ya terus? Emang kalau lebih tua, aku nggak boleh nanyain kayak tadi? Bukannya aku juga punya hak buat menyatakan pendapat? Aku punya hak buat bertanya, kan? Daripada sesat di jalan, kan, mending bertanya, mas," ucapnya keukeuh dengan apa yang dia utarakan.

"Masalahnya nggak semua orang mau diusik urusan pribadinya, termasuk aku. Aku kenal sama kamu, kita sudah pernah ketemu. Jadi, nggak masalah buat aku kalau kamu bertanya model tadi, tapi aku mempertingatkan kamu untuk berhati-hati kedepannya. Kamu nggak tahu setiap orang responnya bagaimana ke kamu, kalau kamu sembrono gini, yang ada kamu juga yang sakit hati. Paham nggak, sih?"

Cerminan pria muda tampan dan baik hati perlahan memudar dari sanubarinya, tergantikan oleh pria muda menyebalkan yang gemar mengucapkan kalimat sarkas, terlebih saat mereka tinggal berdua dan tidak ada yang menguping sehingga dia bebas mengucapkan kata-kata sarkas ke Airine.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Mas balik aja ke dalam, masih ada Aleta sama yang lain pada nungguin orang yang lebih tua buat ajakin mereka ngobrol. Lagian aku masih punya mata buat melihat dan punya daya ingat buat mengingat kemana harus pergi ke rumah. Udahah, deh. Bye!" ucapnya lalu segera pergi dari hadapan Elano.

Elano menarik napas panjang lalu kembali ke dalam. Hari ini hari yang lelah, dia kembali berbicara dengan Aleta, Dimitri dan teman-temannya yang lain. Hari ini menjadi hari yang panjang dan melelahkan. Bertemu dengan orang modelan Airine membuatnya kembali ingat kenapa dia memilih menjaga jarak dari gadis moodyan tadi.

Elano menatap ke arah Aleta dengan ekspresi kebingungan. "Ale, aku mau nanya. Kenapa orang yang lebih muda itu sembrono banget?"

Aleta tertawa pelan, tanpa Elano ngasih tahu pun, dia sudah menduga kemana pembicaraan ini akan berujung dan siapa orang yang sedang dia pikirkan pun terbaca dengan jelas di pikirannya.

Mereka hanyalah dua orang dengan umur yang terpaut lima tahun, tapi cara mereka berpikir menjadi penghalang dan memercikan api perdebatan. Unik, entah sampai kapan mereka akan sadar dengan semua ini.

-Bersambung-

1130 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro