Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Airine menguap beberapa kali sembari mengusap wajahnya dengan kasar.

Kepalanya terasa berat, pandangannya perlahan-lahan menjadi kabur. Namun, masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan hingga shiftnya berakhir.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, shiftnya akan berakhir pukul sepuluh malam. Airine membersihkan piring dan gelas kotor di kafe tempatnya kerja sampingan, lalu membuang sampah di gang samping bangunan kafe.

Malam itu hujan turun dengan lebatnya, angin kencang ikut menemani hujan menyapa bumi. Hujan menambah ketentraman dalam lelap tidur sebagian manusia, tapi menghambat pekerjaan bagi manusia yang masih aktif bekerja di gelap dan dinginnya malam.

Airine berlari kecil menuju gang di samping kafe lalu membuka penutup bak sampah baru membuang kantong plastik besar yang dia bawa.

Airine bergidik ngeri begitu merasakan ada pandangan yang tertuju padanya, dia langsung berlari masuk ke dalam kafe.

Bajunya sudah basah kuyup, tapi dia tidak membawa baju cadangan.

"Duh, harusnya aku bawa baju ganti. Udah ngerti tiap malam suka hujan dadakan, malah santai aja jalan tanpa persiapan," omel Airine pada dirinya sendiri.

Salah seorang rekan kerja Airine datang mendekat. Terlihat jelas kemeja Airine basah, dia terlihat seperti anak kucing yang kejebur di kali.

"Airine? Kamu nggak bawa kemeja ganti lagi?"

Bumi Siwi speechless dibuatnya. Airine hanya tersenyum memamerkan deretan gigi yang rapi.

"Lupa. Tahu sendiri aku pelupa akut. Jadi, yah, mau gimana lagi?"

"Hmm, tapi kamu sendiri yang rugi. Nyadar nggak kalau ini udah sering banget kamu pulang basah kuyup? Mau sakit apa gimana, sih? Heran."

"Berisik. Aku udah diomelin dari pagi sampai siang sama Dandy. Kamu nggak usah ikut-ikutan ngomel. Kepalaku makin nyut-nyutan yang ada."

Bumi Siwi membulatkan matanya. "Hah? Mas Dandy?"

Airine tertegun, dia jarang membahas Dandy saat berbicara dengannya.

"Hmm, kamu kenal dia ternyata ya?"

"Maksudmu Dandy temennya kak Clairine?"

Airine mengangguk lagi. Wajahnya terlihat semakin pucat. "Ternyata kamu adiknya Clairine. Aku baru tahu pas ngobrol sama Dandy."

"Kenapa memang? Ada masalah?"

Airine menggeleng pelan. "Nggak, sih. Cuman aku ngerasa aneh aja sama perasaanku sendiri. Aku suka sama mas Elano, tapi aku benci lihat Dandy dekat sama Clairine. Aneh, kan?"

Bumi tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Airine dengan ekspresi bingung dan kasihan.

"Parahnya, aku nggak tahu apakah mas Elano juga suka sama aku atau nggak. Aku nggak tahu perhatian yang dikasih Dandy ini murni sebagai teman atau bukan. Aku juga nggak tahu tentang hubungan dia dengan Clairine seperti apa," ujarnya lalu menatap lekat ke arah Bumi.

"A-apa?"

Perasaannya mulai tidak enak, Bumi merasa ada niat terselubung dari ucapannya barusan.

"Clairine, kan, kakakmu sendiri. Kamu tahu nggak apakah mereka berdua pacaran atau nggak?"

Pria ini menghela napas panjang. Dia menatap jauh ke depan, mengingat setiap peristiwa yang pernah terjadi, juga tentang interaksi antara Dandy dan Clairine.

"Sebenarnya mereka tidak bertemu setiap hari, cuman di hari sabtu saat kak Clairine ada jadwal main ke panti asuhan. Kakak selalu suka main dengan anak-anak, setahuku Dandy juga gitu. Mereka sudah kenal sejak lama, bermain bersama dan saling mendukung. Itu yang aku lihat, tapi mereka akan mengatakan jika mereka hanya berteman setiap kali aku menggoda mereka berdua. Selalu seperti itu dari dulu hingga terakhir kali aku melakukan godaan semacam itu."

Bumi menemukan mata Airine berkaca-kaca, air matanya sudah siap untuk mengalir sewaktu-waktu.
Lalu, dia menghela napas panjang.

"Mereka hanya berteman. Teman dekat, itu yang aku tahu. Apakah ini sudah cukup menjawab rasa penasaranmu?"

Airine mengulum senyumnya, senyuman yang terlihat menyedihkan dan penuh luka di mata Bumi.

"Hmm. Makasih, ya."

"Kalau aku boleh ngasih saran, kenapa nggak ditanyain aja ke Dandy?"

Airine menggeleng pelan. "Nanyain apa hubungan dia dengan Clairine hanya akan berakhir seperti kamu yang menggoda mereka. Tidak ada jawaban jelas darinya. Aku juga sama, tidak tahu apa arti kesedihan yang aku rasakan dan kenapa?"

Airine melihat layar ponselnya, sudah ada lima misscalled dan sepuluh pesan belum dibaca. Airine tersenyum membaca ID-caller yang muncul.

"Time will heals, time will give the answer we need the most. Kamu tahu kalau menunggu bukan satu-satunya opsi. Kejar kalau itu membuatmu jauh lebih tenang, lanjutkan hidupmu karena hidup tanpa cowok bukan akhir dari hidupmu. Paham, kan?"

Kepala Airine semakin terasa berat, dia ingin tumbang saja rasanya. Sayangnya hujan seakan tidak ingin berhenti menyapa bumi.

"Kamu makin pucat. Ayo siap-siap pulang, waktu kerja udah habis. Kamu mau aku antar? Aku khawatir kamu pingsan di jalan. Kamu nggak mau buat aku dibabat sama Dandy karena nggak bisa bantu dia jagain kamu, kan?"

Airine memijat keningnya kuat. "Kamu juga sadar kalau kamu bisa aja laporkan kalau aku baik- baik aja. Aku cuman jadi beban, lagian kamu bukan pengurusku. Aku bisa jaga diriku sendiri. Kita sudah sama-sama gede, Bumi."

Bumi tertawa pelan. "Siapa yany bilang masih kecil? Ah elah, masalahnya aku sudah janji. Apalagi kamu kerja sambilan di tempat aku kerja. Kalau kamu ngerasa nggak enak badan, jangan ngomong kuat. Bilang aja, aku bantu anterin. Paham nggak sih aku ngomongin apa?" tanya Bumi kesal karena melihat tatapan kosong darinya.

"Bawel," desis Airine sambil memeluk erat dirinya sendiri.

"Kamu terlalu berpura-pura, padahal kamu tidak semestinya bersikap bisa hadapi semua. Aku udah hubungi Dandy, kamu pasti lebih menurut sama dia daripada sama aku."

Airine menatapnya dengan mata membola, tidak percaya dengan kenekatan rekan kerjanya ini.

"Hah? Ih, apaan sih? Aku nggak mau gangguin dia dulu, kamu malah hubungin dia. Gimana, sih?"

"Ck! Bawel, udah ih. Ini buat kebaikanmu juga. Sadar diri kapasitasmu sendiri, kamu butuh dia buat jagain kamu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa andelin dia buat nolongin kamu, Airine bandel."

Airine memajukan bibirnya, kesal dengan Bumi yang lebih pro ke Dandy daripada dirinya.

Airine kembali melanjutkan aktivitasnya, dia hanya melirik layar ponselnya. Banyak pesan dan telepon dari Dandy, tapi dia biarkan saja, toh mereka akan bertemu lagi.

"Eh, ini ada handuk. Nggak mau keringin dulu itu rambut basah?" tanya Bumi saat berpapasan dengannya.

"Berisik. Dikit lagi juga pulang," balasnya gusar.

"Yaelah, terserah, deh. Keras kepala amat jadi orang," gerutu Bumi lalu melanjutkan pekerjaannya sebelum bersiap pulang.

Kecepatan bekerja Airine perlahan melambat seiring dengan nyeri di kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Airine menyenderkan badannya di dinding lalu mengarahkan pandangan ke depan, dia melihat pandangan penuh kekhawatiran dari pria tampan yang dirindukannya.

-Bersambung-

Kota Batu Sangkar, 8 Oktober

Jumlah kata: 1027 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro