Bab 1: Koper Misterius

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu sunyi. Di atas jalan lintas, sebuah bus melaju dengan kecepatan sedang. Sayup terdengar suara dengkuran halus selagi lagu Sepanjang Jalan Kenangan diputar dengan volume rendah di radio. Di balik roda kemudi, sopir bus berusaha terlihat tenang kendati sepasang matanya terus mengerjap akibat lelah. Sesekali dia bersiul. Bergumam. Ikut melantunkan lirik lagu jadul tersebut guna menghibur diri dari rasa penat. Akan tetapi, sebetapa keras pun sang sopir berusaha bertahan, rasa kantuk diam-diam ikut menyelinap ke dalam mata tuanya.

Fokusnya terbagi dua dan dia menjadi kurang awas. Saat memasuki wilayah pedesaan, bus dengan nomor 24 jurusan xxx yang dia kemudikan tiba-tiba berguncang dengan sangat keras. Sang sopir pun mendadak panik. Baru menyadari jalanan yang terbentang di depan tidak rata; banyak lubang menganga berisi genangan air keruh yang menanti untuk dilewati.

Para penumpang yang tadinya tertidur pun tersentak seketika itu juga. Dalam sekejap suasana di dalam bus berubah ricuh.

“Gimana sih Pak!”

“Nyupir itu yang bener!”

Para penumpang bergantian menyumpah-serapahi. Sopir bus hanya bisa mengelus dada.
 
Sementara itu, di tengah riuh-rendah suara gaduh, seorang pria berwajah oriental, yang duduk di barisan kursi kelima, hanya memasang wajah kesal. Pria itu bernama Alfian. Dia mengerang. Menyentuh keningnya yang tanpa sengaja membentur kaca jendela. Diusap-usapnya sedikit, lalu bermaksud untuk tidur lagi. Namun, rasa kantuk yang semula mendera, kini telah hilang sepenuhnya.

Alfian menguap lebar. Melihat keluar jendela, dia dihadapkan pada pemandangan tiang listrik berikut kabel-kabelnya yang mengular. Pepohonan seakan ikut bergerak seiring bus melaju di atas aspal. Ditatapnya langit yang kala itu terlihat begitu kelam. Tak ada satupun bintang yang dapat menghibur dirinya di atas sana. Kilat dan guntur berkedap-kedip, seakan membawa pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi.

Alfian meraih tas punggungnya ke dalam pangkuan. Merasa sangat haus, pria itu segera mengeluarkan botol minuman dari dalam tas. Rasa-rasanya baru beberapa detik berlalu. Tetapi bus lagi-lagi diguncang oleh lubang-lubang jalanan. Entakannya cukup kuat, mengakibatkan botol minuman yang hendak Alfian tenggak jatuh ke bawah kolong. Alfian berupaya merendahkan tubuh dan memanjangkan tangan guna meraih botol tersebut. Namun, sekali lagi, bus reyot kembali berguncang untuk kesekian kalinya, tak kalah keras dari sebelumnya. Menyentak tubuh Alfian hingga dia nyaris jatuh dari kursi sendiri.

"Sial!"

Alfian kehilangan botol itu. Dalam sekejap botol minumannya sudah menggelinding entah ke mana.

Alfian melongokkan kepala ke bawah kursi. Dan apa yang didapatinya di sana bukanlah botol minuman yang dia cari-cari, melainkan sebuah koper. Koper! Kedua matanya terbelalak lebar. Koper tersebut berada tepat di kolong kursinya. Akibat terus digempur oleh guncangan bus, koper itu akhirnya sampai ke dekat kaki Alfian.

Alfian meraba-raba permukaan koper tersebut. Bentuknya nyaris kotak. Ukurannya tidak begitu besar. Terbuat dari bahan kulit berwarna cokelat gelap dengan dua buah pengait pada bagian penutupnya. Sekilas, di mata Alfian koper itu terlihat mahal dan klasik. Diam-diam Alfian bersorak dalam hati. Ini gila, batinnya. Dia mulai mengira-ngira isi di dalamnya, yang ... yang mungkin saja uang jutaan rupiah.

Seketika wajah Dafa dan senyum manisnya membayang di pelupuk mata Alfian. Alfian teringat perihal Dafa, adiknya, yang harus segera menjalani operasi. Dafa memiliki penyakit jantung bawaan sejak lahir. Tetapi Alfian tidak punya cukup uang untuk membawa Dafa ke rumah sakit. Bahkan, membeli obat rutin untuk Dafa saja Alfian sangat kesulitan lantaran harganya yang cukup mahal.

Alfian sangat menyayangi adiknya—melebihi apapun di dunia ini. Hanya Dafa yang dia miliki sekarang. Hanya Dafa yang membuatnya tetap hidup sampai detik ini.

Kesembuhan Dafa adalah prioritas utama baginya. Sebagai seorang kaka, dia rela melakukan apa saja, tidak peduli sekalipun dia harus banting setir menjadi pengedar narkoba dan mengesampingkan cita-citanya. Sore tadi, Alfian baru menyelesaikan dua transaksi penjualan narkoba jenis sabu di daerah pelabuhan tikus. Semua itu dia lakukan untuk Dafa. Alfian ingin Dafa segera sembuh—agar Dafa bisa tumbuh, bersekolah, dan bermain selayaknya anak-anak seusianya.

Dafa tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup normal. Teman pun dia tidak punya. Dia selalu terkurung di rumah karena penyakit yang dia derita. Hidup tanpa kedua orang tua, membuat Alfian harus memutar otak untuk mencari uang. Pekerjaan yang dia lakoni kebanyakan serabutan. Bukan pekerjaan tetap. Sebab, pendidikannya di universitas belum terampungkan. Rutinitas yang ia jalani membuatnya sering berada di luar rumah sehingga tidak bisa selalu menemani adiknya. Dafa pastilah sangat kesepian, Alfian tahu itu. Suatu sore, dalam perjalanan pulang dari kampus, dia pernah melihat Dafa di taman kota. Dafa sangat ingin mengajak anak-anak seusianya bermain bersama, tetapi anak-anak itu menolak dan meninggalkannya begitu saja.

“Kenapa? Kenapa kalian malah pergi?” tanya Dafa saat itu.

“Gak! Kami nggak mau main sama kamu!”

“Iya, kalau kamu nanti pingsan gimana?”

Menggenggam erat tali koper, Alfian bepikir, tampaknya Tuhan telah menunjukkan jalan dengan cara lain. Setelah ini, mungkin, Alfian tidak perlu lagi mejadi pengedar sabu.

Dafa ..., lirih Alfian dengan binar mata penuh tekad.

Dia mengangguk pada dirinya sendiri, lantas berseru keras dari kursinya, "Pak, saya turun di sini!"

Secepat kilat dia mengemasi barang bawaannya, kemudian beranjak ke pintu depan. Sejauh dia melangkah sampai ke pintu keluar, tidak ada satu orang pun yang curiga, atau tiba-tiba berteriak meng-klaim koper yang dijinjingnya.

Alfian merasa sangat lega.

Usai membayar ongkos, dia pun langsung melompat turun. Kakinya mendarat dengan mulus di atas aspal. Dia menunggu selama beberapa saat. Tak lama bus menggerung meninggalkannya seorang diri. Jejaknya menyisakan gumpalan asap serta debu jalanan yang terpaksa dia hirup sampai terbatuk-batuk.

Alfian lantas mengedar pandang. Di sisi kanan dan kirinya terhampar padang ilalang yang luasnya tidak bisa ia perkirakan. Angin malam berembus sunyi, membawa tumbuhan liar itu menari dalam diam. Mereka melambai-lambai, seperti tengah menyambut kedatangan seseorang.

Alfian mendongakkan kepala. Bulan di atas sana perlahan menutup diri di balik segumpal awan hitam. Diperhatikannya tempat itu dengan saksama. Sekitar tiga atau empat meter di depan, berdiri tiang lampu jalan yang sesekali mati, yang menjadi satu-satunya penerangan di tempat itu.

Alfian harus berjalan kurang lebih lima puluh meter lagi untuk bisa sampai di persimpangan jalan berikutnya. Dia melangkahkan kaki dengan cepat, merasa tidak sabar untuk segera pulang ke rumah. Dafa, tunggu Kakak, serunya sambil tersenyum haru. Saat ini, adik kecilnya itu pasti sedang menunggu dengan perut kelaparan.

Separuh jalan telah ditempuhnya. Namun, langkah kaki Alfian yang dipenuhi antusiasme mendadak tertahan oleh sesuatu. Perasaan was-was dan cemas itu tiba-tiba datang tanpa sebab.

Aneh. dia melirik sekitar. Sejak tadi tidak didapatinya mobil atau seorang pun melintasi daerah itu atau sekadar berpapasan dengannya. Alfian menatap arloji di pergelangan tangan. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam padahal. Ke mana orang-orang? Terlalu senyap. Ini sama sekali tidak bagus.

Alfian menelan ludah gugup. Dia berusaha untuk tidak mencurigai seseorang atau sesuatu yang entah apapun itu sedang mengawasinya di belakang. Akan tetapi, benaknya, nalurinya, tubuhnya bereaksi. Merasakan adanya suatu ancaman. Sesuatu yang tak bisa dia terjemahkan secara pasti, yang secara refleks membuat kepalanya menoleh ke belakang.

Alfian mendesah lega. Tidak ada siapa-siapa di sana. Dia mungkin terlalu paranoid. Akan tetapi, semakin lama dipikirkan, semakin merinding pula dia dibuatnya.

Sekelebat bayangan bisa saja tiba-tiba melintas di balik punggungnya.

Gemerisik ilalang membuat Alfian terperanjat, secepat kilat dia menoleh ke belakang. Firasatnya berkata, ada sesuatu yang sangat mengerikan—seperti sedang mengikutinya sejak tadi—sejak dia turun dari bus.

Alfian menyapu pandangan ke sekeliling area padang ilalang dengan hati-hati. Samar-samar hidungnya menyusut bau anyir darah yang datang entah dari mana.

Stak!

Lampu jalan berderik.

Lalu tiba-tiba gelap.

Spontan Alfian terdiam. Di balik rongga dada, jantungnya berdentam tidak keruan. Ditariknya napas dalam-dalam, menjaga dirinya agar tetap tenang.

Selang beberapa detik, lampu jalan yang semula padam pun kembali menyala. Dan saat itulah Alfian mendapati sepatunya telah berlumuran darah. Bola matanya sontak bergerak naik. Betapa terkejutnya dia, sewaktu mendapati darah satu-satu menetes dari dalam koper yang sejak tadi dijinjingnya.

Refleks Alfian bekerja cepat, memerintahkan dirinya untuk segera melempar koper itu ke tanah. Akibat benturan yang cukup keras, koper tersebut pun membuka dengan sendirinya. Alfian mendekat untuk memastikan. Dan dia melihat potongan kaki manusia ada di dalam sana.

_____________________

AF BURONAN KASUS MUTILASI
KEMBALI DITANGKAP

Wirya mengusap-usap dagu, sejenak terlihat berpikir keras. Namun, ekspresi yang tampak di wajahnya justru lebih menggambarkan kesangsian.

Sekali lagi, ditatapnya Renata, seorang jurnalis Harian Metro 24, yang sedari tadi menunggunya bicara. Sekilas, Wirya berpikir Renata adalah wanita yang sangat menarik. Renata memiliki bentuk mata yang tegas, bibir tipis merah merona, serta rambut hitam lurus yang tergerai dengan sempurna sampai ke bahu.

Penampilan Renata pun tak kalah menarik. Hari itu dia mengenakan setelan blazer berwarna abu-abu yang tidak begitu formal, serta dalaman kaus berwarna putih di balik blazer yang sengaja tidak dia kacingkan.

Riasan di wajahnya pas, tidak berlebihan. Senyumnya juga pas, tidak berkesan murahan. Sayang, profesi wanita itu sebagai seorang jurnalis membuat Wirya harus berpikir dua kali untuk memuji. Dia tidak begitu suka berurusan dengan media.

Pagi tadi, tiba-tiba saja Renata datang ke ruangan Divisi Pembunuhan dan langsung menyodorkan sebuah jurnal berisi sejumlah artikel pada Wirya. Kehadirannya tidak bisa dikatakan mendadak juga sebenarnya. Sebab, sebelumnya mereka memang telah mengatur jadwal temu. Wirya hanya ... tidak mengira, maksud dan tujuan wanita itu datang menemuinya, adalah untuk membahas kasus mutilasi yang terjadi tujuh tahun silam.

Wirya menggumam, masih sambil memandangi wanita itu. Renata yang merasa canggung ditatap begitu intens pun buru-buru memutus kontak mata. Dia berpaling ke arah Kendra, yang sedari tadi rupanya menyimak pembicaraannya dengan Wirya dari kubikel sebelah.

Kendra bersikap tenang meski Renata menangkap basah dirinya menguping. Berbeda dengan Wirya yang berkulit cokelat, Kendra memiliki kulit putih bersih seolah pria itu jarang terpapar sinar matahari. Sorot matanya sendu seakan ada banyak kesedihan yang disimpannya di dalam sana. Wirya jauh lebih baik saat mengekspresikan diri. Dia pria yang ramah walau tidak begitu sering menunjukkan senyum. Berbanding terbalik dengan Kendra, yang lebih banyak diam dan tidak suka berbasa-basi.

"Ini kasus tujuh tahun yang lalu," kata Wirya kemudian, menarik atensi Renata kembali padanya. Dia membolak-balik lembar jurnal milik Renata. Sejauh yang dibacanya, jurnal itu berisi potongan-potongan artikel berita kasus mutilasi. Di mana pada April 2010, sebuah koper misterius berisi potongan kaki manusia ditemukan di padang ilalang Jalan Bukit Dangas. Sementara potongan tubuh lainnya di buang di berbagai tempat berbeda. Kasus tersebut sempat menggemparkan warga Batam. Korbannya adalah seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang masih duduk di bangku SMA. Tewas dimutilasi. Sungguh mengerikan.

"Aku tidak tahu detailnya. Tujuh tahun yang lalu ...," Wirya mencoba mengingat. "Sepertinya aku ditempatkan di Satuan Lalu Lintas."

Renata mendesah kecewa. "Benarkah?"

"Kenapa kau sangat tertarik dengan kasus ini?" Sekarang giliran Wirya yang bertanya. Dia merasa heran dengan wanita di depannya itu. Saat Batam sedang dihebohkan dengan banyaknya kasus bayi yang dibuang ke sungai, wanita ini malah datang padanya untuk membuka kembali topik lama.

"Kurasa ada kejanggalan dalam kasus ini," jawab Renata tanpa ragu.

"Oh, ya?" Wirya spontan menaikkan sebelah alis, meminta penjelasan. Wanita itu tentu tidak bisa asal bicara tanpa adanya bukti.

"AF ...," desah Renata misterius. "Aku rasa bukan dia pelakunya," ucapnya lagi dengan sorot mata serius.

Merasa tertarik dengan pernyataan Renata barusan, Kendra pun kembali menolehkan kepala. Keningnya berkerut dalam. Mendapati Wirya tengah memperhatikan wanita itu tanpa berkedip. Kendra yang tidak tahu-menahu soal kasus tersebut hanya bisa menyimak pembicaraan keduanya dengan saksama. Sebelum dipindahtugaskan ke Polresta Barelang, dulunya Kendra bertugas di kepolisian wilayah Sumatera Utara. Jadi, dia tidak begitu paham situasi yang terjadi di yurisdiksi Kepolisian Daerah Kepulauan Riau.

Wirya mengangguk-angguk, seolah mengerti. Tetapi, sejujurnya dia ingin pembicaraan ini cepat berakhir. "Sayangnya, aku tidak bisa memberikan informasi apapun,” terang Wirya. “Tapi jika kau ingin tahu lebih lanjut soal kasus ini, kau bisa mewawancarai komandan kami."

Usul Wirya segera ditanggapi Renata dengan sebuah anggukan di kepala. Benar, Komandan Abrahamlah yang bertanggung jawab atas penyelidikan kasus mutilasi tersebut. Sayang sekali, saat ini dia sedang tidak ada di tempat. Diam-diam Wirya mengulum senyum. Dia tahu benar, sekalipun Renata bertanya pada Abraham, wanita itu tidak akan mendapatkan apa-apa dari sang Komandan. Kasus ini sudah lama berdebu.

Wanita itu tampak mengerti. Dia mengambil kembali jurnal miliknya dari tangan Wirya. Kemudian berjanji akan menghubungi Wirya di lain kesempatan. Wanita itu bangkit dari kursi duduknya, kemudian segera undur diri. Kendra ikut mengangguk saat Renata berpamitan padanya. Wirya ikut berdiri. Dengan senang hati dia mengantar Renata sampai ke depan pintu ruangan Divisi Pembunuhan.

"Apa?!" Sentak Wirya jengah. Sejak Renata keluar dari ruangan Divisi Pembunuhan, Kendra terus aja memandanginya dengan tatapan menyelidik. Seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Tidak ada," Kendra segera mengemasi barang-barangnya. Kemudian menyerahkan sebuah laporan pada Wirya. "Kita harus menginterogasi tersangka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro