Bab 2: Ada Yang Aneh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehilangan adalah satu hal yang pasti. Kendati tak ingin kejadian semacam itu menimpa, manusia takkan mungkin bisa mengelak takdir yang telah Tuhan gariskan. Dan, ya—Kendra merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang pernah mengalami duka itu. Dia merasakannya, dia menempuh jalan itu, tanpa bisa menolak, apalagi menghentikannya.

Semua baik-baik saja pada awalnya. Kematian tidak pernah menjadi daftar prioritas yang mesti dia risaukan. Sebab, sepanjang yang dia tahu, hidupnya selalu berjalan dengan sangat sempurna. Selain karir yang cemerlang, dia memiliki Irina di sisinya. Mereka dulu bertemu, lalu saling jatuh cinta selayaknya pasangan di luar sana. Lambat laun hubungan mereka mulai memasuki tahap yang lebih serius saat Kendra mengajaknya tidur di atas ranjang. Lalu, tahu-tahu, tanpa pernah dia sangka-sangka, wanita yang sangat dicintainya itu direnggut darinya dengan cara yang begitu tragis. Irina pergi meninggalkannya seorang diri. Setiba-tiba itu. Secepat itu. Tanpa Tuhan bersedia memberi tahunya lebih dulu.

Lukanya memang tidak kasatmata, tetapi sakitnya masih terasa.

Irina. Irina. Irina. Sebanyak apapun nama itu Kendra lirihkan dalam doa, dia yang telah pergi untuk selamanya tidak akan mungkin kembali. Tidak akan pernah.

Memori yang saling berkejaran membuat Kendra berakhir terpaku menatap lembaran foto dalam map kuning. Di sana, terselip potret seorang bayi yang baru beberapa hari lalu ditemukan tewas di pinggiran sungai. Kondisinya sangat mengenaskan. Sekujur tubuh bayi itu kaku dan membiru. Benak Kendra segera saja memutar gambaran secara acak; pertama-tama dia melihat air. Kemudian tubuh yang mengapung. Tanpa sehelai benang bayi malang tersebut mengarungi sungai yang dingin dan gelap. Sendirian dia terlarung, hingga Tuhan memilih menjemput agar dia terbebas dari segala rasa sakit yang dideritanya.

Foto-foto itu menguak kembali luka yang selama ini berusaha dikuburnya.
Mendadak saja Kendra teringat pada Irina, juga bayi mereka, yang bahkan belum sempat terlahir ke dunia. Kenapa, batinnya pahit. Setelah kehilangan orang-orang yang sangat dikasihinya, dia baru sadar dan menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya.

Sebuta itukah dia hingga sanggup menolak kehadiran bayinya ketika Irina mengaku dirinya sedang mengandung?

Kendra hanya ... dia tidak percaya pada waktu itu. Mereka baru sekali berhubungan dan dia sangat ... sangat tidak siap.

Dengan begitu brengseknya Kendra menolak. Dia mengatakan pada Irina bahwa dia tidak menginginkan kehadiran bayi itu. Jatuhnya harga diri dan bayang-bayang hancurnya karir di kepolisian kerap menghantui dan Kendra tidak akan bisa mengatasi itu semua.

Kendra begitu egois, dulu. Tetapi sekarang ... demi Tuhan, apa yang harus dia lakukan? Dia ingin mereka berdua kembali ke dalam pelukannya. Kendra ingin kembali utuh seperti sedia kala. Dia tidak ingin ditinggalkan. Tetapi itu jelas mustahil. Tuhan telah menghukumnya. Kesalahan Kendra terbayarkan dengan telak. Dan mau tidak mau, dia harus menerimanya.

"Jadi," ucap Kendra lamat-lamat sambil menyusun lembaran foto tersebut di atas meja. "Kenapa kau membuang bayi tidak berdosa ini ke dalam sungai, hm?"

Dia menghitung dalam hati.

Satu ...

Dua ...

Tiga ...

Namun, pria yang tengah diinterogasinya masih saja diam seribu bahasa. Bahkan ketika hitungannya telah mencapai angka sepuluh.

Stok kesabaran Kendra sudah habis rasanya. Percuma. Percuma jika dia terus bersikap lembek.

Bolpen yang sedari tadi tergenggam di tangan kirinya pun terhenti di udara. Kemudian, dia jatuhkan dengan kasar sampai menggelinding ke dekat pria itu. Bunyi klotaknya Kendra akui sedikit menggertak, walau tidak terlalu berimbas pada keteguhan hati si tersangka.

"Lihatlah, dia masih merah dan butuh perlindungan." Ditunjuknya satu per satu potret bayi malang tersebut. Pria keji itu harus melihatnya. Kendra juga turut mengingatkan dirinya; bahwa meskipun bayi itu lahir dari hasil hubungan gelap, dia juga memiliki hak untuk hidup.

"Kenapa Inspektur biarkan Detektif Kendra yang menginterogasi?" Dari balik kaca tebal seorang lelaki berwajah kekanakan bertanya pada Wirya. Mereka sedang mengawasi jalannya interogasi dari ruang observasi. Melihat serta mendengarkan seluruh interaksi yang terjadi antara Kendra dan si tersangka di dalam sana.

Sejurus Wirya menoleh, lalu kembali menatap ke depan. Duka dan luka jelas masih tertinggal dan bersemayam di wajah Kendra. Wirya bisa melihatnya. Kentara sekali. Terlebih sewaktu dia mendapati Kendra bersitatap dengan pria yang tengah diinterogasinya.

Wajahnya tampak sedemikan muram. Segalanya seperti tercampur aduk di sana. Perasaan sedih, nelangsa, rindu, dan juga segenap rasa penyesalan, dia ubah menjadi topeng. Kehilangan orang terkasih untuk selama-lamanya, Wirya tahu—dia sangat tahu; butuh waktu untuk menyembuhkan luka yang tidak berbekas itu.

Dia tahu, sebab dia juga masih merasakannya. Sampai detik ini.

Wirya melirik lagi pada Kris yang berdiri di sampingnya. Kris masih menunggunya memberi jawaban, sambil memakan cokelat batangan yang senantiasa distoknya dalam saku.

Wirya berkata, "Dia harus belajar menerima kenyataan." Hanya itu yang bisa dia beritahukan pada Kris.

"Hmm?" Kris bingung, tentu saja. Dan Wirga tergelak karenanya.

"Kau tidak perlu tahu. Ini urusan orang dewasa."

"Sialan," maki Kris dengan suara pelan.

Kecanggungan segera menelan sisa tawa Wirya. Dipandanginya wajah Kris lamat-lamat dan dia baru tersadar, ternyata Kris memiliki bentuk hidung yang mancung serta bulu mata yang cukup lentik. Iris matanya bersinar cerah melengkapi seraut wajahnya yang selalu tampil riang gembira. Kris merupakan anggota baru di Divisi Pembunuhan, yang ditugaskan sebagai penyidik pembantu. Sebelum dipindahtugaskan ke Polresta Barelang, seingatnya Kris sempat ditugaskan di kesatuan Polres Tanjung Pinang.

Meski wajah Kris tergolong baru, Wirya sudah pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya—tepatnya saat dia menghadiri acara Table Manner yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Kepulauan Riau.

Kris termasuk jenis orang yang terlalu banyak bicara dan nyentrik. Sampai saat ini, masih sulit rasanya bagi Wirya memberi kepercayaan penuh kepada Kris sebagai rekan satu tim.

Tidak! Mungkin memang tidak seharusnya Wirya memberi kepercayaan dengan begitu mudahnya. Sebuah penghianatan telah membuatnya jera. Sekali, Wirya pernah memberikan kepercayaan kepada seseorang, dia justru ditusuk dari belakang. Tepatnya satu tahun lalu, oleh Orik Braga, rekannya, sesama anggota Tim Tiga.

Mereka begitu dekat, dulunya. Tak ada seorang pun yang menyangka bahwa Orik merupakan seorang pembunuh berantai keji yang tega membunuh banyak orang, termasuk adiknya, Naura. Wirya sendiri tidak mengira, orang yang paling dekat dengannya di kepolisian sanggup melakukan hal sekejam itu padanya. Sebab itulah, sekarang Wirya merasa perlu bersikap waspada terhadap semua orang. Baik terhadap Kristian Danu—atau Kendra sekalipun.

Seorang pembunuh sangat pandai menyembunyikan wajah di balik topeng. Wirya harus berhati-hati. Ya, dia harus berhati-hati.

_________________

Divisi Pembunuhan terletak di lantai tiga Gedung Direktorat Reserse Kriminal. Begitu menjejakkan kaki di anak tangga teratas, berbelok ke kiri, kemudian berjalan sekitar sepuluh langkah, mendongaklah, maka papan penanda ruangan akan terlihat di atas pintunya.

Ruangan tersebut berada tepat di tengah-tengah—bersebelahan dengan Ruang Interogasi I di kanan dan Ruang Interogasi II di kiri. Ruangan tersebut terbilang cukup luas, diisi oleh tiga tim yang masing-masing dikepalai oleh seorang perwira berpangkat Ajun Komisaris Polisi. Meja-meja berkubikel disusun memanjang dan saling berhadap-hadapan untuk setiap tim. Ada tiga buah dispenser yang diletakkan di sudut kiri ruangan. Sementara lemari-lemari berisi banyak fail berdiri di sudut sebaliknya. Tidak banyak hiasan atau lukisan yang dipajang pada dinding ruangan. Satu-satunya yang terlihat hanyalah jam dinding—itu pun dari hari ke hari jarum detiknya bergerak makin melambat lantaran baterainya perlu segera diganti.

"Aku penasaran, ke mana perginya komandan buncit itu?"

Kendra baru saja tiba di ruangan ketika mendapati Kris mengeluh dari balik meja. “Masih terlalu pagi, Kris,” sahutnya. “Komandan mungkin akan datang hari ini.”

Kendra menjatuhkan diri di atas kursi dan meluruskan kaki. Dari sudut ruangan, Wirya datang sembari membawa mug kopi di tangan yang asapnya masih mengepul. Usai menyimpannya di atas meja, Wirya mengambil tempat persis di sebelah Kendra—di mana kubikelnya berada. Keduanya lalu disibukkan oleh layar komputer di hadapan masing-masing. Sementara Kris sibuk mengurus setumpuk berkas kasus yang menggunung di ata meja.

Di tengah kesibukan, Kendra menyempatkan diri melirik ke arah meja Komandan Abraham yang hanya berjarak dua meja di sisi kirinya. Aneh, memang. Abraham belum juga muncul sejak absen dari tugasnya selama berhari-hari. Tidak ada yang tahu di mana dia berada atau ke mana dia pergi. Abraham seolah menghilang dari muka bumi. Beberapa waktu lalu Abraham memang sempat mengajukan cuti, itu pun cuma dua hari saja. Seharusnya dia sudah kembali kemarin. Posisinya sebagai ketua Tim Tiga di Divisi Pembunuhan membuatnya tentu tak bisa bersantai terlalu lama.

"Ada di mana Komandan kira-kira," gumam Kris untuk kesekian kalinya.

Wirya yang semula bersikap tidak peduli dengan ocehan Kris, akhirnya melongokkan kepala dari balik layar komputernya. Memerhatikan tingkah Kris yang terus-menerus berputar di kursi duduknya bak cacing kepanasan. Kegiatannya menulis laporan pun terpaksa dia hentikan sekarang. Kalau dihitung, ini sudah ke tujuh kalinya Kris menanyakan hal serupa.

"Apa kau tidak ada pekerjaan lain?" tegur Wirya sembari berdecak keras.

"Aku kan cuma penasaran, Pak Wirya." Kris memutar bola mata. Orang-orang di sini kurang bersahabat. Membosankan, batinnya.

"Urusi saja pekerjaanmu. Apa kau sudah selesai mengecek daftar panggilan di ponsel pelaku?"

Kalau sudah ditegur seperti itu, Kris tidak akan berani lagi berbicara. Terpaksa, dia kembali pada setumpuk pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan.

Wirya mendengkus geli melihat wajah Kris yang bersungut-sungut. Menyadari dirinya bersikap terlalu ketus belakangan ini pada Kris, akhirnya dia putuskan menjawab rasa penasaran pemuda itu. Dia tidak ingin ada insiden Kris merengek-rengek pada Abraham untuk dipindahkan ke tim lain.

"Kemarin, komandan menghubungiku. Dia bilang, dia sibuk mengurusi anak gadisnya yang sedang berlibur di Pulau Bintan. Anak gadisnya itu sulit dihubungi," ujar Wirya, membuat Kendra ikut menoleh padanya.

"Anak gadis?" Kris menyahut dengan ekspresi penasaran di wajah. "Jadi, Komandan punya anak gadis?"

Wirya segera melotot. Dasar Kris, orang yang terlalu banyak bicara. Semakin dijawab, semakin banyak pula pertanyaan susulan yang dia lontarkan.

"Ya, ya," gerutu Kris, seolah mengerti maksud dari tatapan Wirya. Berikutnya dia telah kembali menyelami daftar panggilan telepon yang seolah tak ada habisnya.

Blam!

Semua orang kaget bukan kepalang saat seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan dengan membanting pintu. Pandangan mereka sontak beralih ke ambang pintu. Memperhatikan Abraham yang tengah berdiri dengan wajah linglung.

Penampilan komandan itu lusuh dan kacau. Kemejanya terlihat lembab dan kusut. Padahal sewaktu Kendra cermati, cuaca di luar tampak cerah, tidak sedang turun hujan. Kumisnya tumbuh dua kali lebih lebat dari yang terakhir kali terlihat. Pria yang sudah mencapai usia separuh baya itu memiliki bentuk tubuh yang cukup berisi. Perut bergelambir. Serta keher yang nyaris tenggelam di balik kerah kemeja sendiri.

"Komandan," sapa Kris dengan senyum lebar. Baru saja dibicarakan, Abraham tiba-tiba muncul di ruangan.

Abraham tidak menanggapi, bahkan dia tidak berniat melirik Kris sedikitpun. Pria itu berjalan cepat menuju kubikelnya di pojok ruangan. Mengabaikan ketiga anggotanya, serta tim lain yang juga sedang menatapnya terheran-heran.

Abraham sibuk menggeledah laci, kemudian menyerak berkas di atas meja. Wirya tidak tahu apa yang sedang Abraham cari. Pandangannya terhalang oleh sekat setinggi dada yang menutupi meja milik Abraham.

Usai mendapatkan benda yang dicari, pria berperut buncit itu segera menyelipkannya ke dalam caple. Wirya menebak-nebak, barangkali benda itu adalah pistol, yang biasa Abraham gunakan saat bertugas di lapangan.

Abraham melangkah menuju pintu keluar. Wirya hendak membuka mulut, tetapi dia merasa tidak perlu repot-repot mengeluarkan suara lagi, sebab ucapan Kris telah mewakili rasa penasarannya.

“Mau ke mana, Komandan?”

Abrahan berhenti sejenak. Bola matanya bergerak liar menjelajahi langit-langit. Seolah sedang mencari-cari alasan di atas sana.

“Ngopi,” dia menjawab sekenanya, lalu memandangi wajah ketiga anggotanya satu per satu. Abraham menegur Kendra. Dia menanyakan soal kelengkapan berkas serta laporan kasus yang akan naik ke pengadilan.

“Bagaimana? Sudah selesai diperiksa?”

“Sudah,” sahut Kendra. “Tinggal diteruskan saja, Komandan.”

“Bagus,” puji Abraham kemudian.

Sedikit tergesa-gesa, dia berjalan meninggalkan ruang Divisi Pembunuhan. Ketukan sepatunya terdengar berisik. Membuat Wirya terus saja memicing sampai punggung Abraham lesap oleh pintu yang perlahan menutup.

Ada yang aneh dengan Komandan. Mau ke mana dia, batin Wirya penasaran.

___________________

Para petugas berpakaian dinas maupun sipil berlalu lalang di sekitar selasar ketika Kendra mengayun kaki menuju bagian belakang gedung Polresta Barelang. Di sana, di bawah rindangnya pohon trembesi, dia mendapati mobilnya terparkir dengan rapi di sebelah Range Rover milik Wirya.

Kendra segera menekan tombol pada kunci. Bunyi 'tin' terdengar, menyusul lampu depan mobil yang berkedip menyambut kedatangan sang pemilik. Sewaktu hendak menjejalkan tubuh ke dalam bilik pengemudi, di salah satu sudut pelataran parkir, dia mendapati sosok Iptu Rangga, beserta kedua rekan lainnya dari Tim Inafis, yang Kendra tidak tahu siapa namanya, tampak sibuk memasukkan barang-barang keperluan olah TKP ke dalam mobil dinas.

Kendra ingin sekali menyapa mereka. Sekadar bertanya kasus apa yang sekiranya sedang mereka tangani. Akan tetapi, panggilan dari operator tiba-tiba masuk ke HT-nya, membuatnya mesti buru-buru memprioritaskan panggilan tersebut.

"Ijin masuk ...," ucap sebuah suara di seberang.

Kendra mendengarkan. Kendati suara statis sesekali menginterupsi, dia tahu suara itu milik Kris, si anak baru bermulut seribu.

"Ada apa?"

"Kita diminta berkumpul di ruang rapat, Pak."

"Baiklah, segera meluncur," jawab Kendra, diakhiri desah napas panjang.

Komunikasi HT pun terputus. Kendra membuka laci dashbor kemudian, bermaksud mengambil jurnal penyelidikan dan bolpen khusus yang biasa dia letakkan di dalam sana. Namun, ketika dipilahnya benda-benda yang turut tersimpan dalam dashbor, tanpa sengaja dia mendapati sebuah pigura kayu berpelitur. Pigura itu berisi potret wajah Irina, yang lantas Kendra ambil, lalu dia usap-usap dengan sayang. Irina tampak begitu cantik dengan potongan rambut ikal sebatas leher. Sebelah matanya mengedip jail. Dia tersenyum sedemikian leluasanya di dalam potret tersebut. Senyum itu abadi. Senyum itu takkan pernah luntur. Dan takkan mungkin bermanifestasi sekalipun Kendra merinduinya setengah mati.

Hari ini, Kendra berniat mengunjungi makam Irina. Setelah sekian lama menghindar, dikarenakan rasa bersalah yang terus saja membayang-bayangi dirinya, Kendra pikir dia akan memberanikan diri menemui Irina. Dia sudah terlalu lama berkabung. Dia harus siap menerima. Karena bagaimanapun, hidup—bagi mereka yang ditinggalkan—akan tetap berlanjut. Irina memang tidak lagi berada di sisinya, tetapi Kendra bisa membuatnya tetap hidup, dengan selalu membawanya dalam ingatan. Selamanya.

Getar ponsel tiba-tiba merunggas Kendra dari lamunan; seakan tak mengizinkannya berlama-lama mengenang Irina. Dilihatnya nama Wirya tertera dalam ID pemanggil. Begitu Kendra menggeser layar, suara bariton Wirya pun segera menyapanya.

“Halo?”

Wirya menguasai seluruh sambungan telepon, sedang Kendra menunggu sembari menatap foto Irina dengan sorot mata keruh.

“Kau di mana, Ken?”

Agaknya niat Kendra untuk menyekar ke makan Irina memang harus dia nomor duakan sekarang. Sesuatu yang lebih penting memanggil—barangkali kasus pembunuhan.

_______________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro