Bab 8: Titik Acuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mesin printer di seberang meja tengah bekerja mengeluarakan lembaran kertas dari dalamnya. Selagi menunggu, Kris meraih mug berisi kopi di dekatnya, lalu meneguk isinya hingga tandas.

Selain roti, kopi di pagi hari, merupakan menu sarapan yang tidak pernah sekalipun dia lewatkan. Kopi ibarat candu baginya. Dia tahu biasanya kopi akan terasa lebih nikmat jika diminum selagi hangat. Namun, pagi itu, dia terpaksa membiarkan cairan pekat dalam mug favoritnya tersebut kehilangan temperatur asalnya selama berjam-jam. Sebab, dia benar-benar sedang diburu waktu.

Sekitar dua puluh menit yang lalu, Safferizal memberinya kabar melalui sambungan telepon. Dia mengatakan bahwa saat ini dia tengah berjaga di pelabuhan untuk menjemput teman-teman Arini. Dalam waktu tiga puluh menit ke depan, kemungkinan mereka akan tiba di markas dan Kris harus sudah mempersiapkan segalanya. Kendra dan Wirya sedang tidak berada di tempat, sehingga Kris-lah yang diserahi tugas untuk mengorek sejumlah informasi dari mereka nantinya. Sebenarnya ini bukan kali pertama baginya. Kris pernah beberapa kali menginterogasi tersangka kasus kekerasan dan penculikan, juga puluhan saksi dengan berbagai macam perangai yang berbeda. Dia hanya perlu mengajukan beberapa pertanyaan selama sesi wawancara berlangsung. Namun, entah mengapa, Kris tak bisa menanggalkan rasa gugup yang kadung menyelinap di hatinya.

Kris berdiri, bermaksud meletakkan mug kopinya di atas dispenser. Namun, sial, ketika ia berbalik, lengan pemuda itu justru menyenggol tumpukan berkas di atas meja hingga tercecer di atas lantai.

Kris menghela napas letih. Mau tidak mau mesti dibereskannya kekacauan itu. Dengan cekatan dia memunguti berkas-berkas itu, kemudian menyisipkannya ke dalam tempat penyimpanan folder bersama berkas-berkas lain—agar meja kerjanya terlihat lebih rapi.

Sesaat kemudian matanya melirik jam di pergelangan tangan. Seperempat menit lagi menuju pukul sebelas. Setidaknya, dia masih punya beberapa waktu untuk memberi jeda pada dirinya, beristirahat barang sejenak dari rutinitas yang membuat tubuhnya sedikit penat.

Kris menjatuhkan diri di atas kursi. Kedua matanya baru akan terpejam ketika derap langkah kaki seseorang menyuara di lantai selasar.

Suara itu tidak seperti suara yang biasa ditimbukan oleh derap sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi, melainkan suara khas sepatu boots, dengan tiap irama ketukan yang terkesan berat dan memburu. Membuat Kris spontan menegakkan tubuhnya.

Dia tercelik begitu sang pemilik langkah kaki menampakkan diri di ambang pintu. Semula dia kira Kendra atau Wirya yang datang. Namun, justru sosok Inggrit-lah yang muncul di sana.

Wanita itu menyandarkan punggung ke kosen pintu ssambil mengacungkan sejumlah map ke arahnya. Seperti biasa, dia tidak mengaplikasikan banyak riasan di wajah. Liptint dipulasnya seadanya. Tidak menampakkan warna yang cerah, namun membuat bibirnya terlihat segar. Rambut bob-nya disisir rapi. Hari itu dia mengenakan celana berbahan katun dan kemeja garis-garis. Dia terlihat tomboi. Namun, harus Kris akui, dengan image-nya yang seperti itu, Inggrit justru terlihat cantik dan sangat keren.

Sejenak kedua mata wanita itu menelisik ruang Divisi Pembunuhan. Kemudian, dia berderap masuk bersama ketukan sepatu boots-nya yang lagi-lagi sengaja dientak kuat-kuat sampai menimbulkan kebisingan.

“Ke mana perginya semua orang?” tanya Inggrit dalam perjalanannya mendekati Kris.

Kris menjawab, “Mereka sedang keluar untuk mengurus sesuatu.” Dia berdiri menyambut wanita itu, hendak membuatkan kopi atau semacamnya. Namun, Inggrit buru-buru mengisyaratkan sebuah penolakan lewat gelengan kepala.

“Hah, aku sungguh lelah,” keluh wanita itu disertai erangan di akhir kalimat. Dia menarik kursi di depan meja Kris, lalu mendudukkan diri di atasnya.

“Ini. Akhirnya aku berhasil mendapatkan berkas kasus lama AF setelah membongkar banyak sekali berkas di ruang arsip,” ucapnya lagi seraya menaruh sejumlah map yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja.

Kris menaikkan sebelah alis, merasa penasaran. “Berkas AF?”

Inggrit mengangguk. “Iya, sesuai permintaan Kendra.”

“Ini berkas kasus tahun 2010, kan?” tanya Kris. Suaranya gugup bukan main.

Kris menelan ludah. Tiba-tiba dia merasakan aliran darahnya menderas lalu membeku di titik pusat. Jantungnya berdentam kencang. Tanpa ragu, segera diraihnya salah satu map itu, lalu dibukanya pelan-pelan.

Isinya berupa berkas kasus pembunuhan seorang siswi SMA, berikut rincian penyelidikan kasus yang menjelaskan tentang motif, modus operandi, transkip interogasi tersangka dan para saksi, sampai profil pelaku.

Kris membaca singkat keterangan dalam profil korban. Secarik foto berisi potret seorang gadis remaja terselip di sana. Gadis itu, Shakira Hanif, namanya. Terlihat sangat menawan dengan sepasang lesung pipi yang menghias senyumnya.

Berlama-lama memandangi wajah gadis itu, ternyata mampu membuat sorot mata Kris menjadi keruh. Dia berkaca-kaca. Mendung meriak di wajah pemuda itu. Inggrit yang diam-diam mencermatinya pun mendadak berkerut kening dibuatnya.

“Ada apa?” tanyanya bingung.

Kris buru-buru meraup wajah. “Tidak—aku cuma ... belum terbiasa dengan kasus pembunuhan seperti ini. Tubuh korban dimutilasi sampai ...,” ujar Kris beralasan. Bibirnya terkatup rapat. Sungguh, dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Inggrit tersenyum kecil, lalu menepuk punggung tangan pemuda itu. “Bukan cuma kau, Kris, semua juga begitu pada awalnya.” –dia menghibur— “Aku yakin, lama-lama kau juga akan terbiasa menghadapinya.”

Kris melipat bibir. Dicengkramnya erat-erat kedua sisi berkas itu. Benaknya tiba-tiba menyerukan sebuah penyangkalan, mungkin, selamanya aku tidak akan pernah bisa terbiasa dengan ini. Lalu dia menundukkan kepala, kembali menekuni berkas kasus itu.

Inggrit menjatuhkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Di sana, berdiri papan linimasa yang telah penuh dengan rangkuman kasus pembunuhan Dewi Arini. Foto AF ditempel menggunakan pin magnet tepat di tengah-tengah papan linimasa. Kemudian, pada bagian atasnya tertulis kata “tersangka” yang dilingkari dengan spidol berwarna merah.

“Oh, ya, soal potongan kaki kiri yang ditemukan dalam koper itu, apa hasil tes DNA-nya sudah keluar?” tanya Inggrit penasaran.

“Sudah dan hasilnya cocok,” jawab Kris kemudian, yang lantas memantik semangat Inggrit untuk berdiri dari kursinya.

Wanita itu mendekat ke linimasa. Dia tampak menimbang-nimbang saat membaca petunjuk berikut keterangan yang tertulis di sana. Kasus ini sedikit menarik jika dibandingkan dengan kasus pembunuhan yang AF lakukan sebelumnya—tujuh tahun lalu. Inggrit telah membaca berkas kasus lama milik AF dan dia menemukan beberapa hal yang mesti digarisbawahi. Terutama dalam kasus pembunuhan Dewi Arini. AF tampak begitu ceroboh. Dia seperti pembunuh amatir yang—entah sengaja atau tidak—meninggalkan jejaknya di mana-mana.

“Menurutmu, apa yang membedakan kasus AF yang dulu dengan yang sekarang?”

“Entahlah. Yang jelas dia sama-sama mengepak potongan kaki kiri korban ke dalam koper, lalu membuangnya di padang ilalang,” sahut Kris yang masih berusaha mempelajari berkas kasus di tangannya.

“Menurutku, koper itu memang sengaja dibuang AF di padang ilalang. Seperti ... sebuah peringatan, yang mungkin ditujukan untuk seseorang,” sela Wirya yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu.

“Sebuah ... perigatan?” tanya Kris tidak mengerti.

Wirya mengangguk. Hening mencuri kesempatan selama beberapa saat. Dia seakan sengaja menjeda untuk membuat ucapannya berkesan misterius.

Mendapati Kris dan Inggrit terus menatapnya dengan ekspresi tidak sabaran, Wirya pun segera memperjelas ucapannya.

“Sepertinya dia ingin kita mengingat kembali kasus pembunuhan Shakira Hanif yang terjadi tujuh tahun lalu.”

Inggrit dan Kris makin dibuat terdiam. Memikirkan baik-baik maksud ucapan Wirya barusan. Tak lama terdengar suara langkah kaki dari banyak orang di selasar. Mereka bertiga menoleh secara bersamaan ketika Safferizal menyapa dari ambang pintu. Pria bertubuh tegap itu melangkah masuk bersama tiga orang remaja yang mengekor di belakangnya.

_________________________

Saat memasuki ruangan, Abraham menyaksikan Safferizal tengah sibuk menekuni lembaran kertas print out di atas meja. Postur tubuh laki-laki itu terlihat tegap, rahangnya kokoh. Ada satu hal yang membuat penampilannya tampak menarik. Rambutnya. Dia memiliki rambut yang tebal dan halus, disisir menyamping dengan sangat rapi—mirip dengan gaya rambut orang-orang yang ngetren di tahun 80-an.

Safferizal baru mendongakkan kepala ketika derit pintu menyuara begitu Abraham menutupnya. Dia menyapa Abraham dengan senyum canggung, yang lantas Abraham balas dengan anggukan lemah.

Dia mempersilakan Abraham duduk di depannya.

Setelah hening selama beberapa saat, Safferizal akhirnya angkat bicara. “Saya turut berduka cita atas meninggalnya putri Anda, Komandan,” sesalnya.

Abraham meremas jemarinya di bawah meja. Dalam satu hari ini dia telah banyak menerima ucapan turut berduka cita. Setiap kali mendengar kalimat itu, hatinya seperti kembali tersayat. Rasanya begitu nyeri dan pedih. Kedua matanya berkaca-kaca membendung air mata yang hendak tumpah. Abraham menghela napas dalam-dalam. Dalam situasi seperti ini dia tidak boleh berlarut-larut. Kepolisian membutuhkan keterangannya untuk menyelidiki kasus pembunuhan yang menimpa putrinya.

“Oke.” Suara Safferizal terdengar serak. Dia berdeham, untuk mengembalikan suaranya seperti sedia kala. Tanpa perlu berbasa-basi lagi, dia mengajukan sebuah pertanyaan pada Abraham.

“Kapan terakhir kali Anda melihat Arini, Komandan?”

Abraham membasahi bibirnya yang terasa kering. “Tanggal 12 Juli. Paginya ... sebelum berangkat ke kantor, kami sarapan bersama,” ujarnya pedih.

Abraham menceritakan dengan lugas semua yang diingatnya hari itu. Arini telihat begitu antusias pagi itu. Dia memamerkan barang-barang apa saja yang akan dibawanya selama liburan ke Pulau Bintan.

Sembari mendengarkan, Safferizal mengetik ulang keterangan yang Abraham berikan ke dalam laptop, laiknya prosedur yang biasa dilakukan oleh kepolisian. Jemarinya menari di atas papan tombol secepat yang ia bisa. Sesekali diusapnya tengkuk saat Abraham menjeda ucapannya. Jujur saja Safferizal agak kewalahan jika harus melakukannya secara bersamaan.

“Dia sudah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Dia bilang akan berangkat ke pelabuhan sekitar pukul 09.00 pagi. Aku berniat mengantarnya hari itu. Namun, Arini menolak dan berkata tidak ingin merepotkanku.”

Safferizal mengangguk, lalu kembali mengetik pernyataan Abraham.

“Lalu, dia naik apa ke pelabuhan, Komandan?”

“Arini memesan sebuah taksi. Aku berpesan padanya untuk menelpon begitu tiba di pelabuhan. Tapi ... dia tidak kunjung menelpon berjam-jam kemudian. Saat kuhubungi, nomornya ... tidak aktif.”

“Apa Anda tidak memiliki firasat buruk saat itu?”

Abraham menggeleng dengan pandangan terluka. Dia pikir, Arini tidak ingin diganggu selama di perjalanan. Dia pikir, Arini akan segera menghubunginya begitu tiba di Pulau Bintan.

Seandainya Abraham sedikit lebih peka pada saat itu, apakah Arini masih bisa diselamatkan?

“Arini memang tidak menelpon. Tapi dia mengirimiku sebuah pesan.”

“Apa isinya, Komandan?”

“Dia bilang, dia sudah sampai dan aku tidak perlu mengkhawatirkannya.”

“Lalu, apa alasan Anda mengajukan cuti selama dua hari setelah tanggal 12 Juli, Komandan?”

Abraham menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan tersebut. “Arini memang sering berkirim pesan lewat SMS dan memberitahukan bagaimana liburannya di Pulau Bitan. Tapi anehnya, tiap kali kuhubungi, dia tidak mau menjawab. Panggilannya selalu teralihkan.” Dia menjeda sejenak.

“Aku merasa sangat cemas. Jadi, aku bermaksud menyusulnya ke Pulau Bintan. Sebelum berangkat, aku berusaha menelpon teman-temannya, tetapi nomor mereka juga sulit dihubungi,” lanjutnya lagi. "Mungkin tidak ada sinyal di sana. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya mereka menjawab juga. Dan, mereka bilang, ternyata ... Arini tidak jadi ikut berlibur bersama mereka.”

___________________________________

Sementara itu di ruangan lainnya, Kris baru selesai mewawancari Elisa—salah satu dari tiga remaja yang tadi dijemput oleh Safferizal. Kris melangkah menuju ruang tunggu saksi sembari menuntun Elisa. Punggungnya terlihat lesu dan ringkih. Kris mengantisipasi dirinya agar tidak berjalan terlalu cepat di sebelah anak perempuan itu.

Dua remaja lainnya tengah menunggu giliran untuk dimintai keterangan perihal kasus pembunuhan Arini. Mereka adalah Danis dan Finna. Keduanya mendongak saat Kris dan Elisa tiba di hapadan mereka. Wajah kedua remaja itu terlihat murung dan sedih, tidak menyangka secepat ini mereka harus kehilangan sosok sahabat seperti Arini.

Finna berdiri menyongsong Elisa yang berjalan tertatih ke arahnya. Dalam pelukannya, Elisa tak henti-hentinya menangis. Bahkan, selama sesi wawancara berlangsung, dia banyak menangis di hadapan Kris.

Danis, merupakan satu-satunya anak laki-laki di antara mereka, lekas menundukkan kepala, tidak  sanggup menampakkan wajah kusutnya di hadapan Finna dan Elisa. Dia meremat jemarinya hingga berkeringat banyak. Bibirnya sesekali bergerak menggumamkan penyesalan. Liburan yang seharusnya mereka lewati dengan penuh kegembiraan dan suka cita, kenapa justru berakhir seperti ini, batinnya parau.

Seandainya dia tahu hal buruk semacam ini akan menghampiri salah satu dari mereka, dia pasti, tanpa pikir panjang akan membatalkan liburan itu. Danis tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa dia tertawa dan bersenang-senang bersama Elisa dan Fina, sementara Arini, di luar sana, dia harus meregang nyawa di tangan seorang pembunuh keji.

Danis tidak percaya soal kabar menyedihkan itu sampai berita meninggalnya Arini ramai diperbincangkan di grup whatsapp dan forum kelas. Hari itu juga mereka mendapat telepon dari pihak kepolisian yang turut mengonfirmasi kebenaran berita itu. Sungguh, semua ini berada di luar perkiraannya. Dia pikir Arini—

“Danis,” panggil Kris sembari mengedikkan kepala.

Mendengar namanya dipanggil, anak laki-laki itu pun segera berdiri, lalu berjalan mengikuti Kris masuk ke dalam ruang interogasi II.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Kris memulai wawancaranya dengan pertanyaan seputar identitas Danis, sebelum memasuki pertanyaan inti.

"Danis, nama lengkap kamu ...?"

"Danis Sabiran," jawab anak laki-laki itu setengah melamun.

"Kamu sekelas dengan Arini?"

Danis mengangguk lesu. "Iya, saya, Elisa, dan Finna, kami semua sekelas dengan Arini, Pak."

“Danis, coba kamu ceritakan bagaimana kejadiannya. Kalian berangkat ke Pulau Bintan tanpa Arini. Padahal sejak pukul 09.00 dia sudah meninggalkan rumah untuk bertemu dengan kamu, Elisa, dan Finna di Pelabuhan Telaga Punggur."

Danis terkejut mendengar penuturan Kris. "Apa—tapi Arini ...." Dia tercekat, menggelengkan kepala kuat-kuat.

Menghela napas perlahan, anak laki-laki itu kemudian menceritakan semua yang diketahuinya pada Kris. Suaranya tersendat-sendat. Dia menatap Kris dengan binar mata penuh duka.

“Saya tidak tahu, Pak. Hari itu ... Arini mengirim pesan pada kami. Dia bilang dia tidak jadi ikut, karena ada keperluan mendesak tapi tidak menjelaskan secara rinci. Kami berusaha menelponnya berulang kali, tapi nomornya tidak aktif.”

Kris mengangguk dengan tatapan nanar. Selama bertutur kata, Danis berusaha terlihat tegar. Barangkali Danis bersikap seperti itu, karena dia seorang laki-laki, sehingga dia merasa harus bersikap tegar di hadapan kedua teman-temannya.

“Tidak papa kalau kamu mau menangis. Kita jeda dulu wawancaranya.”

Danis tertunduk dalam. Air matanya meleleh banyak di pipi dan dia mulai terisak dalam tangisnya. Perasaan sedih yang sedari tadi dipendamnya akhirnya terluahkan. Dia terus menangis seolah air matanya enggan mengering.

___________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro