Bab 9: Melawan Arus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesi interogasi Abraham selesai tepat saat jam makan siang. Usai berjabat tangan dengan Safferizal, lalu bercakap-cakap sebentar, akhirnya dia keluar dari dalam ruangan, menyeret langkah menuju pelataran parkir untuk mencari sedan tuanya yang pagi tadi dia parkir di bawah pohon rindang.

Abraham berhenti melangkah saat mendapati Kendra tengah bersandar di bawah pohon dengan kedua tangan terlipat di dada. Kendra menoleh saat menyadari Abraham tengah menatapnya dengan kening berkerut.

“Komandan,” sapanya sembari mengulum senyum. Dia lekas menegakkan punggung, berdiri menghadap Abraham yang berjalan mendekati sedan tuanya.

Kendra mengusap tengkuk, merasa agak kikuk, mengingat bagaimana dia bersikap saat mereka melihat jenazah Arini tadi pagi. Sedikitnya Kendra merasa bersalah, sekaligus canggung. Untuk sedakar mengucapkan kata maaf saja, rasanya terlalu sulit dia utarakan. Abraham tersenyum padanya. Pria tua itu paling tahu bagaimana tabiat Kendra dan dia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu selama Kendra menyesali perbuatannya. Kendra berniat menebusnnya dengan mengajak Abraham makan di suatu tempat. Oleh sebab itulah dia menunggu Abraham sejak tadi.

“Apa Anda ingin makan siang bersama saya?” tanyanya, meski agak ragu Abraham mau menerima tawarannya.

Abraham menatapnya sekilas. “Kurasa ... aku sedang tidak berselera makan, Ken,” tanggap pria itu. Tangannya membuka bilik pengemudi. Sebelum tubuh gempalnya menyelinap ke dalam sana, Kendra buru-buru berkata lagi, “Kalau begitu, biar saya yang antar Komandan pulang.”

Abraham sedikit tercengang dibuat Kendra. Dia baru akan membuka mulut ketika kunci di tangannya direbut oleh Kendra secara tiba-tiba. Kendra tampaknya tidak sedang menerima penolakan untuk tawarannya yang satu ini. Abraham sendiri pun enggan berkilah lagi. Jadi, dia hanya mendesah, lalu berjalan mengitari sisi depan mobil untuk kemudian memasuki bilik penumpang—di sisi kursi pemudi yang Kendra masuki.

Kendra yang telah siap di balik roda kemudi pun perlahan menjalankan sedan tua itu. Mereka meluncur keluar dari gerbang markas, kemudian berbaur bersama kendaraan lainnya di atas jalan raya yang tampak tidak begitu padat.

Kediaman Abraham terletak di Perumahan Indah Permai. Jarak tempuh menuju perumahan itu tidak begitu jauh. Hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit apabila didukung arus lalu lintas yang lancar jaya. Selang beberapa saat kemudian mereka tiba di kawasan perumahan itu. Kendra berbelok. Dari gerbang depan, dia masih harus menyetir lurus, melewati sebuah kelokan, lalu berhenti di pekarangan sebuah rumah berwarna krim pudar, yang di sekelilingnya banyak ditanami bunga kertas dan kaktus.

Dari luar tampilan rumah tersebut tampak seperti rumah pada umumnya. Mengusung konsep modern minimalis, yang pada bagian depannya dilengkapi teras dan dinaungi atap dengan dua buah pilar yang berukuran cukup lebar. Empat buah kursi kayu jati ditata sedemikian rupa di sana, lengkap dengan meja kopinya. Abraham merogoh saku celana untuk mengambil kunci, lalu membuka pintu rumah. Pria paruh baya itu melangkah terlebih dahulu. Kendra segera menyusulnya usai menyusun sepatu yang dikenakannyanya ke dalam rak sepatu dekat pintu masuk.

_____________________________

Pada jam makan siang, Kris mendapati ruang Divisi Pembunuhan sunyi bagai tidak berpenghungi. Semula dia kira tidak ada siapa pun di dalam sana. Namun, begitu dia mengitari lorong menuju kubikelnya berada, dia menyaksikan Wirya tengah duduk sembari menatap layar komputer.

Wirya tersenyum. Senyum yang berkesan misterius lantaran pendar cahaya dari dalam komputer menyorot sisi wajahnya yang lain. Sesekali dia menyeringai, sementara matanya terus bergerak menyerap informasi dari layar menuju otaknya.

Kris bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Wirya lihat? Wirya begitu terpaku sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Kris di sana.

Mendadak Kris merasa ragu. Haruskah dilaporkannya sekarang atau tidak—perihal informasi yang dia dapat dari seorang informan polisi, serta sejumlah informasi yang telah dia rangkum selama sesi wawancara tadi. Dia merasakan aura yang berbeda dari seniornya itu. Entah bagaimana menyebutnya, Kris tidak tahu. Yang jelas, bulu kudunya sukses dibuat berdiri oleh tingkah Wirya.

Kris tersentak saat tiba-tiba Wirya mengangkat wajahnya. Dia terdiam selama beberapa saat. Kemudian merespons tatapan Wirya dengan senyum canggung. Pemuda itu berjalan mendekati Wirya dengan langkah lebar. Dia tahu benar arti dari tatapan Wirya. Pria itu pasti sedang menagih informasi darinya.

"Aku sudah menanyai teman-teman Arini, dan ...."

Wirya menarik kursi ke dekatnya, kemudian meminta Kris untuk duduk. Ditempatkannya jari telunjuk ke depan bibir, sebagai isyarat agar Kris buru-buru memelankan suara. Komandan Roy tengah berada di ruangan saat ini. Wirya merasa muak jika harus beradu mulut lagi dengan pria galak itu.

"Dan...?" tagihnya pada Kris yang terpelongo melihat tingkahnya.

Wirya menjetikkan jemari tepat di depan wajah Kris, membuat pemuda itu lekas tersadar kemudian.

Meninggalkan basa-basi tak penting di belakang, Kris pun segera melaporkan apa yang dia dapat pada Wirya.

"Dua hari yang lalu, Arini dan teman-temannya memang berencana berlibur ke Pulau Bintan. Mereka bilang akan bertemu di Pelabuhan Telaga Punggur sekitar pukul sembilan pagi. Namun, entah bagaimana Arini tiba-tiba membatalkannya lewat SMS tanpa alasan yang jelas. Dugaanku dia diculik saat itu. Sebab saat teman-temannya berusaha menghubungi, ponselnya mati."

Wirya tampak berpikir.

"Jarak menuju Sekupang ke pelabuhan itu kira-kira empat puluh lima menit, kan?" tanya Wirya memastikan, yang lekas mendapat anggukan dari Kris kemudian.

Kris menunggu perintah selanjutnya. Namun, Wirya masih terbungkam bahkan setelah beberapa menit berlalu. Kris tidak bisa menebak apa yang sedang Wirya pikirkan. Pria itu  bangkit berdiri sambil tersenyum miring, serta-merta Kris pun ikut berdiri, menyejajari tinggi badan Wirya yang tak terpaut jauh darinya.

"Aku harus pergi. Kau tetap stand by, tunggu perintah dari Kendra."

“Tapi,” cegah Kris saat Wirya hendak melangkah pergi. “Pak Kendra sedang tidak berada di tempat, Pak,” katanya kebingungan.

Wirya menoleh sebentar, lalu melongos pergi tanpa berniat menjawab pertanyaan yang Kris ajukan.
___________________________

Gelegak minyak di dalam kuali menjadi pengisi keheningan di dapur itu. Dengan cekatan Kendra mengiris daun bawang di atas talenan. Begitu selesai, diulak-aliknya tempe goreng di dalam kuali agar mereka matang dengan sempurna. Lalu dia menyambinya dengan membereskan meja makan yang tampak diselimuti debu. Siang itu dapur Abraham dikuasainya sesuka hati. Kendati pria paruh baya itu berkata ‘tidak sedang berselera makan’, Kendra berinisiatif memasakkan sesuatu untuknya.

Sembari menunggu tempe di atas penggorengan matang, Kendra beranjak untuk memeriksa isi di dalam kulkas. Dilihatnya bahan makanan yang tersisa di dalam sana nyaris tidak ada. Sepertinya Abraham tidak sempat berbelanja. Tadi, saat diperiksanya tong sampah, banyak sekali bungkus mie instan yang terjejal di dalamnya. Beberapa hari ini, agaknya Abraham lebih sering memakan makanan yang tidak sehat. Kendra memutar otak, memikirkan apaa yang harus dimasaknya dengan bahan seadanya?

Kendra melongokkan kepala lebih dekat untuk mencari cabai merah di dalam wadah. Tidak ada. Di dalam salah satu jejeran wadah yang tersusun rapi, hanya tersisa sedikit cabai hijau yang terlihat masih segar saat dibukanya. Lalu dia menemukan sebutir telur, beberapa siung bawah merah dan bawang putih di dalam keranjang—dekat kompor gas.

Dengan bahan-bahan seadanya itu, Kendra memutuskan untuk membuat nasi goreng cabai hijau.
Usai meniriskan tempe dan mematikan api kompor, Kendra lekas meracik bumbu; bawang merah, bawang putih, dan cabai hijau digilingnya sampai halus. Bahan-bahan itu sebelumnya telah dia siangi dan dia cuci dengan bersih di bak pencuci piring.

Kendra memanaskan minyak, lalu menumis bumbu sampai harum. Sebutir telur dia pecahkan dari cangkangnya, kemudian diorak-arik hingga menjadi potongan kecil. Nasi di dalam bakul kemudian dia campurkan dan dia aduk-aduk di dalam kuali. Tak lupa ditambahkannya kecap, garam, dan merica bubuk hingga masakan menguarkan aroma terbakar yang begitu sedap.

Dua puluh menit kemudian, nasi goreng dan tempe telah tersaji di atas meja makan. lengkap dengan dua piring beling: satu untuknya dan satu lagi untuk Abraham—si pemilik rumah. Kendra memanggil Abraham untuk bergabung ke meja makan. Tak lama pria itu muncul di ambang pintu dapur dengan mengenakan kaos santai. Dia menjatuhkan diri di atas kursi—di depan Kendra. Lantaran Abraham tak kunjung meraih centong nasi, Kendra mengajukan diri untuk menyiduknya ke masing-masing piring.

Abraham mendapat porsi yang lebih banyak. Kendra berkata, “Komandan, Anda harus makan untuk mengisi tenaga.”

Abraham tercenung sembari menatap jerih payah Kendra. Sejujurnya dia rindu mencicipi masakan sederhana ini. Dia rindu menyantap makanan di atas meja makan bersama seseorang. Setidaknya, kehadiran Kendra di sini dapat membuatnya sedikit terhibur.

“Ternyata kau pandai memasak juga,” puji Abraham usai menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Rasanya pas. Dia tebak sepertinya Kendra memasukkan cabai rawit ke dalamnya, hingga rasa pedas terasa bertabrakan dengan pedasnya merica.

Kendra tercengir. “Tidak juga, Komandan. Kurasa, nasi goreng adalah menu yang paling gampang untuk dimasak.”

Abraham tersenyum simpul. “Mungkin, itu sebabnya nasi goreng sering dihidangkan untuk menu sarapan.”

Kendra mengangguk setuju, lalu mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Abraham pun demikian. Dia memamah nasi gorengnya sedikit demi sedikit.

“Komandan, apa belakangan ini, Anda merasa ada orang mencurigakan yang menguntit atau berkeliaran di sekitar perumahan Anda?” tanya Kendra begitu mereka selesai menyantap makanan.

Abraham mengelap sisa minyak di bibirnya menggunakan serbet. Dia sudah menduga; seseorang seperti Kendra, tidak akan mungkin cukup hanya dengan informasi yang Abraham beberkan selama sesi wawancara.

“Sepertinya ... tidak,” jawab Abraham sembari mengingat-ingat kejadian sebelum Arini menghilang.

“Aku memang sempat dapat SMS iseng dari nomor yang sama beberapa kali. Tapi kurasa itu tidak begitu penting, hanya SMS spam yang biasa meminta transfer uang,” lanjut pria itu lagi.

Kendra mengangguk paham. Dalam hati dia membatin, sepertinya Alfian punya cara jitu untuk menguntit Arini sebelum melancarkan aksinya. Mengingat dia baru dibebaskan bersyarat seminggu yang lalu, waktu yang dia gunakan untuk mempelajari keseharian Arini pastilah sangat singkat. Terlepas dari semua bukti yang ditinggalkannya di TKP, ternyata dia orang yang cukup lihai. Komandan Abraham sampai tidak menaruh curiga sedikit pun padanya.

Abraham menumpuk piring kotor, lalu beranjak untuk membawanya ke bak cuci piring. “Apa kalian sudah punya dugaan, siapa pelaku yang tega melakukan itu pada putriku?”

Kendra memandangi punggung Abraham yang terbungkuk lesu. “Sudah,” jawabnya jujur, mendapat lirikan tajam dari Abraham ketika pria itu menolehkan kepala. “Tapi saya belum bisa memberitahu Anda sekarang, Komandan. Semuanya masih dalam proses penyelidikan.” Dia menjeda sebentar, kemudian berkata lagi, “Anda bisa menghubungi saya kapan saja, jika Anda merasa ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan kepada saya. Saya .. selalu siap dua puluh empat jam, Komandan.”

Abraham mengulas segaris senyum di bibirnya. Dia mengangguk. “Terima kasih untuk kerja kerasmu, Ken.”

“Sudah menjadi tugas kami, Komandan, untuk menyelidiki kasus ini secara tuntas. Saya harap Anda bisa secepatnya pulih dan kembali bekerja di kesatuan,” ucapnya tulus.
__________________________

Lewat spion tengah, Wirya dapat melihat sebuah mobil berwarna putih memasuki pelataran parkir belakang gedung Kepolisian Barelang. Mobil itu memarkirkan diri di dekat sebuah sedan hitam. Pintunya yang dihiasi oleh label 'Harian Metro 24' tak lama bergeser membuka, lalu seorang wanita bertubuh semampai keluar dari dalamnya.

Wanita itu adalah Renata. Seseorang yang belakangan membuat Wirya bagai buron yang kerap dikejar-kejar. Renata terus menghubunginya. Terkadang, dia juga menyempatkan diri menunggu Wirya selama berjam-jam. Renata bertingkah seolah begitu penasaran soal kasus mutilasi yang ditangani Abraham tujuh tahun silam. Untuk alasan apa, awalnya Wirya tidak ingin berurusan sama sekali. Namun, saat dia mengetahui bahwa apa yang Kendra katakan di warung saat itu terbukti benar, Wirya merasa dia harus memanfaatkan wanita itu demi kepentingannya.

“Jurnalis itu sepertinya punya hubungan dekat dengan Komandan Roy.” Ucapan Kendra mendadak terngiang dalam benaknya.

Wirya akui, kehadiran wanita itu memang sangat mengganggunya. Akan tetapi, Wirya pikir dia bisa menjadikan wanita itu sebagai alternatif untuk membantunya keluar dari masalah yang Roy limpahkan padanya.

Roy sudah menantangnya. Pria itu terlihat begitu percaya diri. Roy mungkin berpikir Wirya akan tunduk begitu saja. Sayangnya, tidak. Wirya tidak sepengecut itu. Jika Wirya memang harus jatuh ke dalam lubang neraka, maka dia juga harus membawa serta Renata bersamanya. Wirya berniat memperingatkan Roy, bahwa dia bukanlah orang yang bisa dipermainkan seenak jidat.

Renata menjejak paving block dengan penuh percaya diri. Ketukan sepatu hak tingginya menyuara. Langkah wanita itu kian lebar mendekat, membuat Wirya kian dalam mengulum senyum liciknya.

Renata membawa jemarinya ke depan kaca jendela mobil Wirya, lalu mengetuknya dengan irama pelan. Wirya menekan tombol, masih sambil mengulum senyumnya.

"Inspektur Wirya," sapa wanita itu begitu kaca diturunkan sepenuhnya.

"Renata,” Wirya balas menyapa sambil mengulas senyum tipis. Renata memang bukan tipe wanita yang akan menyerah begitu saja. Wirya sudah menduga hal ini.

"Apa kau datang untuk menggali soal kasus mutilasi itu lagi?" tanyanya tanpa perlu berbasa-basi. Wirya keluar dari dalam mobil, lalu menutup pintu dengan bantingan. "Sudah kubilang aku tidak tahu apa-apa. Saat itu aku ditempatkan di divisi lalu lintas."

"Sedikit saja. Apa benar kau tidak tahu apa-apa? Bukankah kau yang paling lama bekerja sama dengan Komandan Abraham?"

"Apa sebenarnya maksudmu?" geram Wirya sembari mencuramkan kedua alis. Wanita ini terus saja berusaha memojokkannya.

Renata mengacungkan kedua tangan di depan dada, sebagai isyarat agar Wirya bersedia menenangkan diri dan mendengarkan ucapannya. "Baru-baru ini terjadi kasus serupa di Padang Ilalang. Dan kudengar AF adalah tersangka utama dalam kasus itu."

"Dari mana kau tahu? Aku pikir kami belum merilis berita apapun soal kasus itu," tukas Wirya. Dia bersedekap seraya menatap wajah pias Renata lekat-lekat.

"Oh, mungkin benar apa kata orang," senyumnya mengejek. "Hidung para awak media itu ... sepertinya memang lebih tajam dari anjing K-9.”

Wirya menyindir secara terang-terangan. Dia tak terlihat gentar sedikitpun. Dipapasnya jarak antara dirinya dengan Renata hingga wajah mereka saling bertapapan dalam jarak yang begitu dekat. Kemudian, Wirya menyerang Renata secara telak dengan memberinya sebuah cengiran.

“Atau mungkin,” katanya lagi. “kau tahu soal kasus ini dari ayahmu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro