I. Ein - the Faint Night of Tragedy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

xoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxo
Horror
xoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxo

Aku menyusuri trotoar dengan flatshoes-ku yang berwarna merah marun, senada dengan gaun sepanjang lutut yang aku kenakan. Sesekali berhenti untuk melihat jam tangan berwarna silver yang melingkar di pergelangan tanganku, seolah memastikan apakah kedua jarum di sana masih bergerak semestinya.

19:07

Aku menggigit bibirku gelisah. Bergegas mengambil kartu undangan berwarna hitam di tasku kemudian membaca waktu dimulainya sebuah acara-yang sangat penting bagiku-di sana.

"Masih satu setengah jam lagi," gumamku sembari mengembuskan napas pelan.

Demi menetralisir rasa gugup yang sedari tadi kurasakan, aku memilih menikmati semilir angin malam yang terasa dingin menerpa setiap inci tubuhku. Pula menatap bulan yang tengah dalam fase purnama dan bintang-bintang yang tampak gemerlap di atas sana.

Aku mulai memejamkan mataku. Membayangkan suasana acara-atau bisa disebut juga sebagai pesta-yang sangat kutunggu sejak pertama kali kehidupan kuliahku dimulai.

Mengapa aku sangat menantikannya? Bisa dibilang, mahasiswi yang notebane-nya sebagai mahasiswi pendiam dan tidak memiliki satu pun teman pasti akan menantikan saat-saat seperti ini. Dan salah satu mahasiswi itu adalah aku, yang tiba-tiba diundang oleh teman paling populer di jurusanku pada tahun kedua ini.

Saat sibuk mengecap suasana malam, tiba-tiba kurasakan sesuatu yang menghantam kakiku sehingga membuatku sontak membuka mata. Kulihat anak laki-laki berkostum vampir dan membawa keranjang berisi penuh permen yang menabrakku itu tertunduk dalam.

"Ma-maafkan aku," cicitnya. "Aku tidak sengaja."

Aku pun tersenyum. Berlutut di hadapannya sekaligus menyamakan tinggi kami.

"Tidak apa-apa." Aku menangkup wajah mungilnya dan mengangkatnya sehingga kami bertatapan. "Aku harap kau tidak terluka."

Ia tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Memperlihatkan dua taring palsu yang melengkapi kostum serba hitam miliknya itu untuk menyerupai sosok 'Si Pengisap Darah'.

"Iya! Aku tidak apa-apa," ucapnya penuh semangat.

Aku terkekeh pelan melihatnya, kemudian melepas kedua tanganku dan merapikan jubah hitam miliknya.

"Sekarang kau telah menjadi vampir yang tampan dan imut kembali!" pujiku yang membuat alisnya bertaut.

"Aku lebih memilih menjadi vampir yang keren," gumamnya yang sontak membuatku tertawa.

"Baiklah-baiklah, kau adalah vampir paling tampan dan keren," ucapku yang membuat matanya berbinar senang.

Ia memperhatikanku dan memutariku sekali. "Apakah kau juga menjadi vampir sepertiku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri.

Aku mengangguk dan mengusap rambut hitam legamnya. "Iya, tahun ini aku menjadi vampir."

Ia pun membulatkan mulutnya dan menatapku kembali. "Kau sangat cantik! Aku suka!"

Mendengar itu, mau tak mau aku terdiam dan mungkin saja pipiku sudah merona karena baru kali ini ada seseorang-selain keluargaku-yang memujiku seperti itu.

"Ah, ini!" Ia menyerahkan kartu undangan hitam yang sepertinya tidak sengaja terjatuh kepadaku. "Aku yakin ini milikmu."

Aku mengambilnya dan berterima kasih.

"Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku harus mengumpulkan permen dan cokelat bersama teman-temanku lagi," ucapnya sembari berbalik dan berlari kecil. "Sampai jumpa! Selamat hari Hallowen!"

Aku pun melambaikan tanganku, lalu bangkit serta menepuk gaunku beberapa kali. Tersenyum tipis ketika melihat anak kecil itu telah berkumpul dengan teman-temannya yang mengenakan berbagai macam kostum dan membawa keranjang serupa.

Ya, malam ini adalah malam Hallowen. Dengan labu-labu yang terhias di setiap rumah maupun jalan, juga para anak kecil yang berkostum berbagai tokoh dan kalimat 'Trick or Treat' telah melekat di malam penuh kebahagiaan dan misteri tersembunyi ini.

Aku memilih menikmati pemandangan ini sejenak. Lalu tanpa menunggu lagi, aku pun mulai melanjutkan perjalananku.

🎃 🎃 🎃

Pohon-pohon besar yang menutup sinar bulan dan suara tumpang-tindih burung hantu yang terasa mencekam itu tengah menghiasi langkah kakiku. Hal ini diperburuk dengan minimnya lampu penerangan di jalan ini, menjadikannya sebuah jalanan sepi tanpa cahaya dan tanpa satu pun kendaraan yang melintasinya.

Aku mengeratkan mantel hitamku. Menahan rasa dingin pula ketakutan yang kini mulai menggerogoti ragaku secara perlahan.

"Apakah aku menuju alamat yang salah?" gumamku. "Kalau tidak salah, alamat rumahnya tidak jauh dari rumahku. Tapi, kenapa sedari tadi belum sampai juga?"

Aku pun menggelengkan kepala kuat-kuat. Menepis prasangka buruk yang terbesit dalam hatiku dan memilih melanjutkan perjalanan ini.

"Kenapa di sini tidak ada lampu jalan, ya?" bisikku sembari menerka-nerka.

Tak lama kemudian, aku melihat sebuah rumah yang sangat besar dengan halaman luas berada tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa kusadari, aku pun langsung berlari sekuat tenaga menuju rumah itu karena merasakan sebuah hawa yang seolah-olah mengikutiku. Menyentuhku dengan kasat mata.

Aku membuka gerbang besi tua-yang anehnya tidak terkunci-kemudian menutupnya kembali. Bersandar di salah satu tembok yang membatasi gerbang ini dengan pagar besi dengan ukiran-ukiran rumit dan di atasnya terdapat lampu berbentuk bola yang redup.

"Kenapa firasatku tidak enak dari tadi, ya?" batinku sembari menetralisir napasku yang memburu dan degup jantungku yang berpacu cepat.

Setelah beberapa menit menenangkan diri, aku pun menengadah perlahan untuk menatap rumah tua itu dan ...,

"AAA!!!"

Aku mundur beberapa langkah. Menatap ngeri sebuah sosok yang kini berada di hadapanku. Sosok itu mengenakan gaun abad pertengahan dan rambut merah panjangnya telah menutupi wajahnya yang tertunduk.

"Pe ... per-gi."

Aku membeku ketika mendengar suara serak dan patah-patahnya yang mengerikan. Tubuhku pun bergetar hebat sehingga otot-ototku terasa mati seketika.

"Pergilah."

Kali ini suaranya tidak patah-patah. Namun, masih terdengar seram di indra pendengaranku.

"A-apa maksudmu?" tanyaku dengan wajah yang terhias peluh.

Ia tak menjawabku, tapi malah mengangkat tangannya sejajar bahu. Setelah mengamati tangannya sekilas, aku langsung menopang tubuhku yang lemas ke tembok dan merasakan lidahku kelu untuk sekadar berkata-kata.

Punggung tangannya sangat pucat, dengan darah dan daging yang terkoyak di mana-mana. Aku masih bersyukur karena tidak melihat seluruh tangannya yang mungkin lebih buruk lagi.

"Kau tidak boleh di sini. Kau ... kau harus bergegas mencari ruangan itu," ujarnya penuh tekanan yang sekaligus terasa mengintimidasi setiap sel-sel tubuhku.

Aku terpaku sejenak. Kemudian bertanya takut-takut yang hampir tidak terdengar sama sekali, "Ru-ruangan apa? Kenapa aku tidak boleh di sini?"

Ia tidak menjawabku.

"To-tolong jawab pertanyaanku ...," mohonku yang kurasa tidak diindahkan olehnya.

Tak berselang lama, ia melangkah terseok-seok ke arahku yang lantas membuatku ikut melangkah mundur kembali. Kurasakan gerbang besi yang dingin itu bertemu dengan punggungku, membuatku panik dan berteriak, "DIAM DI SITU!"

Ia pun berhenti melangkah.

Aku mulai menangis histeris. "KUMOHON JAWAB PERTANYAANKU! DI MANA AKU? KENAPA KAU MENYURUHKU PERGI? SEBENARNYA APA YANG TER-?"

Aku menghentikan ucapanku ketika dalam sekejap sosok itu telah berada tepat di hadapanku. Ia tersenyum lebar dan pada akhirnya aku pun hanya bisa terdiam menatap wajahnya.

Kedua mata sosok itu tidak ada. Wajahnya tak berbeda jauh dengan punggung tangannya. Tubuhnya pun menguarkan harum pekat darah juga bangkai yang membuatku harus menahan mual dan kengerian secara bersamaan.

"PERGI!!!"

Mendengar jeritan yang memekakkan telinga itu, tubuhku langsung berbalik dan mendorong gerbang yang sekarang telah terkunci.

Kudengar tawa sosok itu dan kulihat tangannya berusaha menyentuh pundakku yang sontak langsung kutepis.

Aku berlari sekuat tenaga menjauhinya. Menembus sebuah kegelapan yang memenuhi atmosfer tempatku berada.

Dengan panik aku mencoba membuka pintu rumah itu dan menggedornya beberapa kali. Sesekali berbalik untuk memastikan bahwa sosok itu tidak mengejarku.

Sesaat pintu itu terbuka, aku pun langsung masuk dan membantingnya.

Aku memejamkan mataku. Bersandar pada pintu kayu besar tersebut dan membiarkan tubuh ini luruh menyentuh lantai.

Kuembuskan napas sekuat-kuatnya. Meredakan dentuman jantungku yang tak beraturan serta tubuhku yang bergetar hebat.

Belum tenang sepenuhnya, tiba-tiba kudengar suara denting piano yang menggema. Melodinya tenang dan indah. Namun, entah mengapa ritme yang dimainkan membuat bulu kudukku meremang.

Dengan rasa penasaran bercampur dengan ketakutan yang memenuhi benakku, akhirnya aku memberanikan diri membuka mataku walaupun secara perlahan.

Kulihat,

ruangan ini gelap gulita.

Aku pun hanya dapat melihat sebuah kotak musik yang cukup jauh di hadapanku karena tertimpa sinar rembulan yang anehnya menyorot tepat pada benda itu.

Dalam sekejap tubuhku bangkit, mulai melangkahkan kakiku menuju-

Tunggu.

Kenapa aku berjalan menuju kotak itu?

Kenapa mataku tak bisa berpaling?

Apa yang terjadi pada tubuhku?

A-apa? Apa yang kulakukan?

Aku berusaha sekuat tenaga untuk berhenti. Namun, usahaku ini hanya membawaku pada kesia-siaan.

Dengan mata yang memburam karena air mata, tanganku meraih kotak itu. Menatap lekat-lekat hiasan balerina yang berputar selaras dengan melodinya.

Kulihat balerina itu berputar cukup lambat.

Perlahan bertambah cepat.

Semakin cepat.

Terlalu cepat.

Kepala balerina itu terlepas.

Suara piano itu mulai tidak beraturan. Seolah tenggelam dan suaranya sedikit demi sedikit mulai menghilang.

Aku membulatkan mata ketika kotak itu dipenuhi oleh cairan merah yang mulai meluap. Membasahi kedua tanganku.

Aku terus berusaha memerintahkan diriku untuk melempar kotak itu. Dan ketika tanganku berhasil melemparnya-yang sekaligus menjadi tanda bahwa aku dapat mengendalikan tubuhku lagi- ruangan ini menjadi terang oleh lampu yang memancarkan warna merah.

Aku memekik ketika melihat lantai dan dinding yang dihiasi oleh banyak bercak darah. Baik yang sudah kering maupun darah yang masih segar, seolah baru saja terjadi pembunuhan di ruangan ini.

Aku pun berbalik, mencoba untuk berlari. Namun sayang, tubuhku harus terjatuh karena ada sesuatu yang menarik kakiku.

Aku melihatnya. Potongan tangan-tangan pucat yang kini menarikku.

Aku berontak sekuat tenaga. Berkali-kali mendorongnya dengan susah payah.

Setelah berhasil lepas, aku mendengar suara tawa di depanku. Aku pun menoleh dan menemukan sebuah kepala badut-ya, hanya kepala-dengan penuh darah serta tersenyum lebar itu menggelinding ke arahku.

Aku terpaku sejenak. Menatap ngeri kepala badut itu yang mengeluarkan tawa seperti kaset rusak.

Semakin lama, suara itu terngiang dalam pikiranku.

Menusuk.

Membelenggu.

Tak berselang lama, pandanganku mulai memburam. Dihiasi oleh bayang-bayang samar berbagai sosok yang mengenakan baju putih di hadapanku.

Mereka menatapku.

Dengan kebengisan yang seolah terpancar dari kedua mata mereka yang berwarna merah terang.

🎃 🎃 🎃

Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Mulai bangkit dari posisi terlentangku dan mengamati sekitar.

Kusimpulkan tempat ini adalah lorong dengan kondisi yang remang. Hanya beberapa buah lilin kecil yang menjadi sumber cahaya di sini.

Aku meraba kepalaku yang terasa ngilu. Dan detik dimana aku ingat kejadian menakutkan yang menimpaku, tubuhku otomatis langsung berdiri lalu menatap takut-takut sekitar.

"Tunggu, kenapa aku ada di sini?" gumamku. "Bukankah aku ....".

Aku menelan salivaku susah payah, lalu tertawa kecil dan menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Tidak. Tidak mungkin, kan? Tadi aku hanya berhalusi-"

Kata-kataku terpotong ketika mataku melihat bekas cakaran yang kini memenuhi pergelangan kaki serta betisku.

Aku terdiam cukup lama. Kemudian ketika kesadaranku kembali utuh, aku berlari sekuat tenaga. Tanpa arah dan tujuan.

Kulihat sebuah pintu yang terbuka lebar tak jauh dariku. Tanpa berpikir panjang, aku pun masuk dan menguncinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku bersandar pada pintu itu sembari memeluk diri sendiri.

"Kenapa semua ini terjadi? Seharusnya aku sudah berada di pesta itu. Seharusnya ini hari menyenangkan yang selalu aku tunggu!" teriakku serak.

Aku pun menghapus air mataku kasar. Menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Aku harus bersembunyi-tidak. Aku harus berusaha pergi dari sini," ujarku seraya berusaha mengumpulkan keberanian kemudian mengawasi sekitar.

Cahaya bulan yang menyelusup dari jendela dengan ukuran yang cukup besar di dalam ruangan ini telah menarik perhatianku. Aku pun melangkah ke sana dan memandang langit yang tampak bersih.

"Siapa kau?"

Aku bergegas berbalik ketika mendengar suara yang dingin sekaligus menusuk itu. Dan tanpa dapat kuhindari, kedua tanganku langsung dicengkeram dengan kuat dan tubuhku dihempas ke arah jendela.

Aku meringis kesakitan lalu memejamkan mataku kembali.

Kurasakan tangannya yang dingin menarik daguku sehingga wajahku mendongak ke atas.

"Buka matamu."

Aku menggelengkan kepala.

"Kubilang, buka matamu," paksanya.

Aku pun mempersiapkan mental terlebih dahulu, dan akhirnya membuka mataku perlahan.

Karena sinar bulan yang menimpa wajahnya, aku dapat melihat jelas wajah yang tidak kusangka dari sosok yang mengenakan setelan jas hitam dan kini mengunci kedua tanganku di atas kepala dengan satu tangan. Ia sangat rupawan, sungguh. Matanya indah, irisnya hitam serta memiliki sirat sayu dan tajam, bibirnya tipis dan berwarna merah, rahangnya kokoh dan tegas, dan yang lebih penting ... mungkin sosok di hadapanku adalah manusia.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan raut wajah serta nada yang datar.

"A-aku tidak tahu. Mung-kin saja aku tersesat," jawabku bergetar, membuatnya menaikkan salah satu alisnya.

Ia pun terdiam, tapi terus memandangku. Membuatku gugup dan memalingkan tatapanku darinya.

"Dengan mata merah dan taring. Apakah ... kau seorang vampir?"

Aku terkejut dan menengadahkan kepala. Tak kusangka wajahnya saat ini sangat dekat denganku, mungkin hanya lima belas senti. Tapi tunggu, kenapa aku tidak merasakan terpaan napasnya walau dengan jarak sedekat ini?

Apakah mungkin-

"Tapi mengapa aku bisa merasakan denyut nadimu?" tanyanya yang membuat degup jantungku kembali berpacu cepat.

Aku pun berusaha berontak dan berlari menjauh darinya. Namun, dengan mudahnya ia menarik tanganku kembali sehingga kepalaku membentur dada bidangnya.

Ia menyisipkan anak rambut cokelatku ke telinga dan membisikkan sesuatu.

"Kusimpulkan kau adalah seorang manusia.

Dan kau akan menjadi santapanku kali ini."

...

xoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Part 1 by KagayakiMiHa
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro