Tangis dan awal mimpi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja
Selagi ayah disampingku ku dipuja...
Ku dimanja.

Ratapan anak tiri - Iis Dahlia

-------------------------------------------------------------------

Januari 1997

Suara azan magrib sayup-sayup mulai berkumandang. Seorang gadis kecil gelisah di tempat duduknya.

''Ibunya Rima. Kapan Ayah pulang?'' tanya anak itu. Mata besarnya berkaca-kaca.

''Sudah Ibu bilang. Tak usah nunggu Ayah pulang!'' jawab perempuan itu membentak sambil menutup tirai jendela kasar. ''Lagi pula. Pulang juga belum tentu ngasih kamu uang,'' lanjutnya lagi.

''Tapi ... '' gadis kecil itu semakin gelisah. ''Hana besok harus bayar iuran sekolah.'' suaranya bergetar, sekuat tenaga menahan kedipan matanya agar tak jatuh air mata. Ia tak ingin menangis di depan ibu tirinya.

*****

Hana terus mengayuh sepedanya makin kuat. Sebuah tanjakan tinggi. Kaki kecilnya terasa pegal, tapi ia tak ingin berhenti mengayuh sebelum sampai atas.

Ia turun, dan menyandarkan sepedanya pada sebuah pilar batu pembatas desa. Membungkuk, tangan kecilnya bergetar bertumpu pada kedua lututnya. Mengatur napas yang terasa sesak. Air mata yang dari tadi ia tahan luruh satu-satu.

Sepi. Tak ada seorangpun yang lewat. Hanya terdengar nyanyian jangkrik dan katak yang menemaninya.

Hana ikut menyandarkan tubuhnya pada pilar batu. Menghapus air matanya. Biasanya ia anak yang sangat penakut, tapi malam ini lain. Hatinya sakit, kenapa mereka begitu tega.

Tiap Minggu sore, Hana pergi ke rumah ayahnya. Meminta jatah uang saku untuk dia dan adiknya, Raka. Kadang ayahnya memberikan ia uang, tapi lebih sering pulang dengan tangan kosong, tak membawa uang sepeserpun. Hanya membawa makian.

Hana mengembuskan napasnya berat. Ditatapnya rumah di seberang jalan. Rumah besar bergaya kolonial Belanda, yang mempunyai ciri khas batu-batu besar sebagai dindingnya. Rumah itu milik Haji Saenudin Rumi. Kakeknya juga punya rumah dengan model seperti itu, tapi ukurannya lebih kecil. Lampu depan rumah itu sudah dinyalakan, walau hanya tampak temaram. Malam semakin larut, Hana masih duduk terdiam. Kadang orang yang sedang marah tak memiliki rasa takut, terkalahkan dengan emosinya.

Ia tersenyum tipis. Dalam hati bermimpi suatu saat nanti akan memiliki rumah seperti itu. Rumah yang besar dan indah dengan taman bunga di sekelilingnya.

Napasnya teratur, sisa air matanya juga sudah mengering. Hana mengambil sepedanya, mengayuhnya kembali. Pulang.

*****

Di rumah. Ibunya gelisah menanti anak gadisnya. Walau bukan hanya kali ini saja anaknya pulang sampai malam, tapi tetap saja Hana masih kecil, ia sangat khawatir. Ibunya baru bisa bernapas lega ketika dilihatnya pintu depan terbuka. Anaknya pulang.

''Ketemu sama Ayah, mbak?'' Raka, sang adik bertanya setelah kakaknya menandaskan segelas air minum.

Hana mengelap sisa air di sudut bibirnya. Ia mengangguk lesu. ''Tapi ....'' suaranya nyaris tak terdengar.

''Sudah tak apa-apa, mungkin memang Ayah kalian sedang tak ada uang.'' ibunya mengelus rambut anaknya pelan. Walaupun Hana masih diam, naluri ibu tahu apa yang dirasakan anaknya. Tiap kali pulang dan tak diberi uang oleh ayahnya, Hana akan seperti itu, matanya bengkak, hidungnya memerah.

''Besok Raka kalau istirahat pulang dulu ya? Ibu masak nasi goreng spesial,'' ucap sang ibu sambil membelai pipi anak laki-lakinya. ''Uang jajan Raka, Ibu pinjam dulu. Buat ongkos naik angkot mbak Hana, boleh?'' lanjutnya lagi. Harus ada yang dikorbankan. Terkadang ia merasa jadi ibu yang tak berguna, karena tidak bisa membahagiakan anak-anaknya.

Raka mengangguk lesu.

''Terimakasih,'' ucap sang ibu lembut. ''kemari ...'' ia memeluk kedua buah hatinya erat. ''Anak-anak Ibu yang pintar, yang mau diajak hidup prihatin. Percayalah, suatu saat nanti hidup kita pasti akan berubah. Belajar yang rajin, selalu berbagi, dan jangan putus berdoa.'' ia lalu mencium kening kedua anaknya bergantian. Diiringi doa tulus.

''Hanya kita bertiga.''

''Hanya kita bertiga.'' Hana dan Raka menumpukkan kedua telapak tangan mereka di atas telapak tangan ibunya.

-------------------------------------------------------------------

Thank^^
Gempas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro