Perantau-wati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

What define us is how well we rise after falling  -unknown

Rumangsamu yo penak -Nathan FingerStyle

-------------------------------------------------------------------

Pebruari 2014

Suasana pagi yang cerah seakan menyambut kedatangannya. Dengan senyum yang terus terkembang seorang gadis menuruni tangga si burung besi. Merentangkan kedua tangan, menutup mata, dan menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan. Tak acuh dengan orang yang mengantri di belakangnya untuk segera turun. Gadis itu hanya butuh waktu beberapa detik untuk melakukan ritual yang sudah sering ia lakukan.

Berjalan pelan menuju Conveyor Belt, ia berdiri menunggu kopernya keluar. Sesekali dia memandang ke luar, di balik kaca transparan dia sudah melihat keluarganya. Senyumnya terus merekah, ceria, matanya berbinar indah.

Sambil menarik kopernya, segera ia berlari menghampiri ibunya, mereka saling memeluk erat. Melepas rindu setelah dua tahun tak bertemu. Walaupun mereka selalu berkomunikasi lewat telepon.

''Selamat pulang anakku.'' Ibunya terisak, tangisan bahagia karena anak kebanggaannya telah kembali. Ia sangat merindukan anak gadisnya.

''Hana pulang Ibu.'' ia menciumi tangan, pipi, dan kembali memeluk ibunya. Kemudian menyalami keluarga satu persatu. Hana mendengus kesal melihat rombongan yang menjemputnya, padahal yang di jemput cuma satu orang, tapi yang menjemputnya seperti rombongan sirkus. Tapi ia bahagia bisa melihat ibu, paman, bibi, serta para sepupunya.

Biasanya, keluarganya berangkat kemarin siang, sehari lebih awal. Bahkan Hana masih belum berangkat. Mereka akan jalan-jalan ke Malioboro. Dan menunggu pagi di Bandara. Aneh, dan buang-buang waktu. Hana memang lebih suka penerbangan sore atau tengah malam, ia suka menikmati suasana langit di malam hari, damai.

Akhirnya setelah acara saling peluk cium, rombongan mereka meninggalkan Bandara. Menuju kampung halaman yang masih 4 jam perjalanan. Canda tawa dan berdesakan. Tapi mereka sangat bahagia.

Sudah 1 jam perjalanan dan mobil terasa sepi. Mereka kelelahan dan tertidur. Tapi Hana tak dapat memejamkan matanya, tempat duduknya terasa sempit, bokongnya panas. Ia hanya ingin segera meluruskan punggungnya.

''Paman. Ini mobil pinjam punya siapa?'' Hana bertanya pada Paman Haryadi, adik ibunya.

Sang paman yang sedang menyetir mamandang Hana melalui kaca spion. ''Tanjung,'' jawabnya singkat.

''Siapa?'' tanya Hana yang asing dengan nama itu.

''Tanjung. Nanti kalau balikin mobil ini kamu harus ikut. Sekalian bayar ongkos sewanya.'' Haryadi melirik sekali lagi ke arah Hana.

Hana memandang ke luar jendela. Terlihat tanaman tembakau sepanjang perjalanan. Ingatannya melayang-layang, tentang nasib hidupnya.

*****

Dia adalah anak pertama yang mau tak mau harus jadi tulang punggung keluarga. Orangtuanya berpisah saat ia masih kecil.

Dulu, setelah lulus sekolah ia ingin kuliah seperti teman-temannya. Alasan yang klise, buat biaya sekolahnya saja susah apalagi ingin kuliah.

Dua bulan setelah lulus SMA, Hana bekerja di sebuah pabrik elektronik di Karawang. Gaji yang ia dapat harus dibagi antara kebutuhannya selama satu bulan, buat biaya sekolah Raka, sisanya yang tinggak tak seberapa ia tabung.

Banyak tetangga di kampungnya yang menjadi BMI. Melihat kesuksesan mereka, Hana pun ingin mencoba mengadu nasib jadi TKW.

Tiga bulan ia habiskan di Training center. Sebelum akhinya mendapat majikan dan visanya turun. Proses Hana termasuk cepat, karena yang belum berpengalaman ke luar negri seperti dia, biasanya prosesnya sampai berbulan-bulan lebih lama. Awal penyesuaian tidaklah mudah. Beda budaya, bahasa, dan iklim. Apalagi setiba di Hong Kong, Hana langsung disambut dengan musim dingin. Beruntung baginya ia mendapat majikan yang baik.

Memang miris mendengar berita BMI. Ada banyak yang disiksa majikan atau mereka yang terjebak pergaulan bebas. Bersenang-senang lupa dengan keluarga yang di tinggalkan.

Menjadi lesbi, menikah sesama jenis kemudian mereka punya anak, boneka. Padahal mereka punya anak yang nyata, yang selalu menunggu dan mendoakan ibunya. Atau make over sebelum pulang. Berpakain minim dengan rambut yang diberi warna merah, kuning, hijau. Tak ada hubungannya memang, yang bekerja tangan, bukan rambut mereka. Atau pamer gadget antara sesama BMI di sosial media, sampai membakarnya. Sombong.

Tiap hari minggu atau public holiday adalah jadwal libur bagi para BMI. Kalau tak libur, majikan harus menggantinya dengan uang.

Di Victoria Park atau kampungnya Indonesia, berbagai macam dan gaya orang ada di sana. Yang mengaji, pencak silat, belajar rias, jualan nasi bungkus, latihan rebanna, jual jamu, bahkan yang jual diri pun ada.

Banyak yang bekerja part time. Menambah pundi-pundi tabungan selain gaji pokok. Tapi ilegal. Karena siapapun tak boleh bekerja selain yang sesuai dengan kontrak kerja.

Menjadi TKW bukanlah cita-cita Hana. Tapi tak pernah di sesalinya. Orang yang selesai kuliah mendapat gelar, pun demikiam para BMI yang punya gelar istimewa 'Pahlawan Devisa'. Karena BMI adalah penyumbang terbesar devisa negara.

Secara materi, seorang BMI bisa membeli sepeda motor seharga 30 juta tunai. Sementara yang jadi pegawai harus menyicil selama beberapa bulan. Hebat tentu saja. Tapi di kampung Hana, orang yang mampu kuliah memiliki status derajat dan martabat yang lebih tinggi.

Lamunan Hana terhenti, dia merasakan belaian halus pada lengannya.

''Sudah sampai rumah.'' Ibunya tersenyum lembut. Hana mengangguk, lalu turun dari mobil. Dia terdiam sejenak. Kembali ia memejamkan mata, melangkah dengan bangga. Kembali ke istananya, rumahnya, keluarganya.

''Aku pulang!'' teriaknya keras.

-------------------------------------------------------------------

Yung Oi :))
Gempas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro