14 · Tetangga Baru (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sehebat-hebatnya Raka, dia tetap mentok jika berhadapan dengan birokrasi.

Bayangkan saja, Raka sudah megang jabatan head chef di usia yang belum 30, menempati penthouse rent-free karena gedung apartemen ini milik calon bapak mertuanya, lalu sebentar lagi akan menikahi perempuan jenius yang sudah dipacarinnya sejak jaman batu.

Enak bukan, hidup dia?

Maka, kehadiran Gala memiliki fungsi untuk menyeimbangkan itu semua. Untuk membuat hidup Raka jadi tidak enak-enak amat.

Semua ini dimulai dari tempat tinggal. Ternyata, terlepas dari apapun statusnya Raka, dia tidak bisa dengan instan menyulap satu unit apartemen kosong ready untuk ditempati Gala.

Semua ada prosesnya. Dan proses itu makan waktu.

Maka dari itu, sebagai teman yang baik hati dan bertanggungjawab, Raka harus merelakan penthouse-nya menjadi lahan camping untuk Gala sampai waktu yang belum ditentukan.

"Ini kunci jangan sampe ilang. Passcode pintu jangan sampe lupa. Terus, itu nama dish juga buruan dikelarin, mau disetor ke Mas Yus."

Raka berkata sambil melemparkan gantungan kunci ke arah Gala, yang sedang rebahan di atas sofa sambil menggigit ujung tutup bolpoin. Kunci itu bergemerincing saat Gala berhasil menangkapnya. Cowok itu lantas menaruh kunci-kunci tadi di samping selembar kertas yang tergeletak di atas meja, penuh berisi coretan nama-nama calon menu yang menjadi PR Gala.

"Iye, iye, bawel," gumam Gala sambil lanjut menggigiti tutup bolpoin.

"Kalo bisa malem ini udah kelar semua ya Gal, biar besok tinggal belanja bahan sama testing menu, kalau sempet foto produk juga buat menu digital. Oh iya, terus—"

"Stop, stop!" Gala bangkit dari sofa, lalu menunjuk ke arah Raka. "Waktunya terlalu mepet, gue nggak bisa. Buat perkara menu, udah mentok di nama aja. No potosyut, no testing-testing alay. Noh liat, sisa testing tadi siang masih seabrek!"

Gala mengarahkan telunjuknya ke arah dapur terbuka, dan di sana masih terdapat dua piring besar hidangan sushi yang hanya dimakan beberapa potong saja.

"Kalo lo mau, tuh foto aja tester yang udah jadi! Capek gue disuruh bikin-bikin mulu! Berasa flashback kayak ujian praktik jaman kuliahan aja." Gala mengelak sambil membenarkan posisi bantal di kepalanya.

"Ya elah, entar juga lo kerja bakal bikin-bikin terus delapan jam per hari," balas Raka.

"Bachot!"

Raka terkekeh lalu berjalan mendekati tester sushi di konter dapurnya itu. Meskipun Gala kerap ngegas dan agak sulit untuk diatur, tapi sobatnya itu ada benarnya juga.

Sebagai head chef, Raka terbiasa menyuruh dan menuntut segalanya serba sempurna. Sampai terkadang, dia tidak sadar akan tekanan dan waktu yang mempersempit ruang gerak bawahannya.

"Hmmmm, lo bener, Gal. Ini bisa di-plating ulang, udah lumayan oke buat foto menu." Raka bergumam.

"Hah?? Lo ngomong apa???" Gala menyahut dari arah sofa.

"Nggak jadi!" balas Raka yang merasakan getaran di sakunya. Ternyata sebuah pesan singkat baru saja masuk ke ponselnya.

"Gal," panggil Raka kemudian. "Lo turun gih, ditungguin Lisa sama Windu, tuh. Lo jadi beli hape baru, kan?"

Mendengar itu, Gala langsung duduk tegak.

"Siap, Chef!" ujar Gala bersemangat, bangkit sambil memberi hormat. Rasanya lebih baik cepat-cepat kabur, ketimbang bertahan satu ruangan dengan Raka yang sedang dalam mode mandor.

Gala lantas menyahut kunci rumah dari atas meja dan mengambil jaket yang digeletakkan di punggung sofa.

"Hati-hat—"

Belum selesai Raka bicara, Gala sudah menghilang di balik pintu.

Raka hanya menggelengkan kepala, heran, lalu mengembalikan fokusnya pada gawai di tangan. Dia perlu menghubungi seseorang lagi.

🍰

"ANJIR! Bang Gala masih botak aja!"

"Lo juga masih bawel aje, Win!"

Gala baru saja keluar dari elevator gedung apartemen Raka, dan sudah ada yang ngajak ribut.

Tampak seorang gadis yang menyapanya tadi berdiri di samping Lisa. Gadis itu bernama Windu.

"Awet bener kalian jadi bestie. Nggak ada berantemnya apa?" Gala berkomentar saat melihat Lisa dan Windu kompak tertawa.

"Si paling suka kerusuhan," celetuk Windu.

Gala mencibir. "Yok dah, reuninya sambil jalan."

Sejak dulu, saat masih mengontrak bersama Raka, Gala sering berpapasan dengan Windu yang berperan sebagai satpam Lisa; mengantar-jemput Lisa ngapel, menceramahi saat Lisa meninggalkan kekacauan di dapur kontrakan, hingga menjadi juri hasil eksperimen masakan Raka-Lisa yang kerap melibatkan Gala juga.

Tak pernah disangkanya sejarah masa kuliah itu berulang kembali. Kini, dengan pemeran yang masih sama, dengan keadaan yang tak jauh berubah juga.

Setengah jam kemudian, mobil yang disetir Windu berkelok keluar dari parkiran toko elektronik. Di samping kursi supir, terdapat Lisa yang menunjuk-nunjuk spot jalan dan jalur one way sesuai map digital.

Sementara di belakang, Gala melemparkan pandangan ke luar jendela, ke arah langit lepas Surabaya. Sebuah kotak berlogo merk ponsel tergeletak di kursi sampingnya, belum dibuka.

"Lontong balap apa lalapan, Bang?" tanya Lisa dari kursi depan, membuyarkan lamunan Gala yang entah sedang memikirkan apa.

"Bebas," jawab Gala sembarangan.

"Huuu, nggak membantu! Ya udah Win, lontong aja kali ya?" Lisa menimpali. Tampaknya, dia sengaja meminta pendapat Gala akan menu makan siang yang sedang dirundingkannya dengan‌ Windu.

"Lontong balap, gasss!" Windu menginjak pdal lebih dalam, memacu mobil mereka lebih cepat.

Gala sendiri belum terlalu lapar. Biasa saja. Dia juga tidak terlalu merasa excited layaknya manusia modern saat membeli gawai baru, yang buru-buru ingin mengunduh aplikasi ini itu.

Cowok itu lebih merasa apati karena benda ini merupakan 'keharusan' untuknya bisa berbaur kembali dengan peradaban, bukan suatu hal yang dibeli karena keinginannya. Yang lebih menyebalkan lagi, satu kotak berisi barang berharga itu akan memotong sebagian gaji Gala selama tiga bulan ke depan. Hah!

"Kita sampai nih."

Suara Windu membuat Gala mau tak mau harus turun dari mobil. Mereka bertiga mengisi meja di pojok restoran. Lisa dan Windu sangat bersemangat untuk memesan, sementara Gala berkata hanya ingin es teh saja.

"Serius, Bang Gal, nggak mau cobain lontongnya? Ih, masa nggak kangen, sih? Dulu kan pas masih kuliah sering banget beli." Lisa membujuk mantan seniornya itu.

"Nggak laper gue," tukas Gala.

"Belum laper kali, Bang. Ntar juga laper. Nah, daripada nunggu entar, mending diisi sekarang aja. Aku pesenin satu deh, pokoknya harus dimakan." Windu berceloteh sambil menulis di kertas menu, membuat Gala mendengkus pasrah.

"Terserah yang bayarin, deh," gumam Gala akhirnya.

Windu dan Lisa kembali terkikik dan melanjutkan obrolan mereka.

"Gimana Bang, satu atap lagi sama si Raka? Betah?" Windu memulai sambil meneguk jus jeruk yang baru saja tiba.

"Be aja. Paling ya gitu-gitu doang." Gala menjawab tanpa minat.

"Terus kerja di hotelnya Om Moel gimana, Bang? Betah juga nggak?" Windu masih penasaran.

"Nah kalo itu gue belom nyobain. Masih besok gue ke sananya, siap-siapin bahan buat buka menu sushi, baru lusa opening."

"Ooooo." Windu sekilas melirik Lisa.

Sebagai sahabat dekat Lisa, Windu tentu tau apa yang sedang diusahakan gadis itu. Perkara sushi dan pasta.

Tapi kalau keadaannya rumit begini, Windu memilih untuk tidak ikut campur. Biarlah urusan dapur Celestial Hotel menjadi santapan pekerjanya saja.

"Wah, nih lontong kita dateng." Lisa berkata dengan nada yang kelewat riang, membuat Windu refleks menerima mangkuk yang disodorkan pramusaji.

"Dimakan loh, Bang Gal," perintah Windu lagi sambil menyodorkan porsi Gala.

"Ya ya, bawel," balas cowok itu.

🍰

"Habis beli hape baru bukannya semangat malah lemes lo," komentar Raka saat mendapati Gala sudah terkapar di atas sofa.

Sebuah gawai yang sedang booting di samping kotak kemasannya digeletakkan begitu saja di atas meja.

"Kenyang bego gue."

Gala menghela napas sambil memejamkan mata. Suasana siang hari di kota Surabaya sangat mendukung untuk ditinggal tidur.

"Woy, jangan tidur dulu. Kita masih harus foto produk nih sekarang." Raka melempar wajah Gala dengan bantal sofa.

"Hah? Sekarang banget?"

"Iya."

"Harus banget ada gue? Kan itu sushi-nya udah jadi, tinggal lo tata aja."

"Gue butuhnya lo bangun, Gal. Liat tuh siapa yang mau fotoin sushi lo!" ucap Raka akhirnya, bersamaan dengan Gala yang akhirnya mendongak ke arah ruang tamu.

"WOY! OKY?!" Pekik Gala sambil bangkit dari duduk.

"Yo wassap ma broh!" Oky, sobat Gala dan Raka yang dulu tinggal satu kontrakan dengan mereka, mengangkat dua tangannya ke udara.

"Anjir gaya lo alay banget sekarang! Hahah! 'Pa kabar, Bro?"

Gala menyalami cowok dengan wajah mulus dan kacamata berlensa oranye itu, sedikit pangling dengan penampilan Oky Jaenudin yang dari dulu sudah serampangan, kini menjadi lebih berantakan—tapi terlihat stylish.

"Masih sompral aja mulut dia, ya?" Oky menunjuk Gala, berkata para Raka.

"Emang," balas Raka.

"Jadi apa lo sekarang?" Gala memandang penampilan Oky dari atas ke bawah. Tak mungkin temannya yang kini berpakaian nyentrik ini bekerja sebagai manusia normal biasa.

"Food vlogger dia, makanya sekalian gue mintain tolong buat foto." Raka yang menjawab menjawab, bersamaan dengan Oky yang mengeluarkan kamera DSLR dari tas selempang yang dibawanya.

"Wuis, sadisss!" Gala berdecak kagum.

Ketiga lelaki itu lantas mengerubungi dapur, bekerja sambil bertukar kabar tentang serpihan hidup mereka selama empat tahun terakhir.

🍰

Malam akhirnya turun. Hari ini adalah hari yang panjang bagi Gala.

Cowok itu merebahkan diri di ranjang kamar tamu apartemen Raka, memandangi langit-langit asing sambil merenungkan bagaimana nasib teman-temannya melanju jauh lebih baik darinya.

Bertemu lagi dengan mereka telah membuka mata Gala bahwa dia sangat tertinggal.

Apa yang dia lakukan salah, ya? Apa karena membuang waktu di Gili Ketapang, menjaga Mustika dan anak-anaknya, atau karena dia mangkir dari amanat Chef Faris dahulu kala?

Ah, memikirkan orang-orang itu membuat Gala mengingat sesuatu.

Perlahan cowok itu bangkit dari ranjangnya, mencari ponsel yang tergeletak di meja kamar, dan membongkar tas ransel miliknya.

Di salah satu sudut kantong ritsleting kecil, terdapat secarik kertas dengan barisan nomor telepon ditulis tangan. Tulisan Tika.

Butuh beberapa detik sebelum Gala berhasil menemukan aplikasi kontak di menu ponsel barunya itu. Gala memasukkan nomor Tika, yang berbaris dengan nomor Chef Faris dan Ibu.

Ah, Ibu. Ibu Gala dan Tika, ibu panti yang mengasuh mereka dulu.

Tak terasa Gala menghela napas. Rasanya banyak sekali tali yang dulu dia putuskan sepihak, yang kini menuntut untuk dirajut kembali.

Gala tau dia tak harus buru-buru melakukan itu semua.

Sekarang, di penghujung hari yang melelahkan ini, dia memprioritaskan yang paling utama.

Gala memutuskan untuk mengetikkan satu baris pesan pada perempuan yang paling membuatnya nyaman, perempuan dengan display foto tersenyum sambil menggendong balita kecil bergigi keropos—yang membuat Gala tersenyum lama sambil memandangi foto mereka berdua.

[Tika, ini nomorku. Aku udah di tempat Raka.]

Begitu saja. Gala tak mengharapkan balasan langsung. Hanya sebatas membuka akses kontak untuk Tika saja sudah membuatnya merasa lega luar biasa.

Namun di luar dugaan, ponsel Gala tiba-tiba bergetar.

Sebuah panggilan masuk dengan nama kontak Tika menyala di sana, memancing senyum Gala timbul tanpa disadarinya.

🍰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro