15 · Tetangga Baru (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada siang hari yang panas dan lengket di pasar pesisir, satu hari sebelum resto Celestial Hotel kembali dibuka, Gala berkutat di tengah-tengah amisnya bau pasar bersama Pak Seno dan Gilang, staf logistik hotel.

Selaku kepala dapur, Raka membagikan tugas yang berujung Gala harus ikut andil dalam berbelanja perlengkapan menu sushi-nya, termasuk berkunjung ke pasar ditemani Pak Seno untuk melihat bahan.

"Cumi-cumi atau gurita, bisa?"

Pak Seno mengangkat hewan laut itu di hadapan wajah Gala, membuat cowok berambut minimalis itu mengerucutkan bibir.

"Bisa aja sih, Pak."

"Oke, masuk. Kalau scallop?"

"Iya, bisa."

"Kalau..."

Gala menggaruk kepala. Pasalnya, seafood apa saja yang bisa dimakan, pasti bisa disajikan juga sebagai sushi atau sashimi.

Gala sudah menjelaskan pada Pak Seno bahwa konsep kolaborasi seafood mereka bisa menggunakan bahan yang sama, namun layaknya anak berusia empat tahun yang keranjingan mainan dan baru saja menemukan teman bermain yang sefrekuensi, Pak Seno sangat kegirangan untuk berbagi dengan Gala.

"Saya ini suka sekali sama ikan-ikanan, tapi selama ini harus apa-apa sendiri. Si Chef memang bisa diajak sharing, tapi yah dia sekadar formalitas saja, menanggapi saya karena memang sudah tugasnya."

Gala memperhatikan Pak Seno yang mendadak curhat sambil memilih-milih ikan dori. "Gitu ya, Pak?" respons Gala.

"Iya." Pak Seno mengangguk. "Kurang passion sama ikan itu, si Chef," lanjutnya.

Gala kini terkekeh. "Emang, Pak! Dia itu dari dulu sukanya sama daging-dagingan."

Tanggapan Gala membuat mereka berdua kompak terbahak. Sesi pembelanjaan stok bahan siang itu berlanjut dengan Gala dan Pak Seno yang semakin akrab satu sama lain.

Tanpa terasa, matahari sudah beranjak turun saat Gala kembali ke penthouse Raka. Rumah singgah sementaranya ini menampung tubuh atletis Gala yang sesorean tadi menghabiskan waktu di Celestial Hotel setelah kembali pasar pesisir.

"Padahal belom mulai perang, udah KO aja lo." Raka menyeletuk sambil melemparkan botol air mineral pada Gala.

Gala menoleh, mendapati sobat sekaligus atasannya di dapur itu sudah mengalungi handuk kecil di bahunya.

"Dari mana lo?" tanya Gala, sembari meneguk air mineral pemberian Raka.

"Gym." Raka membalas ringan sambil berlalu.

"Wuih, ada deket sini? Langganan lo? Di mana?" Gala bangkit dengan bersemangat.

"Lantai bawah. Pake aja, free kok buat penghuni apart." Raka menjawab dengan senyum tipis. Dia paham bahwa sejak kuliah Gala memang suka berolahraga. Pain is gain, begitu katanya dulu.

"Mantap," bisik Gala beranjak menuju kamar tamu. Dia berniat untuk mengganti kaos dan mengecek gym itu secara langsung.

"Woy, minimal makan dulu lo Cungkring! Jangan sampe gue dipanggil satpam buat gotong lo gegara pingsan ntar!" teriak Raka dari ujung ruangan, sepertinya hafal betul gelagat Gala yang sat-set-sat-set itu.

Gala mengacungkan jempol tangan kanannya tanpa membalikkan badan.

🍰

Langit sudah menggelap saat mobil merah Wendy berhenti di carport apartemennya. Begitu turun dari mobil, perempuan itu segera membuka pintu bagasi dan mengeluarkan beberapa kantong belanja, cinderamata dari kunjungannya ke P Mal bersama Sally siang tadi.

Wendy menyeberangi lobi apartemen dengan tangan yang penuh membawa kantong belanja. Sambil memperhatikan angka digital yang berkedip di atas pintu lift, Wendy menyapukan pandangan ke sekitar.

Apartemen ini merupakan gedung baru dengan fasilitas lengkap dan nyaman huni, sepadan dengan rogohan kocek yang cukup membuat golongan ekonomi menengah ke samping mundur perlahan.

Tanaman hijau di sudut-sudut ruangan membuat suasana yang sudah ditiup pendingin udara menjadi semakin sejuk. Sofa di seberang resepsionis seakan mengajak siapa pun, tamu sampai ojol pengirim makanan, untuk singgah beristirahat mendinginkan panasnya kota Surabaya.

Terdapat kolam renang outdoor yang bisa diakses melalui sepasang pintu kaca, tepat di sebelah gym umum dengan fasilitas premium yang letaknya tak jauh dari tempat Wendy menunggu.

Tunggu, di gym itu...?

Wendy memicingkan mata. Sekilas tadi, Wendy melihat sesosok lelaki yang belakangan ini cukup mengusik hidupnya. Lelaki berambut botak dan mata yang tajam, kini sedang mengangkat beban barbel sambil setengah berbaring.

'Uwasu!' maki Wendy dalam hati, menyadari sosok Gala yang ternyata sungguhan ada di gym apartemennya.

Buru-buru Wendy berbalik, mendekat ke pintu lift dan menekan berulang-ulang tombol panah ke atas.

Wendy menoleh sekali lagi, kali ini mendapati Gala sudah terduduk dari posisi berbaringnya, meneguk air mineral dari botol, dan matanya menatap lurus ke arah Wendy. Pandangan mereka bersirobok. Gala bangkit dari tempatnya.

Mampus!

"Cece dari dulu bukan tipe orang yang suka mulai masalah duluan, kan? So... let's just keep it that way?" Wendy teringat kata Sally saat mereka makan siang tadi.

Seketika itu juga benak Wendy menjawab 'Iyo, aku memang bukan yang memulai masalah, tapi entah kenapa yang selalu disalah-salahi!'

"Hai, Wen."

Mata sipit perempuan itu mengerjap. Gala tersenyum simpul tempat di hadapannya, sementara beberapa tas belanjaan terjatuh dari tangan Wendy tanpa sadar.

Rasanya Wendy hanya melamun beberapa detik, namun sosok Gala yang tadinya melakukan bench press sudah berdiri di hadapannya, berbalut peluh, menata napas, dan masih menunggu balas sapaan dari Wendy. Sejak kapan dia di sini?

"Y-ya," balas Wendy gelagapan. Dia tidak siap menatap Gala.

"Lo tinggal di sini juga?"

Wendy berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan bodoh itu. "Ya."

"Kalo gitu tetanggaan dong, kita." Gala masih nyengir, sementara Wendy kini memaksakan senyum. "Raka sempet bilang sih, kalo apartemen ini banyak dihuni karyawan Celes. Mas Yus juga katanya punya unit di lantai atas, ya?"

Wendy perlahan-lahan mampu membalas tatapan Gala. Entah kenapa tadi dia sempat merasa jengah.

"Ya, tapi Mas Yus jarang nempatin unitnya," ucap Wendy.

"Oh ya? Kenapa, tuh?" Gala maju selangkah mendekati Wendy, matanya memancarkan kilat tertarik. Sepertinya pembahasan apa-apa yang berkaitan dengan penghuni Celestial Hotel cukup menggugah minat lelaki itu.

"Ndak tau," bohong Wendy.

Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum di tempat kerja mereka bahwa waktu luang Mas Yus dihabiskan untuk mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Itulah sebabnya sang GM lebih sering pulang ke rumah orang tuanya.

Sebagai orang baru, wajar sekali jika Gala belum mengetahui hal itu, dan Wendy tidak berminat menjadi orang pertama yang memberinya informasi tersebut.

"Kapan-kapan—"

Ding.

"Aku naik duluan, yo." Wendy memotong ucapan Gala tepat dengan bunyi lift yang berdenting, sembari menjauhkan jarak mereka dan membuat lelaki itu membelalakkan mata tanda sedikit terkejut.

"Oh, lagi buru-buru ya lo?" Gala melepas gelagat Wendy yang sudah siap mengambil langkah seribu.

Wendy hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Gala, dan berbalik dengan cepat. Baru beberapa langkah diambilnya, tiba-tiba terdengar suara Gala memanggil lagi.

"Wen!"

Opo meneh iki? batin Wendy, sedikit mempertimbangkan apakah dia harus berhenti atau terus jalan saja.

"Woy, tunggu bentar! Barang lo ketinggalan."

Suara Gala diiringi cekalan di tangan Wendy sukses membuat perempuan itu menoleh. Tepat di hadapannya, Gala sudah menyodorkan tas belanjaan Wendy yang tadi terjatuh.

"Eh—oh, yo. Suwun (makasih)." Wendy meraih kantong-kantong itu sambil membungkuk singkat. Sekilas, bisa dilihatnya raut wajah Gala yang tersenyum tipis.

Untungnya Wendy diselamatkan oleh pintu lift yang sudah terbuka, memberinya alasan valid untuk segera hengkang dari hadapan lelaki itu. Lelaki yang dihindari Wendy sepenuh hati, yang dengan wajah berpeluh serta senyum yang penuh, melambaikan tangan sampai pintu lift menutup.

Sepanjang perjalanan naik, Wendy berusaha mengenyahkan bayang-bayang sosok Gala yang berkaus tanpa lengan, dengan celana pendek dan dada lembap bekas keringat, serta otot biseps yang menyembul samar.

Asuw. Dia sama sekali ndak keren!

🍰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro