17 · Wendy dan Matcha Puffs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

a/n
selamat 2023!
btw lagu di mulmed lucu lho. hehe 

🍓

Aku tau kejadane, gimana piso tulisan cino iku bisa potel dan bikin Gala oleng sepanjang dinner.

Awale si kembar lagi prepare, mereka bawa satu ember penuh kerang hijau. Biasane, mereka bersihin kerang iku pake piso kecil yang sering dipake juga buat ngoncek i brambang (ngupas bawang).

Tapi hari ini piso kecil kesayangan para kitchen helper iku ketelingsut. Hilang entah kemana.

Wajar sih sebenere, namanya dapur yang punya peralatan seabrek, yo wes mesti ada yang ilang satu-dua. Toh tiap bulan juga kita ndata barang apa aja yang hilang atau rusak, yang nanti ne bakal dibeliin baru sama staf logistik.

Nah yang jadi sumber perkara ini adalah si Pras, bocah ndablek itu malah nyari piso di sekitar meja Gala. Dan yah... selanjutnya bisa dibayangkan.

Oke, oke, sebelum e tahan dulu. Aku bukane ndak ngeh yo, kalau piso lancip tulisan cino itu adalah benda pusaka Gala. Aku paham, mungkin, kalo benda tajam itu mungkin punya nilai jual tinggi dan dieman-eman sama pemiliknya. Mungkin.

Tapi yang perlu kalian tau, di sini ini posisiku lagi holding the ground perkara Gala. Ya, kalau kata Sally, aku ndak perlu cari-cari masalah.

Nah, terlalu ikut campur dan ngelarang-larang Pras biar ndak nyomot piso pusaka Gala iku bisa jadi sumber masalah.

Kalau nanti Pras nanyain urusanku sama piso itu—sama Gala—piye koen?

Jadi, ya wis, dengan menjunjung tinggi perasaan EGP, aku meneng ae dan jadi saksi bisu si kembar ngoprek-ngoprek kerang pakai piso itu.

"ASTAGA! Pras, kamu pakai pisau Bang Gala?!"

Nah! Lisa yang baru masuk dapur langsung mendelik liat Pras beraksi. Aku, masih jadi penonton setia.

"Iya, Lis. Pinjem bentar." Pras masih santai ngelanjutno kegiatane.

"S-stop! Jangan diterusin, Pras. Itu yanagiba kesayangan Bang Gal. Satu-satunya, warisan dari chef-nya dia." Lisa langsung maju dan mau ngerebut piso itu dari tangan Pras.

"Eh-eh! Bahaya!" Pram, si kembar yang jongkok ndak jauh dari situ, langsung nahan Lisa.

"Nekat lau!" Pras nyahut, geleng-geleng kepala sambil lanjut ngoprek-ngoprek kerang. "Santai aja kalee, biasa juga pisau Chef Raka kita pake nggak papa. Nah ini malah Bang Gala, santuy orangnya, pasti tambah nggak papa!"

Lisa ngelepasin diri dari Pram, siap buat debat mereka lagi. Begitu Lisa narik napas buat ngomong, tiba-tiba kedenger suara...

Pletak!

"Hmh, mateng koen," komentarku akhirnya. Cuma nggumam aja, ndak ditanggepin karena Lisa langusng panik, dan Pras ikutan panik, terus Pram ketularan pisan panik e.

Lontaran kata 'gimana' terus 'aduh' sama 'mampus' keluar dari mereka bertiga. Heboh pol, sampe-sampe Pak Seno melongok dan ikutan nonton.

Beruntung ndak ada Chef Raka di sini, bisa-bisa dijewer iku duo kembar.

"Gimana kalo... nih, ini pisaunya kita balikin, dan kita nggak nyentuh sama sekali. Nggak ada kejadian apa-apa. Ya Lis, ya? Oke, nona Elizabeth?"

Pras mungut pelan-pelan serpihan kecil piso dan naruh benda yang wis cacat itu ke atas station Gala. Pram ngasih sentuhan akhir dengan nutupin pakai kain serbet.

"Kalian tau kan, kalau kalian harus tanggung jawab? Bang Gala pasti ngamuk, kalian harus ngomong langs—"

Pintu dapur kebuka. Gala muncul di sana, lagi cengar-cengir sendiri.

"B-Bang Gal...." Lisa buka suara, dan mukanya yang pias langsung bikin senyum Gala ambrol. Dia tau ada yang salah.

"Kenapa?" tanya Gala.

Hening. Aku pisan ndak berani buka suara. Peranku balik lagi jadi saksi bisu, penonton yang mendadak ikutan kaku. Ini pertama kaline aku akan liat Gala marah. Marah besar.

"Pada ngapain, sih??" Gala maju tepat sasaran ke arah si kembar, yang bikin mereka panik, dan Pram ndak sengaja nyeret kain serbet yang nutupin piso korban kecelakaan iku.

Aku bisa ngerasakno udara di dapur makin padet, mungkin karena orang-orang ndak ada yang bernapas waktu merhatiin reaksi Gala liat piso kesayangannya wes potel.

"Siapa... yang make... pisau gue... TANPA IJIN?!" Nada suara Gala bergetar sekaligus menggelegar.

Sedetik habis itu, Gala ngarahin pandangan ke seantero dapur. Ke Lisa, yang geleng-geleng kepala. Ke aku, yang bales ngeliatin dia dan langsung bisa ngerasa punggungku beku. Dan terakhir ke Pram sama Pras.

Si kembar nunduk, jelas banget kalo mereka jadi tersangka. Gala maju selangkah, mereka makin mepet ke station aluminium.

"Maaf... Bang...."

Cuma itu yang samar-samar tak denger, pelan banget Pras ngomong, dan aku refleks ae wes siapin kuping kalau-kalau Gala bakal teriak.

Tapi nggak. Hening lagi. Kali ini heningnya lebih dingin dari yang tadi.

Gala ndak ngomong apa-apa lagi, dan ngedorong pelan Pras sama Pram ngejauh dari station-nya. Cowok botak iku fokus sama piso dan meriksa kerusakannya.

Ndak sampai sepuluh detik kemudian, pintu dapur kebuka lagi.

Chef Raka masuk dari sana, ngeliat sekeliling, dan langsung nanya.

"Ada apa ini?"

🍓

Perjalanan pulangku ke apartemen kerasa lebih dingin dan sepi. Yah, hari ini jujur memang rasane anyep sekali.

Sepanjang dinner tadi, ndak tau berapa kali aku curi-curi pandang ke Gala. Cowok itu bikin aku bingung.

Gini yo, biasane kalo orang yang mulute kasar, ceplas-ceplos, dan kelihatan tempramen iku nek marah yo wajarnya meledak-ledak toh?

Nah tapi ini ndak. Gala yang tadi itu... beda. Ndak kasar, ndak misuh-misuh, ndak komplain. Dia cuma diem.

Dan jujur, orang sing marah e diem iku yang menurutku jauh lebih ngeri.

"Masih bisa dipakai, Gal," kata Chef Raka tadi.

"Masih bisa dipake, iya, tapi tiap liat cacatnya, jadi nggak mood kerja." Gala mbales pakai nada rendah.

Aku inget lagi nyiapin tiga porsi tiramisu sambil curi-curi denger pas iku. Dinginnya suara Gala lebih adem ketimbang tiramisu beku sing tak potong-potong iki.

Gala terus ngelanjutno, "Coba lo bayangin, lo punya pacar, terus tiba-tiba suatu hari pacar lo itu dilecehin sama orang, nah terus apa lo bisa haha-hihi sama dia lagi? Ngga kan? Yang ada sakit ati."

Gerakan motong tiramisuku berhenti. Analogi Gala bikin aku nolehtanpa sadar.

Dadaku rodok mencelus.

🍓

Aku ngaduk campuran tepung dan bubuk matcha sambil muter musik kenceng-kenceng. Pagi hari di dapur apartemenku sengaja tak bikin semarak karena hari ini aku bebas tugas dari sif breakfast.

Waktu aku ngaduk campuran tepung sama butter, tiba-tiba musik berhenti. Hapeku geter. Ada panggilan masuk.

"Ya, halo? Kenapa, Chef?" Aku nanya basa-basi sambil berharap ndak tiba-tiba dipanggil ke hotel sama Chef Raka.

"Wendy, kamu lagi bikin apa?" tanyanya,

Walah. "Chef tau dari mana kalo saya lagi bikin-bikin?"

"Feeling aja. Kamu sering eksperimen sama resep soalnya, kalo lagi libur. Lisa pernah cerita."

Aku senyum tipis. Bocah gendeng itu ya.

"Lagi mau bikin cream puff, Chef. Rasa matcha."

"Mmmm, cookie choux?" tanya Chef Raka.

"Ya kayak ngunu lah." Aku nyiapin loyang buat dipanasin. "Ada apa, Chef, kok sampe nelpon?"

Kayak e Chef Raka paham aku lagi grasak-grusuk masukin loyang sambil jepit hape pake punak, makan e dia nunggu agak lama buat jawab.

"Wendy, kamu bikin batch puff pastry-nya agak banyak, ya? Saya mau minta tolong..."

Aku ndengerin.

"Tolong antar sebagian buat Gala, ya? Dia baru pindahan unit di lantai kamu. Tadi saya ajak sarapan bareng, tapi dia nolak."

Aku bengong, sementara Chef Raka lanjut ngomong.

"Kayaknya mood dia masih buruk gara-gara masalah semalam. Siapa tau dengan gesture baik dari kamu, dia lebih ngerasa diterima di dapur sama apartemen baru ini. Ya?"

Aku speechless pol.

"Nganter... cream puff... buat Gala?"

"Please?" Chef Raka memohon.

"Em, nganu, tapi Chef, ini saya harus ngasuh ponakan juga habis ini. Rencana e kita memang mau baking bareng..."

"Sebentar saja, nggak bisa ya?"

Aku nggigit bibir. Rasane ndak enak nolak permintaan bosku yang sebenere ndak begitu ngerepotn ini. Toh aku juga pasti ndak mampu ngabisin cream puff yang adonane ae wis mbludak ini.

"Ya udah deh, Chef." Aku akhire setuju.

Sebelum aku tutup telepon, suara Chef Raka manggil lagi.

"Tunggu, Wen, satu lagi."

"Ya?"

"Gala nggak terlalu suka manis. Bisa tolong bikinin buat dia yang filling-nya less sugar?"

Ya Tuhan yang maha pengampun lagi maha pengasih.

"Siap, Chef."

Beberapa detik setelah panggilan itu selesai, aku masih narik napas dalam-dalam, terus lanjut nggarap adonan yang udah siap dicetak iku.

Sambil nunggu puff-ku mateng di dalem oven, aku ngerjain isian cream. Khusus untuk request-an Chef Raka, aku harus kerja dua kali buat bikin cream yang less sugar juga.

Bahane hampir sama kayak puff ndek luare, cuma bedane aku ngasih lebih banyak kuning telur sama vanilla extract. Nah, pas wis kecampur kabeh, aku tinggal nambahin susu panas dan godok lagi sampai kental.

Ketika aku lagi ngaduk isian cream yang udah hampir jadi, bel di pintu unitku bunyi.

Buru-buru aku kecilno api kompor, terus ngelap tangan ke apron bunga-bunga yang tak pake, sebelum lari kecil ke arah pintu.

"Nah, ini dia."

"Halo Wendy."

"Hello Onty!"

Tiga sapaan iku berbunyi hampir berbarengan pas aku bukain pintu. Di depanku udah berdiri kokoku, William, bersebelahan sama Hana, istrinya yang lagi hamil tua, dan...

"Aby!!!"

Aku langsung nerima pelukan dari bocah yang masih pakai seragam preschool. Aubrey ini ponakanku satu-satunya, sekaligus anak sulung Koh Willy.

"What will we make today, Onty?" tanya Aubrey dengan bahasa Inggris logat Jowo.

"Matcha puffs, your favorite!" jawabku.

"My favorite!" ulang Aby sambil nyelonong masuk apartemen. Kayak e wangi filling yang mengudara udah ngundang hidung kecil dia buat ngendus lebih deket.

Koh Willy sama Hana senyum-senyum ngeliat keakraban kami. Memang wis jadi pemahaman keluarga besar kalo aku ini lebih gampang klop sama anak kecil.

"Titip dulu ya, Wen, kita mau brunch sama rekan bisnis, terus lanjut meeting panjang sampai sore."

Koh Willy ngejelasin sambil ngasih kode ke istrinya buat nyerahin tas gede berisi peralatan Aby; popok, baju ganti, hingga iPad beserta casannya.

"Maaf ngerepotin ya, Wen," kata Hana.

"Aman! Aku juga seneng kok main sama Aby." Aku nerima tas itu dengan sukarela. "Masuk dulu yuk, cobain kue bikinanku. Wis hampir mateng itu," tawarku.

Koh Willy sama Hana kompak geleng kepala.

"Makasih Wendy, tapi kita buru-buru, udah ditungguin. Lagian, habis ini juga kita ketemu makanan lagi kok," kata Hana.

"Mblenek ngko de'e (mual nanti dia)." Koh Willy berkata sambil mengusap perut buncit Hana sekilas.

"Wealah, ya wis." Aku mengibas tangan pelan. "Mau langsung jalan ya kalian? Hati-hati yo."

Basa-basi kami ndak bertahan lama, ditutup Koh Willy sama Hana yang pamitan dan nutup pintu.

Aku balik badan, ngedapetin Aby yang jinjit-jinjit deket konter buat ngeliat baskom bekas adonan filling. Aku senyum. Untung dari dulu udah sering tak ajarin biar ndak deket-deket kompor. Danjeres.

"So, Aby, shall we cook now?" tanyaku sambil nyamperin bocah itu.

"Yeah!!!" Aby njawab dengan antusias.

Kami pun mulai asik nyiapin piring dan ngentasi puffs yang wis mateng. Aku nuntun Aby buat ngisi filling dan ngasih topping gula halus.

Saking serunya quality time sama bocah lidah enggres ini, aku sampe hampir lupa kalo harus nganter sebagian kue buat Gala. Dan berhubung ku ndak mungkin ninggalin Aby sendiri, jadi mau ndak mau dia bakal tak bawa.

Aku cuma bisa berdoa semoga mood ancurnya ndak berdampak galak sama anak-anak di bawah umur. Semoga.

🍓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro