18 · Semanis Wasabi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari sudah meninggi saat Wendy keluar dari unit apartemennya. Ditemani Aubrey kecil yang sudah berganti baju, mereka menyusuri lorong sambil bergandengan tangan. Di tangan yang bebas, Wendy membawa keranjang rotan berisi selusin matcha puffs yang masih sedikit hangat.

"Where are we going, Onty?" tanya Aby sambil memainkan jemari lentik tantenya.

"Ke tempat tetangga," jawab Wendy. "Neighbor."

Aby memiringkan kepala, masih memain-mainkan genggaman tangan Wendy, dan mulai menggumamkan ejaan kata 'neighbor' beberapa kali, meniru istilah yang baru didengarnya dari sang onty.

Wendy tertawa pelan dan mengikuti ucapan Aby, mereka berdua bersenandung kecil, memainkan kata neighbor berulang-ulang sampai akhirnya mereka berhenti di depan pintu nomor 812.

"We're here. Aby mau pencet bel?"

"Mau, mau!" Aby kecil berjinjit dengan semangat.

Wendy menawarkan kegiatan yang digemari oleh ponakannya. Setiap berkunjung ke apartemen Wendy, Aby bahkan sering merengek untuk diperbolehkan menekan bel pada orang tuanya.

Butuh menunggu setengah menit—dan tekanan bel beberapa kali, yang dengan senang hati dilakukan Aby—sampai akhirnya pintu unit terbuka.

Gala berdiri menyambut, bercelana panjang bahan katun dan berkaus singlet tipis, mengedipkan mata yang sepertinya terasa berat ke arah gadis kecil di hadapannya.

"Siapa...? Oh."

Pandangan Gala akhirnya berhenti di Wendy.

"Hi, Mr. Neighbor," sapa Wendy dengan senyum yang dipalsukan. Kalau tidak ada Aby di situ, sudah pasti Wendy malas beramah-tamah imitasi seperti ini.

"Hello Mr. Neighbor!" beo Aby dengan keramahan yang menular.

Gala berkedip-kedip lagi sebelum memicingkan mata, seakan-akan mengumpulkan nyawa yang masih melayang.

"Kamu baru bangun?" tanya Wendy.

"He'em." Gala mengucek mata, lantas berjongkok untuk menyetarakan tinggi dengan Aubrey. "Halo."

Wendy terkesiap melihat tingkah Gala yang langsung berfokus pada keponakannya. Insting protektif perempuan itu menuntun tangannya untuk langsung merangkul pundak Aby.

"Namamu siapa?" tanya Gala dengan nada lembut.

"Aby," jawab bocah itu.

"Aby?"

"Nama panjangnya Aubrey," sahut Wendy, kali ini meregangkan rangkulannya. Dia dan Gala saling tatap.

"Namanya bagus," komentar Gala, lalu kembali menghadap Aby. "Mau masuk?"

Mendengar tawaran itu, bocah mungil melongokkan kepala ke balik pintu unit apartemen Gala. Wendy juga mencuri lihat sejenak, sebelum sadar akan sesuatu.

"Oh, eh iya... ini." Wendy menyodorkan keranjang yang dia bawa sedari tadi.

"Apaan nih?" balas Gala sambil menerima benda itu, mengintip isinya. "Kue? Tapi gue nggak suka manis."

"Itu nggak manis," jelas Wendy.

"No sugar, no no!" Aby menyahut.

Gala menunduk dan tertawa ke arah Aby. "Gitu ya? Oke deh, thank you Aubrey."

"And Onty!" balas Aby.

Pandangan Gala dan Wendy kembali bersirobok. "Thanks, Aunty."

Wendy tergagap tatkala mendapati senyum Gala yang terbit, menyipitkan mata cowok itu serupa bulan sabit. Dalam kepalanya, Wendy terkesima mendapati Gala yang sungguh... beda.

"Masuk yuk. Gue pindahin ini dulu ya." Gala membuka pintu lebih lebar, mendahului masuk lebih dalam ke unitnya sambil menenteng keranjang rotan itu.

"O... kay. Permisi." Wendy melangkah ragu-ragu.

Wendy tidak berencana untuk mampir. Tadinya dia hanya ingin drop and dash, serahkan matcha puff lalu ciaobella.

Dia masih mengira Gala akan bad mood dan menampil kehadirannya cepat-cepat. Terlebih lagi Wendy membawa anak kecil.

Tapi, sikap Gala di depan Aby yang begitu hangat, kalem dan welcome, membuat Wendy sedikit terpelatuk. Ini sama sekali di luar prediksinya. Ini bukan seperti Gala yang biasa dia kenal—meskipun Wendy hanya mengenal Gala di permukaan.

Hmmm. Mungkin memang Wendy tidak seharusnya menilai Gala dalam waktu yang terlalu singkat.

"Sori masih berantakan tempatnya. Gue nggak mikir bakal nerima tamu."

Gala muncul dari dapur dengan keranjang yang sudah kosong.

"Oh. Ya, ndak papa. Ini juga mandat dari Chef Raka kok." Wendy melirik sekilas kasur springbed yang berdiri vertikal di ruang tamu.

"Si Raka?" ulang Gala, terdengar sedikit kecewa. "Elah... kebiasaan emang dia, terlalu care."

Wendy mengangguk menyetujui.

Seperempat jam berikutnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan kelakar Amy, membuat Wendy terkesima akan mahirnya Gala berinteraksi dengan anak kecil.

Awalnya Wendy mengira Gala akan bersikap pahit pada Aby, layaknya racikan wasabi yang sering cowok itu banggakan. Nyatanya, pemandangan kali ini berkata lain.

Gala menemani Aby bermain, meletuskan bubble wrap sisa paket furnitur baru apartemennya. Wendy tak putus memperhatikan mereka, hingga sampai satu titik mata Gala menangkap gelagatnya. Cowok itu tersenyum, lagi.

"Aby ngingetin gue sama Cicha, ponakan gue di Gili. Umurnya seginian juga, mungkin lebih kecil."

"Cicha...?" Benak Wendy meruntut ingatan.

"Iya. Cicha mungkin lebih pemalu sama orang baru dibanding Aby. Nih anak hiperaktif banget." Gala mengoceh sambil mengelus poni keponakan Wendy itu.

"Gue nggak inget pas di Gili..." Wendy menggeleng.

"Oh, lo belum pernah ketemu kayaknya. Waktu itu kan lo seringnya sama rombongan, jadi mungkin nggak notice ada anak kecil random," sambut Gala.

Wendy meringis. "Sorry..."

Gala mengibas tangan. "Mungkin kapan-kapan, sekalian gue kenalin ke Aubrey juga biar mereka main bareng. Right, Aby?"

"Main, main!" balas anak itu.

Perhatian Gala kembali terfokus pada Aby, membuat Wendy termangu lagi. Jarang sekali dia lihat cowok yang suka anak-anak, lebih-lebih kelihatan telaten seperti ini.

🍰

Sore menjelang di lobi Celestial Hotel. Aubrey kecil berlarian, sementara Wendy mondar-mandir dengan keringat dingin di keningnya, ponsel tak lepas dari tangan.

Sekarang sudah hampir pukul tiga, tapi baik William maupun Hana sama sekali tidak membalas pesan WA.

Padahal Wendy belum sempat mem-brief kafe tentang display kudapan mana yang akan masuk ke showcase malam ini.

Sesibuk itukah mereka?

"Onty, Onty! Watch! Imma jump!" Aby berseru dari atas punggung sofai sisi lain ruangan, dua tangan kecilnya memegang iPad yang memutar salah satu video Cocolemon.

Wendy serta-merta terperanjat. Kalau tidak kepala bocah itu yang beresiko terbentur, minimal layar gawai di tangan Aby bisa retak.

"Aby, no, get down! Bahaya."

Terlambat. Gadis mungil itu sudah menekuk lutut dan siap terjun bebas ke lantai marmer.

Beruntungnya sebelum Aby take off, sepasang tangan kokoh menangkap tubuh kecil itu.

"Don't you know bahaya, Aby? Dangerous," tutur Gala sambil menggendong bocah mungil tersebut.

"Danjeres!" sahut Aby mengikuti Gala. Perhatian Aby dengan mudah bisa terarah kembali saat layar iPad menampilkan scene JJ, karakter favoritnya.

Wendy menghela napas. "Thanks yo, Neighbor. Pancen nduablek tenan arek iki (emang nakal banget bocah ini)."

"You're welcome, Onty. Sana ke atas gih, udah dicariin anak kafe tuh. Mereka galau mau naroh macaroon atau muffin di rak paling atas," ucap Gala sambil menimang-nimang Aby. "Price tag-nya takut salah, soalnya kata Mas Yus harga telor naik, jadi—"

"Serius? Duh!" Wendy semakin tertekan.

"Santai, gue udah kelar prepare di dapur kok, tinggal nunggu opening aja. Biar gue yang nemenin Aby dulu sampe jemputannya dateng."

Wendy berpikir sejenak, menimbang-nimbang resiko dari keputusan mengasuh Aby dalam kurun waktu libur setengah hari ini yang molor di luar perkiraan.

"Ya udah, oke." Wendy memutuskan tanggung jawabnya di kafe lebih penting. "Titip bentar ya, Gal. Nanti begitu selesai, aku balik ke sini lagi."

"Sip!" Gala mengacungkan jempol dari tangannya yang berada di pinggang, tidak bebas karena menggendong Aby.

Menit berikutnya, Wendy sudah tiba di kafe lantai dua dan meluruskan alur yang sempat kusut karena display pricing.

Tidak sampai sepuluh menit Wendy habiskan di kantor keduanya itu, dia kembali turun dan mendapati Gala dan Aby sudah tidak ada di lobi hotel.

Wendy menoleh, mencari sekeliling, juga ke teras lobi. Nihil.

"Jo, kamu liat anak dapur tadi yang bareng sama ponakanku, ndak?" tanya Wendy pada Josephine, resepsionis berambut ikal panjang yang berjaga sore itu.

"Yang botak itu, ya?" Josephine memiringkan kepala. "Sorry, barusan ada tamu check-in jadi nggak begitu merhatiin." Perempuan agak tomboi itu tersenyum bersalah.

"Duh..."

Wendy kembali mengeluarkan gawainya, bersiap menghubungi Gala tapi langsung mengumpat dalam hati ketika sadar dia tidak punya nomor cowok itu. Cuk, har gini siapa sih orang yang nggak punya hape?

"Oh, Ci, aku baru inget." Suara Josephine membuat Wendy mendongak.

"Tadi kayaknya dia jalan balik ke dapur, deh," lanjut resepsionis itu.

"Gala?"

"Iya, dari depan situ." Josephine mnunjuk pintu masuk kaca.

"Ndak gendong anak kecil?" selidik Wendy. Pertanyaan itu berhadiahkan gelengan mantap dari Josephine.

Wendy memberengut. Benaknya kembali berpacu.

"Ya wis, thanks yo Jo," pamit Wendy sebelum bergegas jalan menuju dapur.

Benar saja, setibanya Wendy di dapur yang sudah mulai ramai itu, Gala tampak sedang mengasah pisau di station-nya.

Wendy berjalan mendekat, menyadari bahwa meskipun pisau bergagang plastik hitam itu tampak baru dan mahal, tapi pisau itu berbeda dari yanagiba Gala yang lama. Tidak setara.

"Hey, Gal..." Sapaan Wendy membuat cowok itu menghentikan kesibukannya. "Aby udah dijemput yo?"

Gala melontarkan senyum sekilas sebelum mengangguk. "Iya, barusan disamper pas di lobby."

"Oooo... ya wes. Makasih banyak yo." Wendy akhirnya bisa bernapas lega.

Sementara itu, Lisa yang sedang memasukkan seloyang garlic bread ke dalam oven melirik dari sisi lain ruangan.

Setibanya Wendy di station pastry, Lisa menyenggol pinggul Wendy sambil berbisik jenaka.

"Ciee, ada yang udah gencatan senjata nih yee."

🍰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro