20 · Sepahit Gula

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

♪ It takes one to know one
And I'd like to get to know one, so...

🍰

Wendy harus bekerja ekstra keras minggu ini. Akhir pekan nanti adalah upacara sangjit kakak sepupunya, yang artinya Wendy harus siap ditunjuk jadi penanggung jawab konsumsi keluarga.

"Stok telur, tepung, vanili, sama buah-buahan diperhatiin lagi yo, Lang. Nyetok sing uakeh ae sekalian sampe minggu depan."

Wendy memberi instruksi pada Gilang, pentolan logistik. Perempuan itu mendikte sambil berpikir, mengetuk kuku jarinya yang ber-manicure ke atas meja aluminium.

Sambil melihat Gilang mencatat, Wendy melanjutkan. "Oh iya, kalau Mas Yus ngruweng maneh (ngomel lagi) masalah harga telur, suruh ke toko ne kenalan papiku ae. Nanti dikasih harga supplier. Oke?"

Gilang mengangguk-angguk pada saran Wendy, kembali mencatat di sisi bawah list belanja yang kosong. "Ada lagi, Ci?"

Wendy menggeleng. "Itu dulu. Nanti masalah menu aku rembukan final sama si Chef. Kamu kroscek lagi yo, biasane dia ada nyuruh beli bahan ekstra buat garnish."

"Siap, Ci."

Gilang meninggalkan Wendy yang kini sibuk berkutat dengan ponselnya. Ponsel pembawa malapetaka yang membuat Wendy ditegur saat briefing pre-dinner tadi.

Dari gawai tipis itu Wendy mendapat terpaan kabar demi kabar, chat demi chat, tag demi tag. Gelar 'seksi konsumsi' ternyata menjalar jadi PIC, person in charge acara sangjit Anggi, sepupunya yang perfeksionis.

Di tengah-tengah mengetik pesan digital, tiba-tiba ponsel Wendy bergetar hebat.

"Sek ta la, Gi, aku sek mbalesi ndek (membalas di) grup iki lho! Ya... iya! Gawe (untuk) dress-mu iku! Wes yo, chat ae." hardik Wendy pada lawan bicaranya. Detik berikutnya, Wendy langsung memutus sambungan telepon.

Ternyata Anggi tidak hanya perfeksionis, tapi juga gila! Mentang-mentang sudah lewat jam sepuluh—waktu yang dijanjikan Wendy sudah selesai kerja—sepupunya itu langsung membombardir WA Wendy tanpa ampun.

Wendy menyelesaikan urusannya dengan Anggi dan pesan singkat itu, sebelum mangalihkan perhatiannya pada station-nya yang masih berantakan.

Baru saja Wendy meraih loyang dan capitan untuk dicuci, Gala muncul tiba-tiba dengan waslap dan ember sabun.

"Ngapain kamu?" tanya perempuan itu, sebab Gala langsung mendekat dan menaruh ember tadi di atas meja kotor Wendy.

"Nggak mau dibantuin?" balas Gala.

"Maksute?"

"Anak-anak yang lain udah pada siap balik, dan lo bahkan belom mulai bersih-bersih." Gala dengan sigap menyingkirkan pernak-pernik baking dari atas meja.

"Terus ini kamu ngapain?" Wendy mengerutkan alis.

"Bahkan tanpa disuruh Raka juga gue bakal bantuin lo, Wen. Seharian ini lo keliatan kaga fokus, lagi ada masalah ya?"

Sedikit terkejut, buru-buru Wendy menggeleng. "Ndak, ndak! Ini, ada sepupuku yang mau nikah. Sekeluarga ikut hectic nyiapin acarane."

"Oh, gitu." Gala mulai mengelap meja Wendy dengan spons busa.

Melihat cowok itu membantu tugasnya dengan cekatan, hati Wendy tergerak.

"Emmm... thanks yo, Gal," ucap perempuan itu sambil mempererat genggaman pada loyang kue yang dibawanya. "Nanti kalo kamu balik e kemaleman, bareng aku ae."

Gala menjeda kegiatan menggosoknya untuk melontarkan cengiran pada Wendy.

"Nah, gitu dong, peka." Cowok itu lalu tertawa renyah.

🍰

"Aby nitip salam ke kamu, Gal. Tadi dia ngirimi VN ke aku. Mau denger?" ucap Wendy, mengabaikan kelebatan lampu jalan dan gedung-gedung membayanginya dari jendela mobil.

Gala, yang duduk di sebelah kirinya, mengangkat alis tertarik. "Oya? Aby?"

"Ho'oh, iku ndek hapeku." Wendy melirik ke tas tangan C&K yang ada di antara kursi mereka.

"Emmm...." Gala tampak ragu.

"Eh, ribet yo? Yawes nanti aja pas sampe." Wendy memberi alternatif.

"Atau lo bisa forward ke gue," tawar Gala.

"He? Kamu punya hape toh?"

"Baru." Gala nyengir.

"Oalah, pantesan belom muncul di grup dapur."

Butuh satu detik sebelum Wendy sadar apa yang baru saja dia celetukkan. Bersamaan dengan itu, Gala sudah tersenyum miring.

"Lo nyariin gue di grup dapur?"

"Eng—ndak, maksute...." Wendy menghentikan mobil tiba-tiba. Mereka hampir saja menerobos lampu merah.

Suara tawa Gala mengudara beberapa detik kemudian.

"Wen... Wen... ternyata lo tsundere ya orangnya." Gala mengelap ujung matanya yang berair. Gelaknya reda bersamaan dengan mobil melaju.

"Aku ndak ngerti istilah wibu ngunu." Wendy memberengut.

"Maksud lo bahasa Jepang?"

"Podo ae (sama saja)." Wendy mulai terlihat bete.

Gala pun merasakan perubahan mood pada nada bicara perempuan itu. "Oke, oke, gomen ne (maaf ya)," ucap Gala buru-buru.

"Opo maneh iku (apa lagi itu?)." Wendy mendengkus.

"Maaf." Gala berdeham. "Bahas yang lain aja yuk, misal... emmm, sejak kapan lo demen baking? Terus kenapa bisa kerja di sini?"

Wendy tertawa kecil. "Basic nemen Gal, Gal."

"Ya tapi basic-basic gitu kan gue belom tau," balas Gala.

"Oke, oke...." Wendy mulai lumer. "Aku emang suka makanan manis dari kecil—yo wajar kan, nek anak kecil suka jajan—nah, keluargaku suportif sama yang aku suka, sampe-sampe aku bisa kuliah pastry and bakery ndek Singapore."

"Wow," respons Gala. "Lempeng amat ya perjalanan hidup lo."

"Puji Tuhan." Wendy membelokkan mobilnya yang ke parkiran apartemen. Mereka sudah sampai.

"Terus bisa kerja di Celes, gimana?" Gala bertanya sebelum membuka pintu mobil, mengikuti Wendy keluar.

"Oh, itu ada hubungane sama tepung." Wendy menjawab sambil berjalan mendahului ke dalam gedung, sementara Gala berlari kecil untuk menyusulnya.

"Tepung, maksudnya?" tanya Gala.

"Jadi, waktu baru lulus SMA, papiku ngasih aku pabrik terigu buat dikelola...."

"Oya?" Gala dengan sempurna berhasil menyembunyikan kekagetannya. "Terus?"

"Ya jadi pas aku lulus kuliah, kebetulan banget temene papiku lagi buka hotel."

"Dan temen papi lo itu Om Moel? Yang punya Celes?" tebak Gala.

Wendy mengangguk. "Pak J, yes. Jadi kan butuh supplier bahan makanan tho, sama butuh koki juga, apa lagi yang spesialis...."

Perempuan itu menjeda untuk masuk ke dalam lift bersama Gala. Saat pintu menutup, Wendy melanjutkan.

"Ya wes, pas. Aku juga butuh lahan buat ngembangno skill, nyoba resep sama menu-menu baru, terus dimakan orang biar ndak mubazir."

Gala bersiul. Sungguh mulus perjalanan karir Wendy ini.

"Keren," gumam Gala.

Di luar dugaan, Wendy meringis. "Ndak sekeren kedengarannya, kok."

Gala menangkap kalimat itu sebagai balasan humble semata, sama sekali tidak mengetahui gejolak dalam pikiran Wendy saat mengingat ulang berbagai kejadian di balik cerita itu.

Bagaimana Wendy melakukan kesalahan bodoh, menyerahkan manajemen pabrik terigu pada mantan pacarnya selama dia kuliah.

Bagaimana bajingan itu diam-diam menyelewengkan laba untuk kepentingan pribadi—mempersunting perempuan lain.

Dan bagaimana, sampai saat ini, Wendy merasa sangat tolol karena telah sukses dicurangi tidak hanya perkara hati, tapi finansial juga oleh lelaki brengsek itu.

"Wen?"

Panggilan Gala menyeret Wendy kembali ke realita, bersamaan dengan denting suara lift yang terbuka di lantai mereka.

"Ya?" Wendy berkedip cepat.

"Ngelamunin apa sih lo? Gue nanya dicuekin."

"Oh, sori. Opo barusan?"

Mereka melangkah keluar lift dan berjalan beriringan.

"Gue tadi nanya, lo laundry di bawah juga, nggak?" Nada Gala terdengar serius.

"Iya," jawab Wendy ringan. "Opo'o, kamu bingung nyari laundry-an tah?"

"Nggak, emmm... gue cuman penasaran, selama nyuci di sana, baju lo ada yang ilang, nggak?"

Wendy menghentikan langkah di depan pintu nomor 803, unit apartemen miliknya.

"Hmmmm, let's see." Wendy mengingat-ingat sambil mengeluarkan kunci dari dalam tas. "Mungkin ada? Kaos, celana pendek, atau baju tidur?" Perempuan itu terdengar tak yakin.

"Tapi bisa ae ketlingsut di lemariku sendiri, hehe." Wendy melanjutkan.

"Oh." Gala mengangguk-angguk. "Ya udah, istirahat lo. Sampai ketemu besok di kitchen."

"Good night, Neighbor," balas Wendy sambil membuka kunci unitnya.

"Good n—eh iya, Wen!" Gala menahan. "Jangan lupa forward voice note-nya Aby. Gue pengen denger nih."

"Astaga, hampir lali (lupa)!" ujar Wendy sambil mengeluarkan ponselnya.

Gala pun segera melakukan hal yang sama, menarik gawai tipis dari saku celananya.

Mereka pun bertukar nomor kontak, pertama kali setelah hampir sebulan kerja bersama.

🍰

Wisma keluarga Tan semarak dengan suasana marun, sebab semua keluarga besar Tan yang berkumpul di wisma ini—ditambah tamu keluarga mempelai pria—kompak mengenakan pakaian berwarna merah.

Bocah kerucil berlarian, para remaja melipir dengan tangan menempel di hape, orang-orang dewasa asyik makan dan mengobrol, sementara dua calon mempelai—Anggi dan Ardi—berdiri di depan backdrop yang dikelilingi dekorasi merah, siap berswafoto dengan anggota keluarga lain.

Semuanya seperti menikmati momen pasca seserahan, ang pao berupa uang susu dan uang lamaran, perhiasan, hingga pernak-pernik seperti pakaian, sepatu, serta lilin merah bergambar naga dan kue sangjit berjumlah genap.

Wendy sendiri sibuk berlari-lari kecil, memastikan stok suguhan tidak menipis dari ruang makan.

Dari dapur wisma yang luas Wendy melesat, membawa dua nampan kudapan di tangan kanan-kirinya, sama sekali tak terganggu oleh dress brokat merah dengan kerah shanghai yang melilit leher jenjangnya.

Sesampainya di ruang makan yang dinaungi lampu kristal raksasa, Wendy menyuguhkan isi nampan itu lengkap dengan senyum. Saat hendak berbalik, salah satu kerabatnya mencekal pelan tangan Wendy.

"E, ini kamu semua yang masak, Me? Sek tala, kamu ini anak e Alfred sing kerja ndek hotel itu kan?" tanya wanita paruh baya itu.

"Iya, A Ku (Bibi)," jawab Wendy. "Saya anak yang nomor dua."

"Oooo, Wendy ya? Qian (maaf) yo Me, wis mulai pikun A Ku-mu ini."

Tiba-tiba saja Laura, mami Wendy, bergabung di tengah-tengah mereka.

"Enak ndak So, buatan anakku?" tanya Laura sambil menunjuk pastry dengan isian saus fla dan buah yang sedang dikunyah wanita itu.

"Wuenak!" jawab bibi tadi sambil mengangguk-angguk.

Laura tersenyum ramah sambil membelai rambut putrinya. "Ya piye maneh (gimana lagi) So, pancen kudune (memang seharusnya) enak. Wong tak kuliahno jauh-jauh kok, entok gelar diploma ndek Sunrice Global, mosok ndak enak."

Wendy menelan ludah. Pujian maminya merupakan terompet perang internal.

Laura melanjutkan, "Kudune ya So, nek wis pinter masak itu mbok ya buka usaha dewe gitu lho yo? Eman-eman kan, dari lulus sampai umur sekarang, kerjane ndek hotel iku tok."

Bibi yang mengunyah kue tadi memaksakan senyum. "Ya sing penting kerja, ndak pengangguran," ucapnya diplomatis.

Jawaban itu membuat senyum Laura sirna, sementara binar mata Wendy terbit sempurna.

"Tuh denger, Mi. Minimal aku ndak pengangguran." Wendy mengulang dengan puas. "Lagian lho ya, aku kan masih butuh uji coba, dan pas banget di hotel itu tempat e."

Kali ini Laura menarik napas. Bibi tadi tertawa garing dan undur diri—beralasan ingin mengambil minum—sementara Wendy ditinggal berdua dengan maminya. Mami yang tidak senang.

Satu langkah maju, Laura membisikkan desisan kalimat di telinga putrinya. "Uji cobamu kesuwen (terlalu lama)."

Kemudian Laura melangkah pergi.

Wendy membeku. Pada detik itu juga dia bersyukur sudah melunasi unit apartemennya, sehingga tidak harus pulang satu atap dengan maminya lagi.

"Untung ndak onok (tidak ada) Papi barusan yo, Wen. Bisa-bisa kamu dikasih combo 'kerja sama orang lain terus' juga. Ha-ha."

William tiba-tiba muncul dan menyikut rusuk Wendy.

"Menengo (diamlah), Ko. Aku ndak mood." Wendy menjawab dengan bete.

Masih mempertahankan raut mukanya yang ditekuk, Wendy meninggalkan nampan beserta kewajibannya di ruang makan itu. Dia berlari menuju halaman belakang, tempat yang lebih aman.

Sesampainya di gazebo kecil yang dinaungi pohon mangga teduh, Wendy menangkap sosok entitas asing yang cukup familier. Seorang sepupu made in Perancis yang kini tinggal di Jakarta.

Mattéo Lafleur-Tan namanya, cowok peranakan Cina-Eropa itu sedang duduk di pinggir gazebo dengan sebatang pisang yang tinggal setengah di satu tangan.

"Bonjour, Monsieur (Halo, Tuan)." Wendy menyapa Matt yang langsung menoleh. Perempuan itu lantas duduk di sisi sepupunya sambil menunjuk pisang di tangan Matt. "Lagi telepati sama Wukong, ya?"

Matt terkekeh. "Apaan sih, Ci," katanya.

Wukong adalah nama siluman kera yang sering diceritakan William dan Matt dulu, saat mereka masih kecil. Katanya, hewan jadi-jadian itu menjaga kebun belakang wisma keluarga Tan.

Sampai saat ini, Wendy yakin koko dan sepupunya itu mengarang cerita untuk menakut-nakutinya dan Sally.

Wendy tersenyum pada sepupunya itu. "Kapan sampe sini, Matt? Mama sama adikmu ikut?"

Matt menelan kunyahan terakhir pisangnya. "Baru kemarin landing. Saya bareng mama aja, Ci. Celiné masih di Bali, lagi ada event penting katanya, jadi nggak bisa dateng."

"Huuu. Lebih penting dari event ini?" Wendy mencibir, mengarahkan kepala ke dalam rumah.

"Kayaknya gitu." jawab Matt, mengangkat bahu.

Wendy terdiam sejenak. Rasanya menggoda sepupunya yang pendiam dan jarang kumpul keluarga ini akan jauh lebih menghibur daripada meratapi interaksinya dengan sang mami—dan hubungan mereka—yang merenggang.

"Ndak mau nyusul Anggi, tah, Matt?" Wendy tersenyum sambil menyenggol lengan Matt.

Cowok itu mengangkat satu alisnya, seakan membatin 'omong kosong apa yang baru keluar dari mulutmu itu, Ci?'.

Wendy kembali mengulum senyum. Dia tahu satu titik jackpot, dan yang ini akan sangat-sangat menghiburnya.

"Oh, awakmu sek pancet klepek-klepek ambek arek sing kriwil iku yo (kamu masih tergila-gila sama anak yang rambutnya keriting itu ya)?" cerocos Wendy sambil tak putus memperhatikan raut muka Matt.

"Ngomong apaan sih, Ci?!" sentak Matt sambil memalingkan wajahnya yang memerah.

Wendy terbahak-bahak. Dalam detik itu, rasanya beban yang ditekan oleh kehadiran maminya tadi sedikit terangkat.

Ternyata benar, menyentil satu sisi sentimentil sepupunya itu selalu bisa membuahkan reaksi manis. Wendy selalu mengingat siapa crush dan gebetan saudara seumurannya untuk dijadikan senjata. Dan itu menghibur sekali!

Wendy dan Matt lanjut mengobrol ringan, catching up tentang kabar mereka belakangan ini dan apa saja yang terlewat. Tak berapa lama, obrolan mereka harus terjeda oleh munculnya Sally yang berlari terburu-buru ke gazebo itu.

"Ci, di sini toh kamu!" kata si bungsu itu sambil menahan napas.

"Opo o, Sal?" tanya Wendy penasaran.

"Em... Cici belum denger dari Ko Willy?"

"Apa seh?"

"Tentang bisnis dia yang baru? Sama siapa dia partneran?"

Wendy menggeleng, clueless. Untuk apa dia perlu tahu seluk beluk kerjaan kokonya yang tidak penting itu?

Sally menghela napas, berat, lalu maju selangkah untuk membisikkan sebuah nama di telinga Wendy. Nama yang mengguncang mood Wendy, jauh lebih parah dari teror maminya sendiri.

Nicholas Santoso.

Di momen keluarga yang seharusnya manis ini, Wendy harus menelan kabar pahit dari Sally. Nico kembali. Bajingan dari masa lalu itu mewujudkan diri lagi.

🍰

a/n :

siapa di sini yang baca ceritanya Matt juga~ cunggg~
Mattéo ini sepupu Wendy yang jadi tokoh utama di ceritaku yang lain, judulnya La Tubéreuse.

rencananya aku bakal namatin lapaknya si Matt begitu kelar sama cerita ini. uhuy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro