Penantian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jingga senja sudah menguasai langit ketika akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Bukan tempat yang terlalu spesial sebenarnya, tapi jelas kenangan di jembatan kayu ini jauh lebih berharga dari apapun bagiku.

"Maaf, lama. Tadi agak kejebak macet dari bandara,"tuturku menjelaskan meski raut wajah seseorang di sampingku tampaknya tak terganggu oleh fakta itu.

"Nggak apa, harusnya ditunda sampe besok aja ketemuannya. Atau kamu bisa minta aku sekalian jemput ke bandara,"sahutnya sambil mengalihkan pandangan dari danau kecil di hadapannya.

Aku menggeleng pelan. Bandara bukanlah tempat yang tepat untuk menyampaikan niat baikku kali ini. Hanya jembatan kayu inilah yang kuanggap pantas mewakili semua yang ingin kusampaikan.

"Aku mau ngomong sesuatu,"

Dua suara berbeda nada seperti bertabrakan di udara. Senyum manis menghiasi wajah Nika, sosok wanita di hadapanku. Senyum yang berhasil membuat debaran jantung ini bertambah beberapa kali lipat. Astaga, hampir empat tahun berlalu dan rasanya masih sama saja.

"Kamu aja yang duluan. Kayaknya penting banget sampe harus buru-buru ke sini langsung dari bandara," ujarnya ringan.

Mendadak rasa gugup menyelimuti diriku seketika. Padahal hari ini sudah kupersiapkan sejak tiga bulan yang lalu. Tanggal kepulanganku pun kuatur sedemikian rupa agar berdekatan dengan hari ulang tahunnya. Aku menghela napas sejenak sebelum benar-benar memulai.

"Nika, sebelumnya ... aku ingin berterima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah hadir dalam hidupku, tetap mengawasiku dari jauh, dan juga terima kasih telah bersabar menungguku menyelesaikan studi di Australia,"

"Ardi --" seruan protes dilayangkan Nika begitu mendengar ujung kalimatku. Kutempatkan satu jari di bibirnya, isyarat agar ia tak memotong perkataanku. Dahinya berlipat bingung. Semakin membuatku gemas padanya.

"Nika, terima kasih karena sudah bersabar. Maaf karena kau harus menunggu pecundang ini mengumpulkan keberanian. Tapi aku yakin, rasa itu masih ada. Jadi Nika, maukah kau menikah denganku?"

Kalimat pamungkas itu kulayangkan berikut kotak cincin yang membuka sempurna. Nika hanya bisa menutup mulutnya sambil menatapku tak percaya. Jelas saja ia terkejut. Dan aku merasa rencanaku saat ini akan berjalan mulus sekali.

Nika menghela napas dalam. Raut wajahnya mulai berubah. Setitik air tampak mulai menggenang di pelupuk matanya. Ah, aku memang selalu pas mengejar momen mengharukan.

"Ardi maaf, aku nggak bisa nerima lamaran kamu," ujarnya lirih namun berhasil membuat wajahku pias seketika.

Ini pasti mimpi. Nika tidak mungkin menolakku. Selama ini dia selalu menunggu kepulanganku ke tanah air. Dia tidak mungkin memalingkan hati pada yang lain, kan?, gugat hatiku tak terima.

"Kenapa?" tanya lirih itu akhirnya kusuarakan, ketika sadar perkataan wanita di depanku bukanlah ilusi semata.

"Aku udah tunangan, Di. Sejak dua bulan yang lalu. Aku nggak bisa bilang karena kamu terlalu antusias mempersiapkan kepulanganmu ke tanah air. Aku selalu menebak kalo kamu punya rencana besar, tapi aku nggak ngira rencana besar kamu itu, ini ...." kesah Nika dengan suara bergetar.

"Kamu udah janji untuk bersabar, kan?" tuntutku pelan.

"Iya, aku memang menepati janjiku untuk bersabar. Tapi bagiku, bersabar bukan hanya soal menunggu, Ardi. Sabar juga tentang melepaskan."

Sosok di hadapanku menghela napasnya kembali. Nika tampak merogoh sesuatu dari tas tangannya, lalu mengulurkan sebuah kartu berhias bingkai emas padaku. Di kartu itu, tertulis nama wanita pujaanku dengan seseorang. Bersanding dengan apiknya.

"Aku mau nyampein ini. Kuharap kamu berkenan hadir," ucapnya lagi yang kini terdengar amat kejam di telingaku.

Aku berbalik, kotak cincin yang sedari tadi kugenggam erat terlepas begitu saja. Tak peduli apapun, yang kuinginkan adalah enyah dari tempat ini sekarang juga.

"Aku masih bersabar, Di. Hanya saja aku memilih bersabar dengan cara melepaskanmu. Apa aku salah jika memilih untuk melepaskan ketidak pastian demi seseorang yang menjanjikanku kepastian?"

Samar-samar suara Nika masih terdengar di telingaku. Entahlah, sepertinya semua harapanku ikut luruh bersama hilangnya guratan merah saga di langit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro