11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan belajar menghargai dari kehilangan. Rasanya terlalu menyakitkan."

Udara sekitar semakin dingin akibat wajah tak bersahabat Gasa. Ada sesuatu menganggu dalam benak Cila akan sikap cowok itu hari ini. Dia baru melihat sisi berbeda sepupunya. Cila membuang muka, mencoba bersikap biasa saja untuk menghilangkan perasaan tidak enak dari dalam.

Tanpa disuruh dia segera duduk di jok motor dan menerima sodoran helm dari cowok itu tanpa guyonan ataupun sikap manis seperti memasangkan helm di kepalanya. Bahkan laki-laki berbibir tipis tersebut tidak mengucapkan pegangan pada jaketnya seperti dulu saat ingin melajukan kendaraan. Mungkin dia kerap  jengkel jika harus mendengar suruhan Gasa, tetapi dia jauh lebih jengkel jika tidak mendengar suruhan itu.

Cila membuang napas panjang. "Sa, hari ini lo gak sekolah?" Perlahan dia mulai mengorek informasi. Namun, tidak ada sahutan hingga membuat gadis itu mengembungkan pipi.

Tidak menyerah sampai di situ, Cila kembali memutar otak, mengeduk stok pertanyaan dari dalam sana dan bisa menggugah selera sepupunya untuk menjawab. Akan tetapi, semakin dipikir semakin sukar baginya mendapatkan pertanyaan emas. Dia akhirnya menghela napas pasrah.

"Lo berubah." Dua kata itu lolos dengan penuh kesadaran dari si Pengucap.

Bagai disetrum listrik, Gasa merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak cepat. Seketika perasaan bersalah mengerumuni. Tidak seharusnya dia seperti ini. Cila punya hak menyukai siapa saja dan dia tidak berhak mengatur, begitupun dengan Elon. Dia sama sekali tidak mengetahui perasaan cowok itu untuk sepupunya. Bisa saja hanya Cila yang menyukai, tetapi Elon tidak. Dalam hitungan detik senyum miris terpatri di wajah.

Bego, makinya.

"Gak ada yang berubah," sanggah Gasa pada akhirnya.

Ekspresi yang tadinya murung berbalut kebingungan perlahan berganti menjadi senyuman lebar. Gasa bisa melihat jelas senyum Cila dari balik kaca spion. Mungkin memang dia ditakdirkan untuk terus merasakan hangat pada hatinya ketika melihat lengkungan bibir Cila. Baru saja dia menikmati pemandangan indah beberapa detik lalu, ekspresi si Penumpang tiba-tiba berubah menjadi datar.

"Lo berubah atau belajar jadi sok cuek?" Cila bertanya seraya memasang wajah tidak minat.

Gasa berdeham. "Belajar sok cuek."

Mendengar jawaban ogah-ogahan cowok itu, Cila memberenggut kesal. "Gue bisa lebih cuek dari lo."

"Udah benci, cuek, sekalian gak usah jadi sepupu gue itu lebih baik," teriak Gasa, takut jika gadis itu tidak bisa mendengar jelas perkatakannya karena bising jalan raya.

Kata benci seketika terngiang-ngiang dalam benak cewek berseragam batik SMA Merah Putih berbalut almamater kebanggaan OSIS itu. Dia mempertanyakan apakah dia terlihat sebenci itu dengan Gasa? Jujur, semua sikap bencinya hanyalah kebohongan. Dia ingin agar sepupunya berhenti protektif dan juga tidak terlalu mengkhawatirkannya, meskipun terkadang rasa kesal memang selalu membelai jika cowok itu berubah menyebalkan.

"Gue benci lo, Sa. Pernah gak lo mikirin diri sendiri, jangan terlalu perhatiin gue banget," rocos gadis itu, mulai mengarah ke pembicaraan serius.

Gasa tergelak, sontak ngerem mendadak kala lampu lalu lintas menampakkan sinar merah. Cila sampai memukul helm cowok itu, terkejut bercampur kesal.

"Gak usah terlalu ke-pede-an. Buktinya hari ini gue gak nyamperin lo di sekolah."

"Itu karena lo emang absen, kan? Kenapa sampai gak masuk kelas? Jangan coba-coba bohong, Elon udah bilang sama gue." Cila mendekatkan kepalanya di samping kepala Gasa. Dia memicing curiga.

Gasa kembali berdeham. Tangannya mendorong kepala Cila agar menjauh. "Mulai khawatirin gue, hm?"

"Ngaco!" Cila meninju pelan punggung cowok itu.

Alih-alih bercakap, mereka malah memperdebatkan hal yang tak penting selama perjalanan pulang. Sesekali mereka tertawa, lalu saling mengejek. Kedua remaja itu terlihat sangat akrab. Salah satu dari dua insan tersebut berharap agar waktu bisa dibekukan. Dia ingin menikmati momen ini bersama seseorang yang dia sukai ... atau mungkin cintai?

Terdapat dua jantung dan hanya satu yang berdetak tak karuan. Ada sayang tersemat dalam perasaan terdalam untuk orang terkasih. Juga ada sayang bersemayam dalam jiwa untuk orang yang dianggap sebagai saudara, hanya sebatas keluarga. Lantas, bagaimana cara menyatukan dua hati bertolak belakang itu?

Satu hal yang pasti, Gasa akan selalu mundur mengingat sebuah fakta bahwa dia dan Cila tidak akan pernah bersama dalam ruas kasmaran. Gadis itu tentu menolak perasaannya jika dia jujur, tak pernah ada kesempatan meskipun belum pernah mencoba mengungkapkan.

"Gue ... kesal sama diri gue sendiri, Cil," gumam cowok itu.

***

Sudah 25 menit seorang cowok berambut agak kecokelatan itu merebahkan diri di depan televisi, mengganti-ganti siaran tanpa pernah memperhatikan tiap acara yang disuguhkan. Fina menghampiri sahabat anaknya dan duduk di single sofa.

"Masih nungguin Cila?"

Elon mengangguk lemas, dia paling tidak bisa menunggu lebih dari sepuluh menit. Bagi cowok itu, waktu bagaikan uang, sangat berharga. Dia lebih memilih memainkan gim online yang bisa mengasah kemampuan bahasa Inggrisnya daripada harus menunggu, dan sial ponselnya kehabisan baterai. Namun, khusus untuk Cila, dia rela berlama-lama di sini karena ingin mengonfirmasi sesuatu.

"Assalamu'alaikum."

Perpaduan salam di ambang pintu mengalihkan atensi Fina dan Elon. Mereka sudah menduga kehadiran Gasa dan Cila. Kantuk serta rasa bosan yang sempat mendera cowok berhidung mancung itu seketika menguap. Dia buru-buru bangkit, lantas berlari ke ruang tengah yang penuh keributan akibat ejekan dari dua kubu.

"Elo ngeselin. Udah gue bilang bisa jaga diri sendiri malah ngekor mulu. Babu!" teriak Cila.

"Lo ceroboh, nurut aja bisa, gak? Batu!" Gasa memelotot hingga wajah cowok itu semakin seram.

"Idih, lo siapanya gue harus gue turutin segala," sewot si gadis.

"Hoy! Bisa gak kalau ketemu gak tengkar mulut?" Karena sudah tidak tahan, Elon akhirnya angkat suara. Dia menarik tangan Gasa keluar dari rumah dan adu mulut pun berakhir. "Gue pengen ngomong sama lo," ujar cowok itu saat keduanya sudah berada di teras, sementara Cila meneruskan langkah ke kamar, tidak ingin ikut campur meskipun sedikit penasaran.

Elon menatap Gasa dalam diam, mencoba menyelidiki ekspresi cowok itu. Tadi selama proses pelajaran berlangsung, dia tidak bisa tenang karena sikap Gasa tak seperti biasanya dan dia perlu mendengar penjelasan langsung sekarang juga.

Seakan mengerti apa yang membuat Elon seperti ini, Gasa menjatuhkan diri pada salah satu kursi kayu di depan rumah sembari membuang napas panjang. Jika dipikir-pikir, tindakannya tadi pagi sangat kekanak-kanakan dan tidak jelas. Mata kelamnya menatap Elon yang kini sudah menyandarkan diri pada pilar rumah, tepat di hadapan Gasa.

Setelah mengembuskan napas panjang, Gasa melengos. "Sori karena sikap gue tadi pagi."

"Masih ada lagi?" tanya Elon belum puas.

"Gue lakuin itu karena ... cemburu." Mendengar itu, Elon kontan mengernyit. Belum sempat berucap, Gasa langsung menyela dan menceritakan apa yang membuatnya seperti itu tadi pagi.

"Ya ampun. Perlu kita klarifikasi? Tapi, gue rasa Cila gak pernah punya perasaan ke gue, dan gue juga gak pernah punya perasaan untuk Cila. Gue saranin buat ungkapin perasaan lo, lebih cepat lebih baik daripada mendam kayak gini."

Gasa mengacak rambutnya frustrasi. Mengungkapkan tidak semudah itu. Membutuhkan keberanian serta mental baja untuk mendengar sebaris jawaban yang tentunya akan sangat mengecewakan. Dia begitu yakin bahwa Cila akan menolaknya. Akan tetapi, apa salahnya mencoba saran Elon? Bisa saja jawabannya di luar dugaan. Setidaknya dia bisa lebih lega setelah menyatakan perasaan.

"Gue ... bakalan coba."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro