10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sebelum aku sadar bahwa mendiamkanmu adalah cara lain untuk membuatku gila."

Aritma semakin memperlambat langkah, tertarik oleh jawaban Cila. Dia iseng bertanya seperti itu, sekaligus penasaran sebab kemarin malam mendapat postingan di Instagram tentang cewek tidak bisa bersahabat dengan cowok.

"Sebagai teman gue suka sama Elon," lanjut Cila sembari kembali mempercepat langkah.

Aritma mengaga, tangannya sudah siap melayang di atas kepala gadis itu, tetapi Cila cekatan menghindar. Di belakang sana Gasa sudah tidak mendengarkan apa-apa lagi sebab sibuk menetralkan amarah sampai ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Bengong aja, lupa cara jalan?" Olokan tak bernilai humor itu berasal dari mulut Elon.

Cowok yang hanya menyampirkan tas punggung di bahu sebelah kanan tersebut melengos, meninggalkan sahabatnya tanpa sepatah kata pun. Untuk hari ini dia ingin sendiri, tanpa gangguan dari makhluk mana pun termasuk Cila. Seketika ide membolos terlintas dalam benak.

Daripada menetap di sekolah dan makan hati terus-menerus karena wajah Elon, lebih baik dia kabur sebelum jam pelajaran dimulai. Dia berbalik arah, melewati teman duduknya begitu saja. Sontak kerutan bingung pada dahi Elon semakin dalam mendapati perubahan sikap Gasa.

"Sa, ke mana, hoy!" teriaknya lantang sebab orang yang diteriaki semakin menjauh.

"Aneh," gumam Elon sambil berkacak pinggang. Rambut berponinya dia biarkan menutupi dahi tanpa mau bersusah payah menyugarnya ke belakang seperti yang selalu cowok-cowok lakukan saat sedang berpikir sesuatu.

Gasa memacu motor dengan kecepatan tinggi. Matahari semakin memancarkan terik, memanaskan bumi. Tak ada penyesalan meski harus meninggalkan sekolah sebelum memulai pembelajaran.

Untuk sesaat dia lupa bahwa sekarang di berada pada tangga tertinggi jenjang sekolah menengah atas, keseriusan harus lebih ditingkatkan lagi, fokus untuk pelaksanaan berbagai ujian kelulusan.
Namun, semua tentang ujian seketika hangus menyisakan abu karena pernyataan Cila. Dia sadar bahwa ini tidaklah wajar, tak seharusnya seperti ini.

Dia dan Cila hanya sebatas sepupu dan juga sahabat. Ikatan sebagai seorang cowok yang mencintai seorang gadis tak mungkin dia jabarkan pada sepupunya. Cila pasti jijik melihatnya.

"Sialan!" umpat cowok itu. Kali ini dia benar-benar merutuki takdir. "Kenapa harus gue yang jadi sepupu lo! Gue pengen jadi orang lain yang bisa cinta sama lo tanpa ada ikatan kayak gini!" Meski menggunakan helm tetap saja suaranya bisa terdengar oleh pengendara lain saat berhenti di lampu lalu lintas.

Perasaan ini, perasaan yang menyesakkan jiwa, sungguh menyakitkan dan ingin terlepas sesegera mungkin. Cinta diam-diam ditujukan kepada saudara sepupu. Memang tak mustahil, tetapi bagi Cila adalah sebuah pantangan. Mungkinkah dia harus usai sampai di sini?

Benarkah dia harus menegakkan bendera putih dan mengucapkan selamat tinggal kepada sebuah rasa yang tertambat selama lima tahun lamanya itu? Gasa masih berada pada garis tidak rela. Andai melupakan seseorang adalah pekerjaan mudah, beralih kepada orang lain dengan cepat tanpa menoleh pada masa lalu. Akan tetapi, semua hanya sebuah ilusi. Sama halnya mengenggam Cila sebagai seorang kekasih, itu hanyalah angan.

Gasa menghentikan motor di halaman rumah. Dapat dipastikan ibunya pasti mengintrogasi karena dia tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelum-sebelumnya. Dia menghela napas seraya membuka pelindung kepala, menarik kunci motor, lantas berjalan memasuki rumah.

"Lho, lho, Gasa? Kamu kelupaan sesuatu?"

Baru saja kedua kaki menapak pada ruang tamu, suara Zania sudah menggema dalam lorong telinga, disusul oleh kedatangan sang ayah dari belakang istrinya.

"Ayah kirian kamu udah di sekolah, ternyata masih di rumah." Rino berujar santai karena tidak sadar akan keanehan anaknya yang tiba-tiba saja kembali di rumah.

Wanita yang masih menggunakan celemek merah muda itu menatap putra kesayangannya penuh tanya. Dia yakin seratus persen ada sesuatu tak mengenakkan sedang terjadi. "Ayah, anak kamu, tuh, lagi gak beres. Tuh, tuh, lihat mukanya suntuk, sedih kayak gitu." Dia menunjuk wajah sang anak dan berderap mendekatinya, tetapi Gasa langsung berjalan sebelum Zania menyentuhnya.

"Gasa lagi gak enak badan, pengen istirahat hari ini." Jelas saja itu adalah alasan terbodoh bagi seorang anak yang memiliki orang tua berprofesi seorang dokter. Gasa sedang tidak bisa berpikir kreatif menciptakan bualan-bualan masuk akal, jadi biarlah semua berjalan semestinya.

Kedua manusia berkepala empat tersebut saling tatap, sedikit melongo. Pemandangan seperti ini baru mereka dapatkan, pasalnya Gasa adalah tipe anak yang lumayan mengkhawatirkan masalah nilai, tetapi meninggalkan sekolah sepagi ini?

"Udah, Bu. Susul anakmu," suruh Rino.

"Anakku anakmu juga," ucap wanita itu lalu menghampiri Gasa di dalam kamar.

***

Belum sepenuhnya pulih, tetapi Cila adalah makhluk berkepala batu. Gadis itu menapakkan energi positif hari ini, senang karena Aritma turut menghadiri rapat lanjutan mengenai ulang tahun SMA Perhap. Jarang-jarang sahabatnya itu bersusah payah duduk manis tanpa bersuara dalam forum organisasi.

"Oke, kita sudahi rapat hari ini. Besok jangan lupa rapat di ruang OSIS sepulang sekolah. Sepertinya kita perlu memperkuat setiap tugas dari divisi-divisi kegiatan."

Langit menutup pertemuan sore itu. Pembawaan yang berwibawa serta suara tegas menjadi poin plus bagi kaum hawa. Otak dan fisik seorang Langit memang patut diacungi jempol. Kompak mereka mengembuskan napas lega. Mengikuti pelajaran dari awal sampai akhir sudah menguras tenaga dan sepulang sekolah harus menghadiri rapat lagi.

Menjadi seorang organisatoris memang bukan hal mudah. Bukan hanya berfokus pada nilai akademik, tetapi juga pada soft skill yang akan menemani perjalanan seseorang menjadi versi terbaik di masa depan, dan Cila suka menantang diri dalam sebuah kegiatan seperti ini.

"Cil, ponsel lo dari tadi getar terus, tuh." Aritma mengendikkan kepala ke arah ponsel Cila. Karena hanya mode getaran, gadis itu jadi tidak sadar.

Cila buru-buru mengangkat panggilan saat melihat kontak sang mama pada layar. Dia yang tadinya sedang menikmati kudapan kontan memasukkan sisa makanan ke dalam mulut, jadilah pipinya mengembung penuh.

"Assalamu'alaikum, Ma. Iya ini Cila udah selesai."

"Hah! Udah di depan sekolah? Padahal Cila bisa pulang bareng Ritma, Ma." Cila sedikit merajuk saat berbicara.

"Buruan pulang, Cila. Kamu harus istirahat. Mama udah bilang jangan forsir tubuh dulu."

"Iya, Ma. Aku pulang sekarang." Cila menutup sambungan telepon dan memasukkan benda tersebut ke dalam saku seragam.

"Gue duluan, Rit. Teman-teman gue pamit duluan, yak, jemputan udah nunggu." Gadis itu berpamitan pada semua orang yang berada di sana sebelum melangkah keluar sekretariat.

Dia jadi teringat sesuatu. Hari ini dia tidak pernah melihat kehadiran Gasa di sekolah padahal cowok itu selalu saja menemuinya saat jam istirahat, tetapi khusus hari ini Cila terbebas dari cowok itu sampai ketika dia harus pulang bersama Gasa karena permintaan Fina.

Dari depan gerbang dia dapat melihat sepupunya menumpukan kepala pada spidometer motor. Laki-laki itu tidak menyadari kehadiran Cila.

"Mau aja lo jemput gue," tegur gadis itu sedikit sinis hingga membuat Gasa menegakkan tubuh.

"Buruan." Jawaban Gasa terdengar dingin.

Cila membisu, seketika susah menggerakkan badan. Nada bicara Gasa sangat berbeda dari sebelumnya. Tanda tanya serta ketakutan bersarang di dalam otak. Dia tidak pernah mendengar perkataan sedingin itu keluar dari mulut itu. Dia menggigit bibir bagian dalam, melampiaskan segala rasa yang bercampur aduk.

"Lo ... kenapa?" lirih Cila.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro