9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mungkin mahkota yang kuberi di atas kepalamu tidak pernah kaulirik."

Langit malam di atas sana semakin kelam dari menit ke menit. Mendung membawa rintik demi rintik ke bumi, lantas menghantam begitu keras, membasahi tanah hingga membuat para pethrichore bersenandung nyaman, memanfaatkan waktu menikmati wangi tanah bersama buku, secangkir teh hangat, atau mungkin sebuah khayal seperti yang dilakukan oleh Gasa saat ini. Cawan perasaan yang dia pikir akan berkurang isinya itu malah tak pernah surut.

Semakin merindu rasa semakin menguat, mengikat dan tak membiarkan dia berpaling ke hati lain. Kata orang cara move on paling manjur adalah mencintai orang baru, tetapi bagaimana jika tidak bisa berpaling? Apakah perasaan menyiksa seperti ini akan selalu membersamai?

Untuk saat ini dia masih bisa menguatkan hati agar tak mengatakan sesuatu yang bisa mengubah hubungannya dengan Cil. Namun, bagaimana jika dia sudah tidak mampu lagi? Sulit rasanya mencintai orang lain.

Tanya semakin bertambah dan dia semakin kesulitan mencari jawaban. Sampai pikirannya teringat mengenai perbincangan pada suatu malam bersama Elon di rumah Cila, hari di mana dia mengantar sepupunya pulang sehabis rapat OSIS. Nasihat teman duduknya sedikit meracuni pikiran.

Gasa menyandarkan punggung pada sandaran kursi santai di balkon kamar, walaupun angin sepertinya senang berembus sekencang tetap saja dia tak berminat berganti latar tempat.

"Cil, harusnya gue gak bersikap kayak gini, kan?" bisiknya pada dersik.

Gasa memejam, teringat perbincangan bersama Elon. Waktu itu Gasa keluar dari kamar Cila dan menghampiri pekarangan rumah, mendudukkan diri di teras. Semua terasa menyesakkan ketika mengetahui orang yang mungkin sudah dia taksir sejak kelas tujuh telah berpacaran, sedangkan dia malah terjebak bersama rasa yang tak seharusnya timbul.

Gasa memukul pelan kepalanya berulang kali. Dia pikir jatuh cinta tidak akan sesakit ini, tetapi perkiraannya terpatahkan karena mencintai sepupu sendiri. Parahnya malah sepihak.

"Kalau lo masih Gasa yang dulu, gue cuman bisa bilang sabar. Gue gak bisa bantu apa-apa," ujar Elon malam itu, saat mendapatinya duduk, merenungi nasib.

Gasa tertawa hambar. Benar, dia masih Dagasa yang dulu. "Gue bingung sama diri sendiri, dan gak tahu kenapa Tuhan harus buat skenario kayak gini." Gasa bersuara pelan, terdengar putus asa.

Elon menepuk pundak sahabatnya sebanyak tiga kali sebagai bentuk dukungan. Dia tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisi Gasa, tetapi pasti sangat menyusahkan, serba salah. Untuk mengatasi perasaan, Gasa harus menekan kuat inginnya.

"Semua bakalan indah pada waktunya. Apa yang terjadi pada lo memiliki pesan. Kalau lo gak cermat lo gak bakalan bisa mengerti, jadinya bakalan menyalahkan Tuhan atas sakit yang lo dapat," jelas Elon.

"Pesannya jatuh cinta gak mudah, gitu?" komentar Gasa.

Elon menggaruk tengkuk yang tak gatal, mencoba merangkai kalimat agar cowok di sebelahnya ini dapat mengerti.

"Salah satunya itu. Tapi, lo juga harus tau kalau jatuh cinta itu anugerah. Bersyukur adalah salah satu bentuk penerimaan, masalah sakit hati adalah sebuah pembelajaran bahwa sebenarnya perempuan itu adalah makhluk yang gampang untuk dicintai, makanya kita gak boleh dekat-dekat banget sama cewek, jaga jarak kalau gak mau kena damprat sama yang namanya sakit hati karena terlalu berharap pada manusia."

Gasa tertawa karena penuturan Elon. Tidak salah memang, bahkan dia pernah mendengar salah satu ustaz saat di pondok dulu masalah perempuan. Akan tetapi, dia hanya tidak habis pikir Elon akan berkata demikian. Apakah itu salah satu alasan mengapa sekarang sahabatnya sudah tidak memiliki pacar?

"Gue terkejut lo ngomong kayak gitu. Tapi, gue mau nanya sesuatu sama lo."

"Apa?" Elon mengernyit.

"Apa lo pernah suka sama Cila?"

Jeda beberapa menit. Elon tampak berpikir, mencoba menebak arah pembicaraan Gasa. Nada bicara cowok itu seperti menyelidik.

"Ngaco! Mana ada gue suka sama dia." Pada akhirnya Elon tertawa kencang, menjawab apa adanya.

Gasa bernapas lega karena mengetahui Elon tak pernah menyimpan rasa untuk Cila, tetapi tetap saja dia terpikirkan pada satu pernyataan bahwa perempuan dan laki-laki tak bisa murni berteman, pasti ada di antara mereka yang menyukai. Kalau bukan Elon mungkin saja Cila. Gasa memejam bersamaan rasa sesak semakin menggumul di dada. Sampai kapan pun mungkin dia tidak akan bisa menerima kenyataan itu jika dugaannya benar.

***

Hari ini Cila terlihat lebih segar setelah izin tidak masuk sekolah selama satu hari. Ya, cuma sehari, tetapi memberi perubahan baik untuk tubuhnya. Saat di rumah dia puas mendengar omelan Fina karena terlalu mengkhawatirkannya.

Kendati demikian, dia bersyukur karena masih bisa mendengar suara sang mama. Banyak orang di luaran sana merindukan sosok ibu karena sebuah kisah yang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Namun, Cila tidak. Dia justru tiap hari bertemu Fina dan kerap membuat mamanya marah-marah karena tidak tahu mengurus diri. Gadis itu terkekeh pelan.

"Cilaaa! Sehari gak ketemu lo rasa-rasanya hambar banget. Eh, eh, gimana hari ini? Lebih baikan?" Aritma tiba-tiba muncul di sebelah gadis itu hingga membuat Cila beristigfar.

"Kebiasaan banget teriak, muncul tiba-tiba. Kasih tanda, kek, atau apa gitu," omel gadis beransel cream seraya memasang wajah sebal.

Kedua remaja itu berjalan santai menyusuri koridor kelas. Masih sepi sebab jam masih menunjukkan pukul 06.15. Hari ini dia berangkat bersama Elon lagi, tetapi cowok itu langsung melesat ke penjual kartu perdana terlebih dahulu sebelum masuk ke area sekolah, katanya kartu cowok itu terblokir karena tidak pernah diisi pulsa.

Sambil merangkul lengan Cila, Aritma berucap, "Lo belum jawab pertanyaan gue, Cila."

"Alhamdulillah, sehat. Kemarin ada tugas apa?"

Sebelum menjawab, gadis yang kali ini memakai bando berwarna navy itu terlihat berpikir, berusaha mengingat mata pelajaran kemarin. "Gak ada kayaknya ... iya gak ada." Aritma mengangguk yakin.

Cila pun mengucap syukur dalam hati, setidaknya tugas dari guru tidak menghujaninya yang masih berusaha menormalkan tubuh.

"Cila, apa lo pernah suka sama Elon?" Entah ada angin apa Aritma malah bertanya hal itu kepada Cila.

Cila terkejut, dia bahkan berhenti melangkah. Tepat di koridor kelas IPA, mereka berdua saling tatap. Detik berikutnya, Cila tertawa kencang. "Suka dong, sampai sekarang gue juga masih suka sama dia."

Tanpa sepengetahuan kedua gadis itu ada seorang cowok yang tengah menahan bara api agar tak membakar hati juga kesabarannya. Kepalan tangan di samping tubuh semakin mengerat. Semalam dia memikirkan masalah ini dan sekarang jawabannya sudah di depan mata. Gadis itu, orang yang Gasa cintai ternyata menyukai orang lain, lebih parahnya lagi orang itu adalah Elon.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro