8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Katanya jatuh cinta itu rasanya seimbang antara manis dan pahit. Tapi, suka sama kamu ada rasa baru. Rasa asam."

Penjelasan dari guru di depan kelas ternyata hanya menumpang lewat, tidak ada secuil pun ilmu singgah di kepala. Gasa bukanlah tipe orang yang mudah melakukan multitasking. Saat ini dia tengah sibuk memikirkan keadaan sepupunya padahal dia sudah berusaha fokus mendengarkan penjelasan rumus Fisika yang entah kenapa malah terlihat berbelit-belit.

Elon berulang kali melihat Gasa mengacak rambut, seperti tidak tenang. Sebagai teman duduk dia sedikit terganggu. Cowok yang selalu menyelipkan pulpen di telinga itu meletakkan benda ramping berisi tinta tersebut di atas buku, lalu menyandarkan punggung pada sandaran bangku.

"Kenapa lo?" bisiknya, takut guru di depan sana mendengar mereka berbicara.

Jika mereka ketahuan, urusannya akan rumit dan dia tidak menyukai kerumitan, seperti rumus Fisika di atas. Untuk apa mengetahui asal rumus-rumus jika bisa langsung digunakan?

Gasa mengusap wajah gusar, sangat terlihat tidak tenang. Mata yang dulu selalu menatap papan tulis dengan fokus penuh kini seakan terbilas bersih tak bersisa. Hanya ada kerisauan dari binar iris kelam cowok itu.

"Fokus, masih untung lo diizinin masuk, padahal keterlambatan lo gak main-main," peringat Elon mengingat tadi cowok di sebelahnya terlambat beberapa menit memasuki kelas.

"Waktu upacara tadi Cila pingsan. Dia di UKS sekarang." Nada suaranya cemas. Dia tidak bisa mengontrol kekalutannya.

"Hah!" Tanpa bisa ditahan, Elon berteriak hingga membuat seisi kelas diam, terkejut juga takut karena hawa bahaya mulai menguar mengisi ruang bercat putih itu.

Laki-laki bertubuh gempal yang tak lain adalah guru mereka berhenti menuliskan turunan-turunan rumus. Matanya menatap tajam barisan kursi belakang, lebih tepatnya bangku Elon dan Gasa. Kedua pemuda itu menelan ludah susah payah. Mereka kompak bergumam mampus.

"Kalian berdua silakan keluar," titah Pak Anwar, tegas tanpa bantahan.

Gasa dan Elon mendesah berat, mau tidak mau mereka harus meninggalkan singgasana daripada keadaan memburuk dan merugikan teman-teman. Bagi Gasa ini adalah sebuah kesempatan, tetapi bagi Elon ini adalah malapetaka. Bisa saja Pak Anwar menyimpan kesan buruk dan malah membuat nilai Fisika mereka jadi super rendah.

"Ck, gara-gara elo kita dikeluarin," dumel Elon ketika kakinya menginjak koridor.

"Yang teriak siapa?" Tidak mau kalah, Gasa balas menjawab.

"Gue." Elon mendengkus.

"Terus ngapain nyalahin gue?"

Mereka terus berdebat meski jelas-jelas kesalahan terjadi akibat Elon sendiri. Andai cowok itu membiarkan Gasa larut dalam pikirannya mungkin dia tidak berjalan di koridor menuju UKS. Namun, ketika teringat Cila, rasa kesalnya berkurang sebab bisa menjenguk Cila. Soal materi pembelajaran dia bisa meminta pertolongan pada teman-teman sekelasnya.

"Lo tau Cila pingsan dari mana?" Elon melayangkan pertanyaan begitu teringat sesuatu.

Gasa merenggangkan ikatan dasi yang seakan mencekik leher. "Waktu upacara tadi gue pengen nitip tas di BK, dan gue liat Cila ditandu sama anggota PMR."

Elon mengangguk. "Terus kenapa lo telat masuk kelas?"

Cowok yang kini dasinya sudah berpindah ke saku celana abu itu membuang napas pendek. Dia tidak mau mengatakan prihal keterlambatannya karena botol Kiranti. Memalukkan.

"Sa, jangan terlalu khawatir gitu." Elon menepuk pundak sahabatnya, tahu kalau Gasa kesulitan mengatur perasaannya. "Gue tau lo takut kejadian Cila pingsan karena kekurangan darah terulang lagi."

"Gimana gue gak khawatir kalau dia gak bisa jaga diri? Selagi gue ada di sekitarnya, gue bakalan selalu perhatiin kondisinya," tegas Gasa.

Elon meringis dalam hati. Gasa sepertinya tidak bisa melihat betapa kesalnya Cila karena sikap protektif itu. Elon membuang napas, setidaknya dia tidak terlalu berlebihan mengkhawatirkan Cila. Dia takut sikapnya justru membuat gadis itu tertekan. Elon terkekeh, cukup Gasa saja, dia yakin sahabatnya itu sudah lebih dari cukup untuk menjaga.

Bau obat-obatan seketika menyeruak saat memasuki ruang pertolongan pertama di sekolah mereka. Ternyata sudah ada dua orang di sini—Tina, anggota PMR—dan Aritma yang meminta izin kepada guru untuk menemani Cila.

Kondisi gadis itu sudah terlihat lebih baikan meski masih lemas. Gasa melirik tangan Cila yang memegang sebotol pereda nyeri haid. Seketika cowok itu merasa malu, dalam hati dia berdoa agar Cila tidak bertanya lebih jauh tentang Kiranti.

Namun, segala sesuatu yang terjadi memang tidak berada dalam kendalinya sehingga dia harus pasrah kala mendengar pertanyaan tak diinginkan tersebut akhirnya keluar juga.

"Sa, lo yang beli ini?" Cila mengerjap-ngerjap.

Seperti dugaan, Elon dan Aritma menatap penuh selidik. Sebab di antara mereka berdua tidak pernah membeli barang itu.

"Atau Elon?" Kali ini pertanyaan berpindah ke cowok yang kini tengah membaringkan badan di ranjang lain.

"Bukan, gue aja baru tahu kalau lo ternyata pingsan," jawab Elon seadanya.

"Udah gue bilang kalau bukan gue. Jadi, gak usah nanya," cegah Aritma ketika melihat Cila ingin kembali bersuara.

Cewek bermata sayu itu berdecak. "Siapa mau nanya sama lo, sih?" judesnya. Saat mendapat tamu undangan dia berubah menjadi lebih tempramen. "Elo, kan, Sa?" Di kembali menatap Gasa.

Gasa membuang napas kasar seraya menghampiri Elon, duduk di atas kasur setelah menyingkirkan sedikit kaki Elon. "Iya," jawabnya, mencoba berucap sesantai mungkin.

Ruangan yang harusnya tenang kini berubah riuh. Tawa kencang Artima dan Elon berpadu bak paduan suara, meski hanya dua orang tetap saja mengusik ketenangan. Mereka tak ada habis-habisnya bertepuk tangan ria seperti anak kecil hingga membuat Gasa emosi.

Cowok itu refleks menutup mulut sahabatnya. Dia tak peduli rontaan Elon meminta dilepaskan, siapa suruh menertawakan usaha baiknya. Dia hanya melakukan apa yang kata hatinya minta, bisa dikatakan sebuah panggilan kemanusiaan.

Namun, dia kembali berpikir, tidak mungkin dia ingin berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan minuman itu jika bukan karena Cila. Bukan hanya sekadar panggilan kemanusiaan, tetapi panggilan hati bekerja sama dengan perasaan yang tak pernah berkurang untuk seorang gadis, tak lain adalah sepupunya sendiri. Tanpa sadar dia semakin rapat membekap mulut Elon. Seluruh emosi mengarah pada kegiatannya membungkam bibir cowok berambut agak kecokelatan itu.

"Sa, udah kali. Kasihan si Elon, tuh!" peringat Aritma ketika Elon mulai menampakkan tanda-tanda tersiksa.

Cila sedari tadi hanya diam. Tindakn Gasa kembali membuatnya tercengang. Dia tidak pernah berpikir bahwa cowok kelahiran bulan Agustus itu akan bertindak  sejauh ini. Dia menatap wajah sepupunya dalam diam, mencoba menerka-nerka adakah motif lain dari tindakannya kali ini? Namun, sulit mendapatkan jawaban sebab sikap perhatian Gasa memang selalu tercurah untuknya.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" Tiba-tiba saja bentakan dari sepupunya menampar Cila agar kembali ke dunia nyata.

Kan, mulutnya mulai lagi, keluh gadis itu.

"Ebuset! Ngegas." Elon kembali tertawa seraya mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Dia merangkul pundak Gasa dan membisikkan sesuatu. "Ingat dia itu Cila," ucapnya seraya tersenyum mengejek.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro