7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Raga kita dekat, tapi hati kita menolak merapat."

Sering kali manusia berpikir waktu begitu cepat berlalu. Pekerjaan menumpuk membuat hitungan dua puluh empat jam seperti sejam. Namun, sebenarnya para penuntut ilmu juga merasakan hal serupa karena tumpukan tugas pemberian guru tak pernah berkurang. Mati satu tumbuh seribu.

Namun, masalah penambahan tugas tak ada apa-apanya jika dibandingkan bertemu hari Senin, melaksanakan upacara, tugas belum selesai, terlambat, tidak sarapan dan masih banyak drama pagi lainnya yang sudah menguras tenaga di pagi hari. Seperti Fina, pagi-pagi sudah mengomel karena anaknya tetap bersikukuh ke sekolah.

"Ma, aku udah baikan, kok. Cila janji gak nunda makan lagi," cicitnya. Demi apa pun, Cila sangat membenci jarum suntik.

Fina menghela napas panjang sembari menatap Cila yang sudah berseragam OSIS rapi juga lengkap. Wajah pucat putrinya memang masih terlihat, tetapi kondisi lemah seperti dua hari kemarin sudah tidak tampak lagi.

"Ya udah, perginya bareng Elon kalau gitu."
Sebagai jawaban gadis itu mengangguk mantap, lalu segera bergegas ke meja makan, melahap sarapan, menenggak segelas susu, lantas meraih kotak bekal serta botol air.

Semua beres, dia menghampiri Fina yang tengah sibuk membersihkan piring-piring kotor. "Ma, Cila berangkat sekarang. Elon juga udah di depan katanya."

Perempuan yang masih terlihat agak muda itu mengangguk pelan, membiarkan Cila menyalim tangannya. "Hati-hati," pesan ibu satu anak tersebut.

Cila mengecek arloji, masih pukul 06.15, terbilang sangat pagi untuk ke sekolah, tetapi motor matik hitam milik Elon sudah membelah jalanan Ibu Kota yang ternyata mulai padat kendaraan. Maklum, hari Senin adalah hari tersibuk. Pada hari ini banyak orang akan menjumpai manusia egois, tak sabaran dan masih banyak lagi.
Kendati demikian, Cila dan Elon terlihat menikmati perjalanan meski beberapa kali mendapatkan kendaraan lain mencoba menyalip secara tiba-tiba tanpa memberi aba-aba.

Cila selalu terkagum-kagum 'kan sikap Elon yang tak tenang dan hangat, berbeda dengan Gasa yang selalu membawa api ketika berjumpa dengannya. Ngapain gue bandingin mereka berdua, pikirnya seraya menggeleng cepat, mengusir pemikiran tadi. Lampu merah, perlahan berhenti. Kendaraan lain pun melakukan hal yang sama.

"Harusnya lo istirahat dulu," ujar Elon.

Cila sedikit memajukan kepala agar cowok itu bisa mendengar dengan jelas. "Gue banyak kegiatan hari ini."

"Ingat makan, jangan kayak hari Sabtu. Pulang-pulang malah tepar akut," peringat cowok berjaket hitam itu.

Lama sudah dia tak mendengar omelan sahabatnya. Saat Elon memarahinya cowok itu tak pernah bersuara keras, malah berucap lembut hingga terkadang hatinya menghangat sendiri. Jangan salah paham, Cila tidak menaruh rasa pada Elon. Dia hanya kagum, tidak lebih.

"Gue bawa bekal hari ini, tenang aja."
Anggukan mengerti tertangkap oleh mata gadis itu bersamaan lampu merah berubah hijau.

Lengkingan klakson saling bersahutan, memekakkan telinga. Cila jadi kesal sendiri tentang orang-orang yang selalu berklakson ria saat melihat lampu hijau padahal kegiatan memuakkan seperti itu tak perlu dilakukan. Toh, semua kendaraan akan melaju karena memang sudah waktunya untuk bergerak, jadi tidak perlu berusasah payah memencet klakson.

Perjalan yang seharusnya hanya dilalui lima belas menit, berubah menjadi tiga puluh menit. Cila membuang napas lega, setidaknya dia dan Elon tidak terlambat. Setelah menyerahkan helm dan mengucap terima kasih, gadis itu buru-buru ke kelas ketika teringat tugasnya belum selesai.

Begitu tiba di kelas, Cila segera meraih bukunya di dalam tas. Mengerjakan sisa soal sebelum bel upacara berbunyi.

"Cila buruan bentar lagi upacara, nih!" Suara cempreng Aritma membuat gadis yang tengah sibuk menjawab sisa pertanyaan yang tak sempat dikerjakan kemarin malam berdecak jengkel.

"Bentar, dikit lagi," jawab Cila.

"Udah gue bilang lihat jawabannya Alan aja malah gak mau," cibir cewek berbando putih itu.

Sekitar enam menit Aritma pulang balik dari depan kelas ke tempat duduk di barisan ketiga di mana Cila masih berjuang menuntaskan pemasukan dari toko yang terdapat di dalam soal cerita. Mulut komat-kamit Aritma bahkan tidak mampu membuyarkan konsentrasi penuh dalam menjawab soal meskipun Cila kesulitan. Hampir saja Aritma menjerit tepat di telinga Cila jika saja orang yang ditunggu tidak menutup buku dan berdiri.

"Ayo! Setidaknya gue ngerjain tugas gak nyontek." Ujaran Cila sukses membuat Aritma memonyongkan bibir.

Gadis berambut panjang itu tahu betul prinsip yang selalu Cila junjung tinggi. Lebih baik kesusahan diiringi kerja jujur daripada kerja cepat hasil sontekan. Katanya banyak orang yang berpendidikan dengan nilai sempurna, tetapi saat diuji mereka tidak mampu mempertanggungjawabkan nilai-nilai tersebut.

Jika mengingat penuturan gadis itu, Aritma jadi menyesal sendiri karena lebih mengutamakan keluhan dibandingkan berusaha terlebih dahulu. Namun, apa mau dikata kala tenggat waktu sudah di depan mata, jalan satu-satunya adalah mencari kunci jawaban berjalan.

Upacara berlangsung di bawah terik mentari. Para siswa mengeluh dalam hati, ingin segera memasuki ruang kelas, tetapi kepala sekolah belum juga memberi tanda amanat akan selesai. Cila adalah salah satu siswa yang ingin segera menduduki singgasana di dalam kelas, sejak sepuluh menit lalu kepala dan perut kompak menyiksanya. Kali ini keringat di dahi bukan karena sinar matahari, melainkan peluh dingin akibat kesakitan.

Sudah tidak tahan, gadis yang hari ini mengurai bebas surai hitamnya berjongkok tepat di belakang Aritma hingga tubuhnya tak lagi diterpa sinar menyengat panas dari langit. Cila meremas perut disertai ringisan kecil. Mata mulai berkunang-kunang dan dalam hitungan detik dia tumbang hingga membuat teman sekelas gadis itu terkejut, spontan memanggil anggota PMR yang bertugas pada upacara kali ini.

***

Gasa memanjat pagar belakang sekolah dengan lihai. Dia yang awalnya berada di luar sekolah dari membeli sesuatu kini sudah kembali menapakkan kaki di koridor kelas. Cowok itu mengecek kantong celana abunya, takut botol kaca berukuran sedang di dalam sana terjatuh. Setelah di rasa aman, dia buru-buru berlari ke ruang UKS.

Jam pelajaran pertama tak dihiraukan olehnya. Ketika mengkhawatirkan seseorang yang dianggap spesial dia tidak akan bisa mengerjakan apa pun sebelum mengetahui keadaan orang tersebut. Langkah cepat-cepat menerobos koridor yang terbelai angin.

Dia tidak takut jika Pak Zahir menemukannya di luar kelas. Baginya, mengantarkan sebotol Kiranti adalah prioritas utama.

"Sehari aja jangan buat gue khawatir kayak gini, Cil," bisiknya.

UKS terletak di sebelah ruang guru. Sebelum mendekati tempat keberadaan Cila, dia terlebih dahulu melihat sekeliling. Berjaga-jaga karena tidak ingin ketahuan sedang keluyuran bersama sebotol Kiranti. Tidak ada guru maupun siswa di sana, dengan kecepatan kilat dia berlari dan membuka pintu kaca anti transparan itu, lantas tertutup sendiri ketika badannya sudah masuk ke dalam ruang berbau obat itu.

Gasa memperhatikan isi ruangan. Kedua netranya tidak menangkap kehadiran anggota PMR dan guru yang biasanya selalu berjaga-jaga. Dia membuang napas legah, setidaknya dia dapat memberikan Kiranti untuk Cila. Dia tahu sebotol Kiranti sangat penting bagi gadis itu untuk mengatasi nyeri haid.

Derap kakinya berhenti tepat di sebelah brankar yang tertutup tirai putih. Gasa menyibak kain itu dan melihat Cila sedang tertidur dengan keadaan dahi berkerut dalam.

"Sakit banget ya?" lirihnya sembari meletakkan botol kaca itu tepat di sebelah kepala sepupunya.

Dia memandang sendu wajah pucat gadis itu sambil menggenggam erat tangan dingin itu. "Gue ke kelas dulu, cepat sembuh."

Sejujurnya Gasa ingin tinggal di sana lebih lama, tetapi dia tidak ingin membuat Cila marah-marah karena kehadirannya, dan tidak ingin Cila tahu kalau dia yang membawa botol minuman pereda nyeri itu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro