6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mencintai seseorang yang tidak ingin dicintai. Sebagian perjalanan hidupmu memang ditakdirkan seperti itu."

Cila berjalan lesu ke arah kasur setelah menyelesaikan ritual malam di kamar mandi. Gasa dan Elon yang sedari tadi menunggu di depan pintu langsung mengekorinya. Mereka takut takut jika keseimbangannya ambruk, padahal dia sedikit lebih baikan daripada beberapa jam lalu. Dia membuang napas. Tamu bulanan memang selalu menguras tenaga.

"Lo berdua balik, gih. Gak usah nginap," suruh Cila. Dia sedang ingin sendiri.

Tak peduli, Gasa malah merabahkan diri di kasur empuk gadis itu, sementara Elon berselonjor pada lantai kamar yang dibalut karpet berbulu cokelat tua. Ingin rasanya Cila mendorong dua makhluk ini keluar dari kamar. Namun, dia cuma mendengkus, terlalu lelah menyuruh berulang kali.

"Gue gak mau disuntik lagi ...." Cila memejam, tidak tahu kenapa malah melirihkan kalimat barusan.

"Gue gak mau bilang lo harus kuat karena gue tahu lo udah kuat," ucap Gasa.

"Iya, karena gue makan Biskuat," seloroh Cila yang sukses mendapat tatapan jengah dari Gasa. Berbeda dengan Elon, cowok itu malah tertawa kencang karena keseriusan seorang Gasa dibalas kekonyolan.

Gasa mendengkus sebal, lantas mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Matanya menerawang jauh ke depan sana, menatap hampa tembok kamar. Beberapa menit lalu jantungnya bertalu-talu hingga menimbulkan efek susah tenang.

Mati-matian mengatur detakan cepat dari dalam sana, harus bertingkah seperti apa lagi agar Gasa hanya menganggap Cila sebagai sepupunya, bukan seorang gadis yang patut diberi perasaan spesial. Dia takut jika dalam waktu dekat Cila mengetahui segalanya, meskipun cewek di sebelahnya ini tidak begitu peka.

Sementara Gasa disibukkan pikiran mengenai perasaan yang harus dipangkas habis, maka Elon berusaha menahan sugesti otaknya supaya titahan alami dari dalam berhenti membujuk untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai perasaan Gasa. Elon tidak menyangka mantan santri ini masih saja seperti dulu. Terlalu setia dan pengecut sampai-sampai mulutnya selalu gatal ingin memaki Gasa. Memang tidak mudah mengakui perasaan kepada seseorang yang tidak ingin hatinya digapai seperti Cila. Rumit, sebagai sahabat dia hanya mampu menjadi tempat curhat bagi sahabatnya.

"Main Truth or Dare, yuk!" seru remaja bermata agak kecokelatan yang tadinya di atas karpet, kini naik tempat tidur, ke sebelah Gasa.

Usul Elon tak disambut antusias oleh Gasa, cowok itu justru merasa terancam. Dia menatap tajam pemuda sepantaran yang juga teman sebangkunya di kelas. Apa lagi yang Elon rencanain.

"Ayo, deh," putus Cila seraya bersandar pada kepala ranjang.

Tangan Gasa cekatan meletakkan bantal di kepala ranjang agar Cila dapat bersandar dengan nyaman. Elon yang melihat tingkah cowok itu mengulum senyum. Sungguh, dia tidak menyangka Gasa sesetia itu pada satu perempuan, dari kelas dua SMP sampai sekarang? Luar biasa.

Cila mungkin tidak merasakan apa yang dirasakan oleh sepupunya. Elon tertawa kecil. Seketika dia ditarik mundur pada sebuah percakapan semasa kelas tiga SMP, sebelum ujian nasional dilaksanakan.

"Gue yakin lo berdua gak bakalan suka sama gue, dan memang gak boleh suka sama gue." Kala itu Cila berucap sambil tertawa kecil.

Sebagai formalitas, Gasa pura-pura bergaya seperti ingin muntah. "Gue sama Elon gak mungkin suka sama lo. Cewek pecicilan kayak lo bakalan susah dapat cowok, mending jomlo sampai nikah aja."

Jika Cila cukup peka, mungkin gadis itu bisa menangkap sinyal larangan pacaran dengan cowok lain karena Gasa tidak rela.

"Pengen main gak lo? Malah bengong." Teguran dari Gasa membuat Elon kembali ke realita dan langsung semringah ketika putaran pertama dimulai dari Gasa, nantinya dilanjutkan Cila lalu dirinya.

Daftar pertanyaan dari salah satu blog sudah menunggu untuk dijawab. Gasa harus memilih antara kejujuran atau tantangan. Setelah menimbang-nimbang, truth menjadi pilihan, dan dia harus memilih nomor soal.

"Lima," ucapnya mantap.

Satu-satunya cewek di dalam kamar yang pintunya terbuka lebar itu membaca pelan pertanyaan. "Lagi suka sama seseorang?" Sontak kedua mata gadis itu berbinar, dia sangat ingin mengetahui hal ini sebab Gasa terlalu misterius soal perasaan.

Kerjapan mata cowok berkaus putih polos itu membuat Elon tergelak. Dia tahu pasti Gasa sedang gugup.

"Iya."

Jawaban terucap, membuat Cila melebarkan mulut. Seketika nyeri perutnya hilang karena mendengar kata "iya". Dia jadi semakin penasaran siapa cewek yang ditaksir Gasa.

"Gue harap lo pilih truth lagi, gue penasaran sama ceweknya," ujar Cila antusias.

"Gak usah penasaran kali, palingan juga dia sukanya sama janda," hardik Elon.

Tidak terima, Gasa menimpuk wajah cowok itu menggunakan bantal kepala. "Gue juga pilih-pilih kali."

Ekspresi takjub kembali tergambar pada wajah Cila, tidak menyangka Gasa berkata demikian padahal sebelum-sebelumnya tak pernah menyinggung masalah seperti ini.
"Gue gak mau tau, lo harus cerita sama gue pokoknya. Ternyata lo diam-diam bisa suka juga ya sama cewek," kekeh gadis itu.

"Ngapain gue cerita. Gue pikir lo benci sama gue," tolak Gasa.

"Ya itu karena lo nyebelin. Ah, terserah lo kalau gitu. Giliran gue, kan?" Cila mengalihkan pembicaraan dengan cepat, tidak ingin berdebat panjang lebar untuk ketenangan otaknya.

Permainan itu berlangsung cukup lama hingga ketika Elon mengadu telah mengantuk, mereka memilih berhenti. Elon dan Gasa beranjak dari kamar Cila menuju kamar tamu di lantai bawah. Cila menatap kepergian dua cowok itu.

"Apa jadinya kalau nanti kita semua pisah untuk cita-cita? Gasa dan Elon pasti gak bakalan selalu ada di samping gue, kan?" Cila membuang napas lelah.

Perpisahan itu pasti. Kurang dari setahun mereka semua 'kan memilih jalan hidup masing-masing. Namun, Cila belum siap menapakkan kaki ke dunia yang lebih luas. Gadis itu menggeleng cepat. Jika terus dipikir kepalanya bisa sakit. Dia meraih botol di atas nakas, hendak minum. Sayangnya air di benda itu telah habis. Dia turun dari kasur, keluar kamar menuju dapur di lantai satu.

Langkahnya memelan begitu melihat seseorang duduk di kursi makan. Wajah cowok itu tampak murung. Cila berdecak, belum pernah mendapati raut itu sebelumnya.

"Kalau ada masalah, tuh, ngomong. Jangan dipendam," sahut Cila seraya berjalan mendekati dispenser air.

Gasa terkesiap, tidak menyangka Cila ada di sini. Dia membuang napas lelah. Bagaimana mungkin dia bicara mengenai penyebab kegalauannya jika Cila lah alasan dia seperti ini? Dia memang pengecut karena tidak berani mengungkapkan perasaannya. Memang sesulit itu mengingat Cila yang tak pernah menyukai tiadakan protektifnya selama ini, ditambah statusnya sebagai saudara sepupu.

Cila duduk di kursi lain, berseberangan dengan Gasa. "Gue baru lihat muka lo kayak gitu. Kayak nahan boker," kekehnya.

Gasa memutar bola mata. "Mau coba jadi gue biar lo rasain apa yang gue rasa?" Kekesalan tampak jelas membungkus wajah cowok itu.

Gadis di depannya mengangguk. "Gue pengen sehat. Gue pengen bebas kayak lo tanpa dikhawatirin berlebihan."

Mendengar jawaban Cila membuat Gasa terenyuh. Sepertinya dia salah bilang. Buru-buru dia mengucap maaf.

"Emang lo gak senang dikhawatirin?" tanya Gasa.

Cila menangkupkan wajah, menerawang dinding dapur. "Awalnya senang, tapi lama-lama bosen. Apalagi lo yang selalu ada di sekitar gue." Gadis itu membuang napas kasar. "Gue gak benci sama lo, Sa. Tapi, bisa gak lo percaya sama gue kalau gue bakalan baik-baik aja? Gue udah biasa sama penyakit ini."

Gasa diam, tidak mau menyela. Dia membiarkan gadis itu menumpahkan segala yang membuatnya kesal setengah mati. Sudah lama juga rasanya tidak berbicara seintens ini dengan Cila.

"Mungkin kehidupan yang harus gue lalui emang kayak gini. Hidup sebagai odapi, tapi gue gak mau membatasi diri. Gue kesel setiap Mama larang ini-itu, setiap lo ada di samping gue karena takut gue kenapa-kenapa. I'm okay, Sa." Cila tersenyum sedih, menatap dalam mata Gasa.

"Bisa gak lo percaya sama gue?" pinta Cila.

Gasa menunduk, memutus tatapan mata Cila yang memohon. Dia tidak akan menjawab pertanyaan itu karena dia tidak mampu. Rasa sayangnya sudah melebihi dari sekadar saudara. Dia ingin melindungi gadis itu sebagai orang spesial yang selalu ada di hatinya.

"Lo gak mau, Sa. Gue tau," ujar Cila sedikit kecewa, lantas meninggalkan dapur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro