22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku mengakui kebodohanku bertahan sejauh ini."

Cila memasuki aula melalui pintu berbeda, dia langsung tiba di belakang panggung. Banyak sekali panitia dan siswa-siswi bersiap-siap untuk pentas berlalu lalang di ruang yang tak begitu besar itu. Sekarang, dia merasa sesak dan juga sedikit pusing. Gadis bermata agak sipit itu masih saja belum sadar bahwa darah di lututnya terus bertambah akibat luka terjatuh tadi.

"Cila! Pakaian buat penari mana?" Seorang cewek sebagai koordinator seksi acara langsung menghampiri sang bendahara OSIS. Cila jadi semakin tidak enak saat melihat raut tegang dan pusing temannya.

"Maafin gue, Fira. Bajunya ada di dalam lemari sana, ini kuncinya." Gadis itu menyodorkan kunci. Setelah diraih oleh Fira dan tak lupa tersenyum simpul, Fira itu langsung berlari ke arah lemari, sedangkan Cila membuang napas lega.

Cila segera berjalan ke samping panggung, bermaksud melihat kesiapan dari para anggota OSIS. Ruangan besar itu sudah dipenuhi oleh siswa-siswi SMA Merah Putih dan para petinggi sekolah serta guru-guru sudah mengambil tempat pada kursi yang telah disediakan khusus. Saat hendak kembali ke belakang panggung, tiba-tiba Langit meraih tangannya.

"Cil, dari mana aja? Kok, baru nongol?" sambar sang ketua, begitu lega ketika mendapati kehadirannya.

Cila meringis seraya terkekeh singkat. "Sori, gue telat bangun. Tapi persiapan penari udah aman, lengkap," ucap gadis itu meyakinkan Langit.

Cowok bertubuh tinggi itu mengangguk. "Gue takut lo kenapa-kenapa dan gak bisa hadir. Oh iya, bendahara panitia butuh lo buat bantu nanganin konsumsi." Langit membuang napas pendek.

"Aelah, kirain kenapa. Ini gue juga mau ke belakang panggung." Gadis itu melepaskan genggaman tangan Langit, bersiap berlalu dari sana.

Ketika hendak membiarkan Cila melangkah, Langit kembali menahan tangan gadis itu. Dia ingin memastikan sesuatu di bagian lutut Cila sebab melihat bercak darah di celana gadis itu.

"Kenapa?" tanya Cila, memandang Langit.

Meski ragu-ragu, cowok itu tetap bertanya. "Lutut lo berdarah?"

Cila sontak menunduk, mengecek celana bagian lutut. Detik berikutnya, gadis itu membuang napas panjang. Luka tersebut pasti dia dapatkan saat terjatuh tadi. Dia mendongak, menatap sang ketua.

Ingin rasanya berbohong, tetapi percuma sebab noda merah di celana abu-abunya tak mungkin dimanipulasi sebagai noda kecap. "Dikit doang. Udah, ya. Gue ke belakang sekarang."

"Tapi, Cil lo—"

"Gue baik-baik aja."

"Ngit, layar lebar di panggung lapangan katanya gak bisa nyala."

Cila mengembuskan napas lega, untung saja salah satu anggota menghampiri mereka berdua sehingga dia bisa kabur tanpa harus mendapatkan perhatian lebih banyak lagi dari Langit. Dia hanya tidak ingin membuat cowok itu menghabiskan tenaga karenanya, masih banyak hal lain yang perlu dipastikan menjelang pembukaan acara.

Kembali ke aktivitas, Cila mulai disibukkan dengan kotak makan siang. Sesekali gadis itu menghapus peluh di leher.

"Kotak putih itu untuk petinggi sekolah sama guru-guru. Eh, coba dihitung dulu, Nin," pinta Cila sedikit berteriak sebab suara dari panggung aula terdengar membahana. Gadis itu menggeleng berulang kali, berusaha menepis pening. Semakin lama dia semakin pusing.

Nina berteriak."Seratus lebih, Kak."

"Untuk sementara aman. Konsumsi panitia udah lo hitung?" Cila kembali memastikan, takut ada yang terlupa.

Sebenarnya dia tidak perlu sekhawatir ini mengurusi tugas seksi konsumsi, apalagi ada bendahara panitia yang bisa membantu teman-teman yang bergelut di bidang distribusi makanan. Namun, tetap saja dia tidak bisa lepas tangan. Dia takut para juniornya kesulitan akan sesuatu.

"Kak Cila lihat Zia, gak?" seorang anggota menanyakan kehadiran si bendahara panitia.

Cila menggeleng, tetapi tidak bermaksud menjawab pertanyaan adik kelasnya. Dia berusaha meredam pening. Saat membuka mata, tiba-tiba sekelilingnya berbega-bega bagaikan komedi putar. Setiap suara menggema samar di daun telinga.

Seketika dia tersadar akan kebodohannya. Dia sudah tahu lututnya berdarah, ruam-ruam keunguan pun sudah terlihat beberapa menit lalu, tetapi dia abai tidak segera meminum obat yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi.

Tidak sempat meraih obat di dalam tas, Cila langsung tergolek lemas sehingga pekikan dari para anggota menggema di dalam ruangan. Mereka kompak mengerubungi Cila, bertanya-tanya dalam balutan kekhawatiran. Semua anggota OSIS tahu bahwa bendahara mereka memiliki penyakit yang tidak bisa dianggap remeh. Maka pada saat mendapati bercak darah di celana olahraga gadis itu, semua semakin dirundung ketakutan.

"Rara, coba cari pertolongan dari anggota cowok. Kak Cila harus ke UKS sekarang!" perintah Nina, masih setia memangku kepala sang senior.

***

"Gue gak percaya nafsu makan lo nambah," celetuk Gasa saat melihat Elon lagi-lagi memesan semangkuk batagor padahal mereka berdua baru saja menghabiskan sebungkus nasi kuning di bawah pohon ketapang seraya mengamati lapangan sekolah.

Elon tidak menanggapi. Cowok itu tetap fokus pada satu titik, melihat bagaimana mahirnya Mas Batagor, yang kini pindah lapak dari dalam kantin ke tenda lapangan, meracik bumbu yang kemudian ditumpahkan ke dalam mangkuk berisi tahu yang telah dipotong kecil-kecil.

"Adek yang satu gak pengen?" Si Mas bertanya kepada Gasa.

Gasa menggeleng singkat lalu beranjak ke bawah pohon lagi. Terlalu panas di lapangan meskipun banyak lapak berjejer di sana. Kehadiran ribuan orang sungguh membuatnya tak bisa menikmati hari di sekolah.

"Cila apa kabar, ya? Salah gue bangun jam sembilan jadi gak bisa jemput," celetuk Gasa.

"Sa, kalau lo masih kesal kenapa lo mau aja deket gue terus?" Elon berujar santai.

Gasa berdecak. "Gak tau. Udah terbiasa sama lo. Sekalipun gue marah, gue gak bakalan bisa terlalu cuek sama lo."

Elon tergelak. Dia tahu fakta itu. "Maaf, ya, Sa. Gue nyesel pernah ngo—"

"Gak usah dibahas kalau lo pengen gue gak jengkel lagi," cegah Gasa. Dia paling malas mengungkit-ngungkit kesalahan yang telah lalu. Baginya, yang lalu biarlah terlewati.

Elon tersenyum singkat. "Serius gak mau? Enak, lho, batagornya." Elon ikut duduk di sebelah Gasa yang tengah menyelonjor sembari mengipasi wajah menggunakan tangan.

"Gak. Udah kenyang."

"Kenyang makan hati?"

Gasa mendengkus sambil memelintir leher sahabatnya. "Rasain. Biar mati kesedak!"

Cowok yang tadinya asyik mengunyah itu sigap memukul-mukul lengan Gasa di lehere. "Eh, le-lepas!"

"Gak!" Hampir satu menit dia memelintir leher Elon, tetapi tindakannya terhenti saat melihat beberapa anggota PMR membawa tandu dengan seseorang di atasnya. Dia tentu dapat melihat jelas lalu lalang anggota PMR itu sebab posisi duduknya menghadap koridor kelas.

Keempat pria dan tiga panitia OSIS semakin menjauh, saat itu dia melihat jam tangan yang dikenakan oleh orang yang ditandu.

"Cila!" pekiknya, lantas berlari meninggalkan Elon sendirian yang terkejut bukan main.

Saat tiba di sana, orang yang sudah tidak berkepentingan keluar dari UKS. Gasa langsung merangsek masuk. Jam dinding menggema memenuhi ruang berbau obat yang tak begitu luas ini sehingga keadaan tidak begitu sunyi meski ada dua kehadiran cowok dan seorang gadis—anggota PMR—yang berjaga sekarang. Gasa meneliti luka di lutut Cila. Memang tidak parah, tetapi terus memunculkan titik-titik darah.

Cila pasti kekurangan darah lagi. Dia meneliti ruam di sekitar tangan gadis itu. Tidak salah, gadis ini perlu meminum obatnya. Mengingat obat, cowok itu buru-buru mengecek ransel sepupunya.

Dia harus memberikan obat itu langsung jika si pasien telah sadar. Setelah mengutak-atik tas hitam di pangkuan, akhirnya dia mendapatkan sebotol obat yang selalu Cila bawa.

"Cila harus minum obat ini," gumamnya.

Elon yang awalnya membaringkan kepala di pinggiran kasur sontak mendongak, meneliti benda di genggam sang sahabat.

"Apa, tuh?" Mulanya dia tidak ingin bertanya, tetapi ketika melihat obat di tangan Gasa, dia cepat mengerti. "Lo mau kasih obatnya? Cila lagi pingsan, lho." Elon membelalak.

"Tablet ini bisa diremuk, kan? Ada sendok gak?" Gasa bertanya pada anggota PMR.

"Ada, tunggu gue ambilin." Gadis berompi merah itu segera berlalu dan kembali dengan dua sendok di tangan. "Ini."

"Makasih," ucapnya seraya meraih benda itu.

"Eung, kepala gue ...," lirih Cila. Gadis itu masih terpejam.

Gasa yang tadinya sibuk meremukkan tablet obat menggunakan sendok, sigap mendekati Cila. "Cila," gumamnya khawatir. "Ini sebabnya gue protektif, Cil. Ini sebabnya gue gak pernah izinin orang lain jagain lo," lirihnya, masih sibuk menghaluskan obat.

Elon mengerti bagaimana takutnya seorang Gasa. Dia dapat melihat getar sedih di mata cowok itu. Sebegitu sayangnya dia kepada sang sepupu? Padahal orang yang dia sayangi tak menganggapnya lebih. Bagi Cila, Gasa adalah seorang saudara, kakak, dan sahabat. Dia tidak habis pikir Gasa bisa setegar ini untuk tetap menaruh hati meski tidak akan pernah mendapat balasan setimpal.

"Andai lo bisa sekhawatir ini sama orang lain, bukan Cila." Entah mengapa Elon malah berceletuk seperti itu.

Gasa mendengkus seraya berusaha memasukkan obat yang telah dicampur air ke dalam mulut Cila. "Gak sekarang. Gue pengen dia sama orang yang betul-betul bisa jagain dia baru gue lepasin."

Elon terkekeh. "Kalau sampai tiga tahun ke depan dia baru dapat orang itu, gimana? Lo pengen makan hati mulu?"

"Ya ... bodo amat. Gue gak perlu khawatir soal masa depan, gue cuma perlu jalanin aja semuanya sesuai hukum alam," balas Gasa sambil meletakkan sendok di atas meja kecil tak jauh dari tempatnya setelah berhasil memasukkan obat itu ke mulut Cila.

Cowok berambut cokelat terang itu mengangguk samar. Dia tidak menampik perkataan Gasa, juga tak ingin melayangkan saran untuk menjauh secara perlahan. Sahabatnya lebih tahu apa yang mesti dilakukan untuk kebaikannya sendiri. Dia hanya perlu mendukung, sesekali memberi arahan jika saja Gasa menjerumuskan diri ke lubang yang tak semestinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro