23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Doamu adalah tak melihatku lagi. Hari ini, aku rela doamu terkabul."

Cukup lama memejam, akhirnya gadis bermata agak sipit itu mengerjap hingga membuat Aritma, Langit, Gasa, dan Elon kompak menatap ke satu titik.
Aritma yang awalnya membisu, kini bersuara pelan sembari memberingsut mendekati pasien.

"Cila sadar." Gadis berambut panjang itu memegang pundak sahabatnya.

Gasa tak tinggal diam, dia menatap wajah sayu nan pucat milik sang sepupu. Dia sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengomeli kecerobohan gadis itu. Namun, tindakannya terinterupsi ketika Langit lebih dulu memecah hening.

"Kenapa lo gak ngutamain kesehatan, sih," omel cowok bermata legam tersebut seraya mengenggam erat tangan Cila. Bahkan dia menggeser posisi Elon agar semakin dekat dengan si bendahara OSIS.

Cila meringis. Sebelumnya dia yakin bahwa kondisinya akan baik-baik saja tanpa meminum obat. Akan tetapi, dugaannya salah. Dia malah mengutamakan pekerjaan dibanding kesehatan dan jadilah dia di sini. Cila tahu apa yang dia prioritaskan seharusnya bisa dikesampingkan, tetapi dia sudah terbiasa mengutamakan pekerjaan.

Gasa merasakan udara sekitar memanas hanya karena tindakan berbalut kekhawatiran itu. Dia tidak ingin marah, tidak mau memuntahkan emosi yang sama seperti malam saat pertengkarannya dengan Elon terjadi. Ketakutan Cila 'kan menjauh selalu menghantui jika saja dia berani meletakkan kemarahan di atas segala-galanya.

Dengan berat hati, Gasa hanya bisa menunduk, berusaha menyamarkan apa yang dia rasakan sebelum kembali menatap wajah sepupunya. Di depan cowok itu, Elon tersenyum miris. Elon selalu mengumpati Gasa karena menyukai Cila, tetapi seiring berjalannya waktu dia semakin paham bahwa cinta memang tak pernah terkira.

"Gue pamit, ya. Cil, jangan ceroboh lagi." Elon bangkit lalu berpamitan. Dia tidak ingin berlama-lama di sini dan menikmati tetesan perih tak terlihat dari manusia di depannya. Lebih baik berlalu daripada menunggu Gasa bangkit lebih dulu.

"Lon, pengen pulang?" Itu suara Cila, menginterupsi pergerakan sahabatnya.

Elon mengangguk singkat dan membuat Cila tersenyum lebar. "Gue ikut, boleh?"

Gasa menatap Cila dengan tatapan bingung. Dia lantas mengerti sebab kedua manusia ini bertetangga. Cila tentu saja tidak ingin merepotkannya, apalagi Langit dan Aritma.

"Lo pengen pulang? Biar gue anterin aja," tawar Langit.

"Makasih, gak usah, Ngit. Gue sama Elon, kan, dekatan rumah. Jadi, gak ngerepotin," tolak gadis itu sehalus mungkin.

Elon terkekeh. "Kata siapa lo gak ngerepotin. Lo tetap aja ngerepotin gue dengan berat badan lo."

Cila refleks mendengkus. Ingin rasanya mendebat, tetapi dia sedang tidak berselera. "Ya udah, pergi sana."

Bukannya meminta maaf, Elon malah mengendikkan bahu seraya tertawa kecil. Barulah dia beranjak setelah melirik Gasa sekilas. Lo bego kalau gak ngajakin dia ke rumah sakit buat berobat, Sa.

Tanpa sadar Gasa membuang napas pendek. Harus memulai dari mana menawarkan diri jika Langit bersikeras mengantar Cila pulang. Dia tidak ingin membuat Cila kesal karena tindakan agresif dan protektif lagi.

Dering ponsel dari saku celana Langit menginterupsi lontaran penolakan dari bibir Cila. Gadis itu menelan ludah pelan-pelan, dia tidak ingin merepotkan Langit. Dia tahu bagaimana sibuknya si ketua OSIS, harus memastikan seluruh kegiatan berjalan dengan lancar, dan dia malah terbaring karena kecerobohannya. Langit memang selalu mengkhawatirkan tiap anggotanya, tak salah jika banyak yang menyukai cowok itu.

Terlihat Langit mengerutkan kening, lalu menjawab telepon dari salah satu panitia. Cila dan Gasa menatap Langit, berharap cowok itu mendapat panggilan penting dan segera pergi dari sini, sedangkan Aritma hanya mengamati sang ketua dalam diam.

"Harus banget sekarang?" Suara serak Langit terdengar jengkel. Entah ada kejadian apa lagi sekarang. "Ya udah, gue ke sana." Sambungan terputus, dia menatap Cila dengan tatapan tidak enak.

"Gue pergi, ya. Ada kendala teknis di aula. Lo cepat sembuh, kalau besok gak bisa hadir, gak papa. Ada wakil lo, kan, sama bendahara panitia yang siap sedia," jelas cowok itu, kemudian segera keluar dari UKS setelah berpamitan kepada tiga orang di sana.

Selepas kepergian Langit, Aritma mencubit pelan pipi sahabatnya. Sedari pagi dia tidak melihat kehadiran Cila, dan sekarang bertemu dengan gadis itu di UKS. Pantas saja Gasa tidak pernah menginginkan Cila dijaga oleh siapa pun. Kekhawatiran cowok itu sungguh beralasan.

"Tadi pagi gue cariin gak ketemu, pas ketemu malah di UKS. Kenapa nggak pernah hati-hati, sih, Cil?" Aritma menatap jemgkel sahabatnya.

Cila terkekeh, dia sadar betul bagaimana khawatirnya Aritma. Namun, semua terjadi begitu saja dan murni kesalahannya. Andai saja malam itu dis tidak kebablasan menonton drama Korea, dia tidak akan berada di sini sekarang.

"Pengen balik, gak?" tanya Gasa, menyela perbincangan antara Cila dan Aritma.

Cila mengerjap pelan. Entah harus meminta tolong Gasa agar mengantarnya pulang sekarang atau tinggal di sini lebih lama. Kalau pulang cepat, dia akan ditanya macam-macam oleh ibunya dan dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, di satu sisi, dia tidak ingin berlama-lama di sini, beraktivitas di sekolah pun rasanya sulit sebab tubuhnya masih lemas.

"Lebih baik lo pulang, Cil," saran Aritma.

"Tapi gue takut nyokap gue khawatir berlebihan," jujurnya.

"Ya salah lo juga, sih," balas gadis berambut panjang itu dan Cila mengangguk mengiakan.

"Udah, ikut bareng gue sekarang," ajak Gasa.

Cila menautkan alis. "Ke mana?"

"Nanti lo juga tahu."

Setelah berpamitan dengan Aritma, mereka berdua berlalu. Tak butuh waktu lama, dua remaja itu keluar area sekolah menuju halte. Tindakan Gasa membuat gadis berwajah pucat itu bertanya-tanya, tetapi dia tak urung melayangkan pertanyaan.

"Sini, Cil." Gasa menarik tangan sepupunya agar merapatkan diri ke halte, tidak berdiri di pinggir jalan.

"Kita ngapain di sini? Lo gak bawa motor?" Pupus sudah keinginannya agar tidak bertanya.

Cowok berseragam batik SMA Perhap itu menggaruk tengkuk. "Gue bawa, tapi pengen pesan taksi daring. Gue takut lo jatuh diperjalanan," kekehnya hingga membuat wajah Cila berubah kesal.

Cila menggeleng pelan, dalam hati merasakan kesedihan. Seharusnya Gasa tidak bertindak sebegitu perhatiannya, bukan? Dia tahu betul bahwa tidak ada sepupu laki-laki yang akan bertindak seperti Gasa, memperlakukannya bagaikan seorang pacar.

Melihat sang sepupu mengkhayal, Gasa menyenggol pelan bahu gadis itu. Dia berbisik, "Jangan mikir macam-macam." Gasa tersenyum manis saat menatap wajah Cila. "Izinin gue lakuin ini karena semata peduli sama lo sebagai keluarga. Lo sakit, masa gue gak beri pelayanan VIP."

Bukan itu yang ingin cowok berumur delapan belas tahun tersebut ingin katakan. Meskipun perkataannya tadi tak sepenuhnya bualan, jauh di dalam hati dia memang tidak bisa membiarkan Cila duduk bersamanya di atas motor dalam keadaan demikian. Dia takut dan ini tidak wajar. Bagaimana menepis rasa yang tak seharusnya ada?

Gue bisa lepasin lo ... suatu saat nanti. Atau kasih gue waktu sampai kita pilih jalur kuliah masing-masing. Saat itu gue gak akan penuhi hari-hari lo lagi.

Tentu saja dia tidak mengatakannya secara langsung. Gasa tidak pernah bisa meninggalkan Cila meski sebelumnya mereka sempat terpisah selama dua tahun. Akan tetapi, Gasa tetap diselimuti kekhawatiran mengenai kondisi sang sepupu, selalu merindukan gadis itu, bahkan kesal sendiri jika saja Cila memiliki pacar.

Semua orang boleh beranggapan dia bodoh sampai suatu hari nanti mereka akan paham bagaimana menjadi dirinya. Sekuat tenaga menepis rasa, tetapi nahas, benih cinta tetap saja bertumbuh subur meski dipupuk taburan sakit hati.

Gue belajar biar lepas dari semua ini. Tapi, lo terlalu candu buat gue.

Di sisi lain, Cila menatap sendu sepupunya. Ini aneh. Mau sekuat apa pun usahanya, mungkin dia tidak bisa menaruh perasaan lebih. Dia menyukai Gasa sebagai keluarga, sebagai kakak dan sahabatnya.

"Maaf ... maaf karen hadir di hidup lo sebagai keluarga, Sa." Cila mungkin tidak tahu betul seperti apa perih yang Gasa rawat selama ini. Satu hal yang pasti, dia tetap merasa bersalah karena tidak membalas perasaan sang sepupu.

Dia tahu perasaan Gasa tidaklah salah, hanya saja dia tidak mau memiliki hubungan lebih dengan sepupunya, cukup sebatas keluarga seperti sekarang, tidak ada hubungan layaknya pasangan. Fia tidak mau di kemudian hari terjadi hal yang tak pernah diinginkan.

Gasa tertawa sumbang. "Kenapa lo minta maaf? Lo gak salah apa-apa. Gak ada yang salah. Gue bersyukur kita terlahir sebagai keluarga." Dia tersenyum manis walau sebenarnya meringis. Inilah takdir untuknya, dia tidak mungkin memaksa kehendak. Tak boleh egois. Tuhan maha baik, mungkin Cila akan mendapatkan yang lebih baik daripada dirinya. Dia akan berbahagia untuk itu.

"Udah, ah. Gue udah pesan taksi daring menuju rumah sakit. Eits, lo gak boleh nolak. Soal mama lo, biar gue yang urus."

"Sa, gue gak pengen ke RS. Gue baik-baik aja."

"Lo butuh diperiksa. Muka lo pucat, tuh." Gasa menepuk sekilas pundak Cila. "Nurut aja. Gue gak akan paksa lo ke RS lagi setelah ini. Gue ke dalam dulu, pengen ngambil motor."

Belum sempat menahan langkah cowok itu, Gasa sudah turun dari pijakan halte dan berjalan menjauh seraya memainkan ponsel. Semenit semua baik-baik saja, tetapi ketika mata cokelatnya melihat mobil melaju kencang tanpa terkendali, gadis itu sudah tidak tenang.

Gasa tidak menyadari hal itu, sedangkan Cila tak mampu berteriak, maka dia memilih berlari sekuat tenaga agar bisa mencapai posisi Gasa.

Brak!

Cila pernah meminta kepada Tuhan agar dapat menemukan kehidupan sebebas anak-anak lain, tetapi detik ini ....

"Tuhan, doaku gak muluk-muluk. Gue cuma pengen dia hilang di setiap hela napas ini."

Cila menyesal pernah berkata seperti itu. Dia ingin menarik ucapannya sekarang. Dia tidak mau hal buruk di depan matanya justru benar-benar membuat Gasa pergi.

Telinga berdengung hebat, netra mengabur karena air mata. Cila melangkah pelan, berusaha sekuat tenaga agar tidak kembali terjatuh. Namun, semakin melihat senyum Gasa, semakin menariknya ke dalam kesedihan hingga tak mampu berjalan dan berakhir duduk di atas aspal.

Dia membisu, tangannya mengepal kuat. Dari tempatnya, dia dapat menyaksikan iris kelam cowok itu sudah tak terlihat, kelopak matanya merapat. Sadar bahwa Gasa tak sadarkan diri, gadis itu kembali bangkit, berusaha mendekati sang sepupu.

"Bukan menjauh kayak gini yang gue mau, Sa ...," lirihnya.

Kehidupan yang dia cari adalah sebuah kebebasan tanpa perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Dia baik-baik saja, tetapi tak pernah baik-baik jika melihat sepupunya tak berdaya di depan matanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro