24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Inilah kehidupan yang kamu pinta. Tanpa aku yang mengkhawatirkanmu."

Cila terlambat, jelas dia tidak akan mampu meraih posisi Gasa. Sekarang cowok itu terpental di hadapannya. Dia menutup mulut, tak mampu berteriak. Kakinya bergetar hebat hingga lututnya kembali bersinggungan dengan panasnya aspal. Kucuran darah tak dia pedulikan. Kondisi Gasa jauh mengenaskan. Sepupunya terkulai lemah di depan mobil yang sama sekali tak beranjak setelah menabrak korban. Begitu cepat kerumunan orang berdatangan, mengerubungi wajah penuh darah itu.

Cila masih melihat Gasa menatapnya sambil tersenyum kecil. Mulut cowok itu mengeluarkan darah. Dia tidak sanggup menatap lebih lama, tetapi dorongan dari dalam seakan melarangnya memejam. Alhasil, dia hanya mampu menatap Gasa yang tengah berjuang melawan maut.

Isakan Cila semakin keras ketika pandangannya sudah terhalangi oleh banyaknya kerumunan orang. Susah payah gadis berwajah pucat itu bangkit, tetapi gravitasi seolah menariknya kembali terduduk. Dia kembali tersungkur bersama derai air mata yang tak pernah berhenti membasahi aspal.

"Gasa, gue jatuh. Gue butuh lo sekarang," lirihnya seraya menatap orang-orang yang menyemut di sekitar mobil yang menabrak. Untuk saat ini, telinganya tak mampu menangkap ingar-bingar kendaraan maupun suara orang-orang sekitar. Dia terlalu fokus menyesap perih demi perih yang datang bertubi-tubi dari arah mana saja.

Mata sayu gadis itu menatap ke depan. Lautan manusia mengerubungi Gasa. Manusia dari SMA Merah Putih turut bergabung di sana beberapa menit kemudian. Suara mereka menggema di telinga Cila. Dia menarik rambut kuat-kuat menggunakan kedua tangannya seraya berteriak. Meskipun seperti itu, tak akan ada yang peduli padanya.

"Sa ...." Setelah melirihkan penggalan nama sepupunya, sirine ambulans terdengar. Saat itu juga Cila kehilangan kesadaran.

***

Kedua manusia berumur itu langsung menoleh ke sumber suara. Dua pasang mata seketika berbinar, tetapi berselaput air mata. Ada haru dan sedih bercampur di sana. Di satu sisi, seorang anak manusia tak tahu apa-apa.

Fina sigap mengenggam erat tangan sang anak, sedangkan Agra mengusap lembut surai si pasien. Kini sepasang suami-istri itu seolah kehilangan memori mengenai arti ketabahan saat melihat wajah sayu Cila. Berkata jujur pun seakan membutuhkan tata cara untuk mengungkapkan yang sebenarnya.

"Sayang, kamu udah bangun. Mama ... Mama senang banget." Fina mencium punggung tangan Cila dan menangis sesenggukan tanpa bisa ditahan.

Ketika gadis bermata agak sipit itu merasakan tangannya basah, dia kontan mengernyit. Apakah bahagia bisa membuat orang sesegukan? Seketika memori yang sempat hilang beberapa jam lalu melintas di otak. Dorongan untuk bertanya seketika menggebu-gebu. Saat hendak bergerak, kepalanya pening, telinga berdengung, dan tersadar suhu tubuhnya terlalu tinggi. Tak peduli, dia tetap menegakkan posisi duduknya.

"Ma, Pa, Gasa mana? Gasa baik-baik aja, kan?" Dia mengernyit ketika pening merambat di area kepala dan jidat. Rasanya seperti tertimpa benda-benda keras, sangat berat.

"Cila." Agra merangkul bahu anaknya dan segera menyandarkan punggung Cila di kepala ranjang.

Melinat kondisi Cila, Fina masih bungkam, bahkan telah melepaskan tangan anaknya. Mungkin sikapnya sudah sangat jelas bahwa ada yang tak beres. Seharusnya Cila bisa dengan cepat mengetahui suasana dan kondisi, apalagi kejadian tadi siang terjadi di depan matanya.

Cila menghapus cairan bening yang tiba-tiba menetes tanpa tahu apa pemicunya. Dia tertawa pelan seraya menutup mulut, diam-diam kembali menangis.

"Bilang kalau Gasa baik-baik aja! Dia dirawat di mana? Cila mau ketemu sekarang." Dia merengek bagaikan anak kecil, kedua tangannya sudah bergelayut di lengan sang papa, memohon agar permintaannya segera dikabulkan.

Agra menengadah, berusaha mencegah air matanya menetes. Perlahan dia mendekap tubuh anaknya, berusaha memberi ketenangan. Bagaimanapun juga, kesehatan Cila harus diutamakan. Dia tentu tidak menginginkan anaknya kembali tak sadarkan diri.

"Papa pengen tanya sama Cila, boleh?" Agra memulai pembicaraan dengan sebuah permintaan. Berusaha berbicara selembut mungkin agar bisa menyentuh hati Cila.

Gadis itu mengangguk pelan meski tidak melihat wajah papanya. Saat mata mereka berdua bertemu, barulah dia dapat melihat wajah tenang Agra. Kedua tangan laki-laki paruh baya itu mengenggam erat kedua tangannya.

"Menurut pemahaman anak Papa, apa tujuan manusia hidup?"

Cila mengerutkan kening, berusaha menerka ke mana arah pembicaraan 'kan mengalir. Meskipun awalnya sudah menduga-duga, dia tetap meladeni papanya.

"Beribadah kepada Tuhan," jawab gadis itu tanpa ekspresi sama sekali.

Agra tersenyum kecil. "Kamu benar. Sejauh ini, penglihatan kamu ke Gasa, dia rajin ibadah, tidak?"

Sudah cukup, dia sudah tahu. Dugaannya kali ini tak mungkin salah. Air matanya kembali merembes deras. Dia meremas tangan Agra kuat-kuat, ditatapnya ubin dengan pandangan nanar. Hatinya semakin hancur berkeping-keping meskipun belum mendengar kenyataan pahit itu secara langsung.

"Gasa anak baik, kok. Dia penurut sama orang tua, rajin ibadah. Tapi ... tapi Gasa udah gak ada, kan?"

Fina menutup mulut, semakin terisak ketika melihat anaknya begitu terpukul, sedangkan Agra kembali memeluk Cila, menepuk-nepuk pundak sang anak, membiarkan puterinya menangis di punggungnya.

"Kamu yang sabar, ya. Ayah tahu perasaan kamu, tapi kami mohon jangan memaksakan diri sampai kondisi kamu drop. Kami berdua akan jauh lebih kehilangan kalau gak ada kamu, Sayang."

Cila berteriak histeris. "Pa, Ma, kenapa Gasa pergi. Ci-Cila pengen ketemu sama Gasa sekarang, aku mohon." Cila meraup kuat jas kantor yang dikenakan papanya, menyalurkan segala emosi di sana.

"Kita pergi setelah demammu turun," timpal Agra.

"Gak! Cila pengen lihat Gasa sekarang. I-izinin Cila untuk te-terakhir kalinya, Pa." Hancur sudah, pertahanannya benar-benar terlibas habis, mengalir jauh bersama sisa-sisa energi yang dia punya.

Gue pengen minta maaf, minta maaf untuk segala tindakan gue, Sa. Gue pengen berterima kasih atas segala pengorbanan lo. Sa, please, jangan pergi. Gue pengen lo tetap di sini, jadi kakak gue. Gasa!

Gadis itu hanya mampu menjerit dalam hati. Tak ada energi lagi yang mampu dia gunakan untuk meratapi nasib, sampai dia kembali tak sadarkan diri.

***
Langit tak mengizinkan sinar menatari menyengat bumi hari ini. Awan hitam turut bekerja sama menggusur bentang biru di atas sana. Kelabu semakin menggumul tanpa bisa dicekal oleh penduduk bumi mana pun.

Cila menatap gerbang pemakaman di hadapannya, berdiri mematung seraya menikmati rintihan pilu di dalam hati. Dia baru merasakan sesak seperti ini, dadanya seakan diremas tanpa ampun, begitu sakit sehingga hanya bisa memukul dadanya berulang kali sambil terisak.

Kejadian tiga hari silam seakan mimpi baginya. Namun, saat terbangun dan menanyakan keberadaan cowok itu, jawaban menyesakkan dada kembali terulang, meremukkan keceriaan yang selalu dia tunjukkan pada semesta meski dia tak selamanya bahagia.

Gadis itu memandang langit kelam. Hari ini dia baru berani mengunjungi makam sepupunya. Dia harus tabah, jika tidak, dia tak 'kan mampu menghampiri peristirahatan terakhir Gasa. Perlahan embusan napas sebagai bentuk ketegaran keluar dari mulutnya, tetapi bagaimanapun juga tak ada ikhlas secepat itu. Air mata sama sekali tak terbendung, sekuat apapun Cila berjuang untuk itu, tetap saja hasilnya sama.

"Cil, gue tau lo kuat." Elon yang menemani Cila ke pemakaman, meskipun hanya mengantar gadis itu sampai ke kubur sang sahabat. Cila hanya ingin sendiri di sana. Dia yakin sahabatnya ingin melampiaskan kesedihan. Kehilangan sosok terdekat tak akan bisa mengembalikan semangatnya secepat kilat.

Kedua tangan gadis berbaju hitam lengan panjang itu meremas kuat-kuat kantong berisi bunga tabur. Dia merasakan kakinya sulit melangkah, masih tidak percaya seutuhnya.

"Tunjukin gue kuburnya, Lon," pinta gadis itu seperti berbisik.

Elon mengangguk singkat, meraih tangan Cila dan mengenggamnya erat. Dia menuntun langkah sang sahabat ke gundukan tanah merah yang masih baru. Saat melihat pemandangan itu, Cila memperlambat langkah, menatap nanar kubur sepupunya.

"Lon, gue gak percaya Gasa udah gak ada," isak Cila seraya meremas kuat tangan Elon. Dia menunduk dalam, hatinya tidak sanggup melihat semua ini.

Sadar kondisi Cila jauh dari kata baik-baik saja, cowok berjaket denim itu mendongak, berusaha menahan agar tak menangis. Dia tersiksa melihat sahabatnya serapuh ini. Dia bahkan tidak siap menghadapi kematian Gasa. Akan tetapi, takdir memang kadang semengejutkan itu. Tak ada yang mampu menduga.

Elon mendekap tubuh Cila, berusaha menenangkan gadis itu meksi dia tahu usahanya tidak akan berhasil. Tak ada yang mampu menghibur hati yang telah patah karena kehilangan orang terkasih, waktu pun membutuhkan beribu-ribu hari untuk menimbun segala memori dan tentunya tanpa melupakan segalanya.

"Sabar, ya. Kita semua kehilangan Gasa. Ini yang terbaik, Cil. Gue yakin lo bisa tabah." Elon memegang kedua pundak sahabatnya. "Samperin Gasa, gih, dia udah nungguin lo kali. Jangan biarin dia menunggu selama itu." ujarnya pelan, seakan berusaha menyampaikan maksud lain.

Cila semakin menangis saat mendengar penuturan Elon. Ya, dia membuat Gasa menunggu perasaannya berbalas, tetapi dia dengan lantang menolak semua itu. Dia tertawa sedih seraya berjalan mendekati makam baru di hadapannya. Langkah demi langkah terayun begitu lemah, biarlah, semua memang terasa melelahkan.

Ketika Cila sudah mengambil posisi di samping makam, Elon beranjak menjauh, memberikan privasi untuk sahabatnya yang kini berbeda alam.

"Sa ... gue di sini," lirih gadis itu. Matanya terlihat semakin sayu tanpa binar, bibirnya sangat pucat. "Kenapa lo pergi sekarang ? Lo harusnya bertahan dan lindungin gue." Cila memeluk papan bertuliskan nama Dagasa.

"Kalau ini emang doa lo, pergi karena gue gak pernah peduli tentang lo, maaf. Gue emang seberengsek itu. Harusnya gue gak nyusahin orang, karena apa? Orang itu yang jadi korbannya, sama kayak lo, Sa."

Cila membuang napas berat. Dia mendongak, melerai air matanya luruh. "Maaf. Terima kasih udah melengkapi kehidupan gue. Sekarang ... sekarang gak bakalan ada orang protektif kayak mama gue. Cuma lo, Sa." Dia tersenyum lebar, mati-matian menahan tangis. "Istrirahat yang tenang."

*END*

Jangan lupa baca epilog, ada kejutan di sana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro