4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Doaku terlalu labil. Terkadang meminta Tuhan agar kamu menetap di hati, terkadang meminta agar kamu tergantikan oleh yang lain."

Ruangan tak terlalu besar bercat abu-abu putih, terletak paling pinggir dari jajaran ruang ekstrakurikuler lainnya itu disesaki oleh para anggota dan pengurus harian OSIS. Sekitar setengah jam berlalu, mereka masih memperdebatkan masalah tema yang akan digunakan untuk merayakan hari ulang tahun SMA MP.

Langit sebagai ketua organisasi tidak ingin asal-asalan dalam memilah tema, cowok itu ingin sesuatu berbeda daripada yang telah lalu. Tahun sebelumnya perayaan ulang tahun kebanyakan diisi acara seni. Maka dari itu, dia berinisiatif memasukkan unsur akademik kali ini.

"Bagaimana kalau kita ngadain Golden High School? Nanti setiap jurusan, kita pilih-pilih pelajaran apa aja yang dimasukin dalam daftar perlombaan. Setiap sekolah hanya bisa mengutus satu delegasi dari tiap mata pelajaran, dan jumlah sekolah yang boleh ikut terbatas, kita gunakan sistem siapa cepat dia dapat."

Seluruh pasang mata mengerjap-ngerjap, memikirkan usulan dari ketua. Walaupun kebanyakan dari mereka akan menyetujui tanpa capek-capek menolak usulan tersebut. Hal serupa juga berlaku bagi seorang gadis yang kini tampak mengantuk, sedari tadi menguap dan hampir menjatuhkan tubuh di lantai jika saja kesadarannya tak segera membaik.

Sebagai bendahara, Cila tidaklah terlalu sibuk di awal harus mengurus ini dan itu. Nanti setelah acara selesai barulah urusan nota pembelanjaan membuatnya frustrasi bukan main.

"Kayaknya tema nomor satu lebih cocok." usul salah satu anggota.

Si Ketua tampak berpikir, satu jari telunjuk menekan-nekan dagunya. Remaja kelahiran bulan Maret itu beralih menatap forum meski kedua netra tak fokus pada setiap kepala yang berada di sana. Merasa membuang waktu, Cila berdecak jengkel. Dia sudah mengantuk, perutnya sakit, dan tubuhnya membutuhkan istirahat.

"Lan, terima aja tema nomor satu. Itu udah sesuai sama list kegiatan kita," jelas Cila, mendapat anggukan hampir seluruh anggota.

"Ya udah, kita pilih nomor satu aja kalau gitu," putus Langit.

Ringisan demi ringisan keluar dari bibir pucat Cila. Kedua tangan gadis itu sedari sudah memegang perut, berharap gejolak dari dalam sana bisa teratasi, tetapi tetap saja tidak akan ada perubahan berarti tanpa sebuah pengobatan untuk meredakan nyeri.

Rapat masih berlangsung beberapa menit, sampai ketika Riri, selaku sekretaris, menutup pertemuan siang itu dengan salam. Cila membuka mata yang tadinya sempat memejam. Dia berusaha bangkit meski sakit di bagian perut mulai menyiksa.

Gadis itu bertumpu pada meja di dekat pintu keluar, membiarkan anggota OSIS lainnya berlalu lebih dulu. Setelah desak-desakan mulai surut, dia tertatih mendekati sepatunya dan meraih alas kaki itu, lantas duduk di kursi panjang, tepat di depan ruangan.

"Lho, gue kira lo udah balik, masih di sini ternyata." Langit sedikit terkejut ketika keluar dari ruang OSIS masih mendapati si Bendahara termenung, sementara yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing.

Tak ada jawaban, hanya senyum tipis terkesan menahan sakit yang mampu gadis itu perlihatkan pada si Ketua OSIS. Kendati demikian, Langit mengerti arti tatapan itu.

"Sakit?"

Sebagai jawaban Cila mengangguk pelan. Perlahan keringat dingin mengucur dari dahi, rasa sakit di dalam sana semakin membuat pertahanan tubuh terkuras. Penyebabnya bukan hanya lapar, ini juga tanda-tanda tamu bulanan akan segera datang. Jika sudah seperti ini dia cuma butuh kamar untuk membaringkan diri.

"Gue anterin pulang kalau gitu," putus Langit.

"Gak usah, gue nungguin Aritma. Tas gue ada di dia," tolaknya halus sambil sesekali meringis.

"Ya udah, gue temenin lo di sini kalau gitu. Ngomong-ngomong lo udah makan atau belum?"

Cila lagi-lagi menggeleng, dia tidak sempat ikut makan di kantin saat istirahat tadi, semua karena tugas dari guru geografinya belum dikerjakan. Jadilah dia mengerjakan tugas ala kecepatan motor Rossi, tidak peduli tulisan tangannya bak cakar ayam.

"Pengen mati?" Jika cowok mancung yang sudah duduk di sebelahnya ini berkata sinis seperti tadi, itu tandanya Langit sedang khawatir.

"Belum saatnya ... mungkin," bisik Cila, sudah tidak tahan lagi.

Cila hendak protes ketika Langit bersikeras mengantar. Dia terkejut ketika seseorang menghampiri mereka berdua. Cowok itu menatap Langit, sedikit tidak suka. Andai Cila dalam keadaan sehat, dia sudah pasti akan mencolok mata Gasa agar tidak melayangkan tatapan konyol kepada Langit.

Karena sudah tahu maksud kedatangan Gasa, Cila berusaha bangkit sendiri walau kenyataannya kekuatan untuk sekadar berdiri saja rasanya sudah tak ada. Dia tidak ingin sikap protektif cowok itu terlihat di hadapan Langit. Pilihan memang selalu disertai konsekuensi. Baru saja berdiri beberapa detik Cila langsung sempoyongan dan hampir membentur lantai jika Gasa tidak refleks menahan tubuhnya.

"Udah gue bilang jangan terlalu capek."
Nada khawatir dapat Cila tangkap dari cara bicara Gasa. Entah kenapa terkadang dia senang mendengar nada suara itu, di satu sisi juga sedikit jengkel.

"Kita pulang sekarang," titah Gasa, tidak memedulikan Langit yang hendak mengucapkan sesuatu.

"Cila, ya ampun. Udah gue bilang tadi harusnya lo makan dulu baru ikutan rapat." Suara cempreng khas Aritma sukses membuat Cila sadarkan diri. Gadis itu ngos-ngosan sambil menyerahkan tas Cila yang langsung disambar Gasa.

"Beliin roti sebagai penganjjal perut, takut di jalan kendaraan macet," saran Langit.

Terlalu panik, Gasa mengangguk dan tanpa persetujuan sepupunya dia langsung menggendong Cila di punggungnya, tidak peduli rontahan lemah gadis itu serta tatapan takjub dari Artima. Dipikiran cowok itu hanya satu, Cila segera mendapatkan pertolongan pertama sebelum gadis itu benar-benar pingsan karena kebodohan yang tak pernah berubah sedari dulu.

"Jantung gue lagi senam." Aritma mengoceh seraya senyum-senyum sendiri saat melihat tubuh Gasa semakin menjauh bersama Cila. Tangannya memegang ke arah dadanya yang berdebar tak karuan.

Langit terkekeh pelan. "Hati-hati nanti lo naksir."

"Gue berencana naksir sama dia, kok," seloroh gadis itu dan mendapat hadiah sebuah ketokan ringan di kepala.

"Jangan mimpi. Kalau gue perhatiin si siswa baru itu suka sama Cila."

Cewek berambut panjang itu membulatkan mata, refleks memukul punggung si Ketua OSIS. Mana mungkin Gasa menyukai sepupunya sendiri? Jika Cila berada di sini, gadis itu sudah melakukan hal serupa seperti Aritma.

"Ngaco, dia itu sepupunya Cila!" ucap Aritma sedikit keras tepat di sebelah telinga Langit hingga membuat cowok itu membekap mulut lebarnya.

"Mulut, kok, lebar banget. Sesekali ini mulut bersuara kalau lagi ada rapat OSIS, bukan malah gak hadir seperti tadi," omel Langit.

Di tempat lain, tepatnya dalam perjalanan menuju parkiran, Gasa tak henti-hentinya mengomeli kebodohan Cila, sedangkan orang yang dia omeli terkesan tidak peduli.

"Gue selalu bilang sama lo, Cil. Perhatiin pola makan, jaga kesehatan."

Cila mendengkus hingga hangat udara dari hidungnya mengenai telinga Gasa. "Nanggung, Sa. Lagian lo kenapa, sih, protektif banget sama gue?"

Gasa menurunkan Cila ketika tiba di samping motornya. Segera meraih helm dan mengenakan benda itu di kepala sepupunya.

"Sa, lo denger, kan, barusan gue ngomong apa?" Merasa diabakan, Cila memukul pelan punggung cowok itu.

"Naik," titah Gasa setelah menstarter motor.

Cila mengembuskan napas ke atas hingga rambutnya sedikit bergoyang. Haruskah Gasa sekesal itu hanya karena dia sakit perut? Baginya sikap protektif Gasa sudah tidak wajar. Aritma saja tidak pernah khawatir lalu berujung kemarahan seperti ini.

"Lo aneh tau," ujar Cila, bersungut-sungut saat menaiki motor Gasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro