Bab 1. Hari Pertama Sekolah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang menarik dari kehidupan sekolah?

Belajar? Cinta-cintaan?
Atau kenakalan remaja yang dilakukan sekali seumur hidup, iya 'kan?
Pasti maunya sih, dirasain semua ya, biar masa remaja penuh cerita, biar bisa diceritakan ke anak cucu nanti.

Asal semuanya nggak berlebihan dan merugikan sih, sah-sah aja dilakukan.

Begitu pun bagi Jenara Izumi atau bisa dipanggil Ara, meski teman-temannya lebih suka memanggilnya Izumi. Biar kayak orang Jepang, katanya.

Ara yang mengira masa remajanya biasa saja, tak pernah menyangka bahwa ada orang-orang baru dalam hidupnya yang akan membuat masa remajanya penuh warna. Iya, ada warna terang juga warna gelap.

Masa yang tidak boleh dia lewatkan karena hanya akan berlalu sekali seumur hidupnya.

Kalian, siap menemani petualangan kisah remaja bersama Ara?

.
.
.

"Udah banyak berubah, ya? Tapi tetep indah, kok," gumamnya saat turun dari motor Abang ojek online, yang mengantarkannya ke sekolah barunya.

Ara kelahiran asli Yogyakarta, tapi sempat pindah ke Surabaya sejak usia 10 tahun, karena pekerjaan Papanya di sana. Sekarang, Papanya sudah kembali bekerja di sini lagi.

Ara berjalan memasuki gerbang SMA 17, sedikit merasa gugup sebagai murid baru, Ara berjalan memasuki halaman sekolah.

Baru tujuh langkah melintasi gerbang, tiba-tiba tubuhnya oleng karena ada yang menabraknya dari belakang.

"Ups! Sorry! Nggak sengaja!"

Ara menoleh terkejut pada sosok yang tampaknya tak merasa bersalah sudah menabraknya.

"Lain kali, kalo jalan agak cepet ya. Ngalangin jalan orang yang di belakang," ucap cowok itu dengan senyuman yang mengejek disertai tawa teman-temannya.

Ara terkejut oleh 'kesopanan' si cowok yang baru ditemuinya ini. Belum sempat Ara membalas ucapannya, cowok itu sudah melangkah pergi menyusul teman-temannya.

"Hah! Dia gila, ya? Dia yang nabrak duluan, tapi ngomel ke aku!" dengus Ara kesal.

Padahal langkahnya biasa, nggak lelet kayak siput. Lagian, pintu gerbang segede itu, bagian mana yang menghalangi jalan? Murid lain aja masih bisa berlarian lewat gerbang. Kenapa dia dituding menghalangi jalan?

Melanjutkan langkahnya menuju kantor guru, Ara menoleh karena ada seseorang yang menepuk bahunya.

"Hai! Kamu anak baru, ya?" Seorang gadis berwajah tegas dan cantik menyapa Ara dengan senyum di bibirnya.

"Eh, i-iya. Kamu ... siapa?"

"Beneran ternyata, pantesan aku nggak pernah liat. Namaku Cindy, kamu di kelas XI, 'kan?" tanya gadis itu lagi.

"Iya, ada apa ya?"

"Nggak, cuma memastikan. Takut salah orang, soalnya kemarin Pak Raffa cuma bilang ada anak baru setelah liburan semester. Kita sekelas."

"Oh, iya."

Ara mengangguk menanggapi ucapan gadis di sebelahnya itu. Sebenarnya, kepindahan Ara ini ada di waktu yang tidak tepat. Dia pindah di semester dua, padahal dia sudah meminta pada Papanya untuk pindah setelah kenaikan kelas.

"Nama kamu siapa?" tanya gadis itu lagi, membuyarkan lamunan Ara.

"Namaku Jenara Izumi, salam kenal ya, Cindy." Ara tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Wah, namanya unik ya! Kamu keturunan orang Jepang? Dipanggilnya siapa?"

"Bukan kok, aku asli orang Jawa. Nggak ada keturunan Jepangnya, cuma kebetulan namanya Izumi. Kamu bisa panggil aku, Ara."

Ara tersenyum malu karena dia tahu nama Izumi-nya itu karena si Papa yang demen banget segala sesuatu berbau Jejepangan.

Kalau kata anak sekarang, wibu.

Ish, malu kan. Masa iya bilang kalau Papanya mantan wibu?

"Oke, Ara. Semoga kita bisa berteman akrab nantinya. Oh, iya, kamu jangan kaget dan takut sama cowok yang nabrak kamu tadi, ya? Dia emang gitu, ngeselin," ucap Cindy.

"Kamu kenal dia? Emangnya dia siapa?"

"Siapa yang nggak kenal dia, di sini? Satu sekolah juga kenal sama anak ngeselin kayak dia. Most wanted-nya SMA 17, dia tuh."

Ara memiringkan kepala, mencoba mengingat wujud cowok 'sopan' yang ditemuinya tadi. Memang sih, dilihat dari perawakannya yang kutilang (kurus-tinggi-langsing) tapi nggak ceking, juga kulit yang lumayan bersih dan cerah untuk ukuran anak cowok, bisa dibilang si 'sopan' ini lumayan. Tapi, dari wajah sayangnya Ara belum sempat melihat dengan seksama karena cowok itu memakai topi yang menyamarkan sedikit wajahnya. Hanya senyum menyebalkannya, yang Ara ingat jelas.

Rasanya nggak asing, tapi liat dimana?

"Most wanted, tuh karena dia idola sekolah? Murid ganteng dan berprestasi, gitu?" tanya Ara penasaran.

Cindy menatapnya sebentar sebelum kemudian tertawa.

"Kenapa? Pertanyaanku aneh, ya?"

"Nggak, Ara. Bukan pertanyaanmu yang aneh, aku aja yang ngerasa lucu. Persepsi kamu bener kok tentang kalimat 'most wanted', tapi sayangnya bukan itu." Cindy masih tertawa sampai menutup mulutnya, kemudian menatap Ara yang masih keheranan.

"Most wanted-nya dia bukan karena semua hal yang kamu sebutin tadi. Dia banyak dicari karena dia itu tukang bikin onar di sekolah. Pokoknya, dimana ada masalah dan kerusuhan, di situ pasti ada dia," jelas Cindy.

"Hah? Kok, dibolehin sama sekolah? Nggak dihukum?"

"Ya, gimana, ya? Ada yang bener sih, dari perkataan kamu tadi. Dia itu aset sekolah untuk olimpiade. Agak aneh emang, kelakuan sama isi kepalanya beda jauh."

Sekali lagi, Ara dibuat heran dengan informasi dari teman barunya itu. Hari pertama di sekolah barunya cukup mengejutkan dan membuatnya tidak tenang. Kenapa dia harus bertemu anak seperti itu?

"Oh, iya, Ara. Kamu mau ke ruang guru dulu, ya? Ruangannya ada di sana, kamu jalan aja lurus lalu belok kiri. Ruangan kedua ya."

"Iya, makasih informasinya."

"Oke, sampai ketemu di kelas nanti, Ara."

Ara berhenti di depan pintu kayu yang bertuliskan 'Ruang Guru' di atasnya.

Tangannya terangkat untuk mengetuk, saat pintu menjeblak terbuka membuat Ara terkejut mundur, hingga tersandung sepatunya sendiri dan jatuh terduduk.

Ara merasakan ngilu pada pantatnya yang langsung mencium kerasnya lantai. Meringis kesakitan, Ara memijit pinggulnya.

Kesialan apa lagi yang dia dapatkan hari ini?

Sibuk meratapi nasib di hari pertamanya, Ara tidak menyadari sebuah tangan terulur untuk membantunya berdiri.

"Maaf, kamu nggak apa-apa?"

Sebuah suara yang lembut menyadarkan Ara dan membuatnya mendongak menatap si pemilik suara.

Hah? Ada Taeyong Ensiti, di sini?

Ara mengedipkan matanya beberapa kali demi meyakinkan diri, bahwa dia tidak salah lihat.

Pantatku yang terluka tapi kenapa otakku yang cidera?

"Halo? Kamu nggak apa-apa,'kan? Bisa berdiri? Atau perlu dibawakan tandu?"

"E-eh, saya nggak apa-apa," jawab Ara terbata. Matanya masih menatap tak percaya pada sosok di hadapannya itu.

"Sini, aku bantu."

Ara akhirnya meraih uluran tangan Taeyong Ensiti KW di hadapannya itu. Sedikit malu karena insiden yang membuatnya tampak konyol itu. Jatuh sih nggak apa-apa, tapi kenapa di depan orang ganteng, coba? Malu.

"Makasih," ucap Ara sambil menganggukkan kepalanya.

"Aku yang minta maaf, karena buka pintunya terlalu keras, nggak tau ada orangnya. Ada yang sakit? Mau diantar ke UKS?" tawar Taeyong KW yang belum diketahui namanya oleh Ara.

"Nggak usah, nggak apa-apa, kok."

"Kayaknya aku nggak pernah liat kamu, murid baru? Apa murid kelas X?"

Ara mendongak mendengar pertanyaan si Taeyong KW, kenapa terdengat lembut dan perhatian di telinganya, sih?

"Iya, aku murid baru, kelas XI," jawab Ara yang malu-malu mencuri pandang.

"Oh, pantesan nggak pernah liat. Salam kenal, ya," ucapnya tersenyum pada Ara. "Kalau kamu nggak apa-apa, aku tinggal dulu, ya. Sampai ketemu lagi."

Dan dengan senyuman semanis gulali, si Taeyong KW berlalu pergi. Meninggalkan Ara yang kini bengong dengan wajah tersipu di depan pintu. Bel masuk menyadarkan Ara, membuatnya bergegas masuk ke ruang guru untuk mencari wali kelasnya.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro