Bab 14. Mulai Pendekatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Ara tidak pernah menduga bahwa di hidupnya yang biasa-biasa ini tiba-tiba berubah menjadi drama.

Di hadapannya kini ada Arel dan Bintang yang saling berhadapan dan saling melempar tatapan tajam. Ara sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Dia tidak mau terjadi keributan tak penting hanya karena dirinya.

"Kamu kenapa sok ngatur, ya? Ara lebih berhak memutuskan, dia mau atau nggak," ucap Bintang tenang namun nadanya yang dingin membuat beberapa anak yang masih ada di kelas hanya diam tak berani bergerak, takut bersuara.

"Gue ada hak, Ara hanya boleh pulang pergi sama gue," balas Arel tidak kalah. Cara bicaranya memang biasa saja namun matanya jelas-jelas memandang remeh sosok Bintang di hadapannya.

Bintang menoleh cepat pada Ara untuk meminta jawaban dan pembelaan, namun Arel lebih cepat menangkap pergelangan tangan Ara.

"Bokap sama nyokap lo, nitipin lo ke gue. Jangan bikin gue jadi seseorang yang ingkar janji," bisik Arel di telinga Ara.

Ara membuka mulutnya untuk menjawab namun akhirnya hanya menghela. Arel benar, dia memang diizinkan pergi bersama Arel. Meski jujur, dia ingin pulang bersama Bintang.

"Maaf, Kak, untuk sekarang sepertinya belum bisa. Selama masa pemulihan aku diizinkan pergi kalau barengan sama Arel," ucap Ara penuh penyesalan, dia sendiri merasa kecewa.

Namun, dari pada dia diantar oleh Papanya, sebaiknya saat ini dia memilih pulang pergi bersama Arel. Setidaknya orang tuanya percaya pada Arel.

Bintang terdiam mendengar jawaban Ara, sorot matanya tampak kecewa namun dia tetap tersenyum pada Ara.

"Ya udah, nggak apa-apa. Mungkin orang tua kamu masih khawatir, jadi mereka nitipin kamu sama sahabat kamu ini. Kayaknya aku juga harus mendapat izin dari orang tua kamu dulu, ya?"

Ara merasa tidak enak, sungguh dia tahu bahwa Bintang kecewa. Jadi, untuk saat ini dia hanya bisa balas tersenyum dan mengangguk.

"Iya, Kak."

"Ya udah, kamu mau ke kantin? Barengan yuk!" ajak Bintang ringan seolah barusan tidak terjadi apa-apa.

"Iya." Ara kemudian menoleh pada Arel, "Lepasin tanganku, aku mau ke kantin."

Arel menatapnya diam sebelum akhirnya melepas genggamannya.

Cindy dan Rere yang sejak tadi diam melihat semuanya, kini bergegas menarik lengan Ara, satu di kanan, satu di kiri.

"Ke kantinnya bareng kita aja."

Ketiganya berlalu meninggalkan Arel dan Bintang yang masih saling pandang.

"Sebaiknya kamu sadar diri sebagai sahabat, jangan terlalu overprotektif pada Ara," ucap Bintang sebelum pergi menyusul Ara ke kantin.

Arel menatap kepergian Bintang dengan pandangan tidak suka. Dia benci Bintang. Bahkan jauh sebelum Bintang mendekati Ara, dia sudah membenci Bintang.

***

Ara merasa tidak nyaman. Selama di kantin, dia merasa hampir semua pandangan tertuju ke arahnya.

Sesekali tatapannya beradu dengan beberapa orang yang langsung memalingkan wajah, saat ketahuan olehnya.

Entah tatapan itu karena kedatangannya bersama Arel tadi pagi, atau karena Bintang yang duduk satu meja dengannya bersama Rere dan Cindy.

"Ra, dimakan dulu. Dari tadi aku perhatiin, kamu ngelamun terus. Kenapa?" tanya Bintang pelan.

Tatapan Bintang tampak penuh perhatian, dan itu membuat desir-desir aneh di hati Ara tak bisa dikendalikan.

"Nggak apa-apa, Kak. Aneh aja, udah lama nggak masuk sekolah, sih," jawab Ara mengalihkan.

"Kalian ngerasa aneh nggak, sih?" celetuk Rere tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Dari tadi banyak yang liatin meja kita."

Cindy refleks memutar kepalanya pada sekeliling, memang dia mendapati beberapa orang memang menatap mereka.

"Iya, sih. Biarin aja, selama nggak ngerugiin kita," ucapnya cuek kemudian melanjutkan kegiatannya makan seblak.

"Tapi nggak nyaman, risih," keluh Rere merengut.

"Oh, iya Cindy. Makasih ya, udah ngasih alamat Ara waktu itu. Aku belum sempet bilang ke kamu."

"Nggak apa-apa, Kak. Santai aja, kapan pun butuh bantuan, ngomong aja."

Bintang tersenyum lebar lalu mengangguk.

"Ra, kamu juga kalau butuh bantuan, bilang aku ya? Butuh bimbingan belajar juga boleh, aku bantuin," ucap Bintang.

"Wih, asik, nih! Kapan lagi dapat tawaran dari pelajar langganan olimpiade, ya 'kan Cindy?"

"Iya, Ra. Bener kata Rere, privillege ditawarin belajar sama Kak Bintang. Aku sama Rere aja kudu ngejar pake bimbel."

"Loh, Kak Bintang pernah ikut olimpiade?"

"Bukannya pernah, tapi langganan peserta olimpiade mewakili sekolah tiap tahun, sama kayak Arel," jawab Cindy menjelaskan.

"Hah? Kok sama Arel?"

"Dulu pernah aku bilang 'kan, Arel tuh meski suka rusuh, suka bolos, tapi dia langganan olimpiade sekolah."

Ara mengingat ucapan Cindy dulu, saat dia pertama kali masuk sekolah.

"Ah! Iya inget! Nggak percaya rasanya, tapi aku liat emang dia selesai pas evaluasi kemarin tuh cepet banget, mana dapet nilai bagus," ucap Ara mengingat keterkejutannya pada kepintaran Arel.

Bintang tersenyum tipis, diaduknya jus mangga yang ada di hadapannya. Tampak tidak terlalu menyukai topik pembicaraan yang tiba-tiba membahas Arel.

Bintang tahu, Arel memang pintar.

'Brengsek Jenius' itulah yang dipikirkan Bintang pada sosok Arel. Dia tidak memungkiri hal itu, salah satu hal yang membuatnya tidak menyukai Arel sejak anak itu menjadi partnernya di olimpiade.

"Ra, pulang sekolah aku ke rumah kamu, boleh?" tanya Bintang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Eh? Mau ngapain, Kak?"

"Mau main sekalian belajar, sama mau minta izin orang tua kamu biar boleh pergi bareng kamu."

Jawaban Bintang tentu membuat tiga gadis di hadapannya terbelalak kaget.
Bintang yang kharismatik tiba-tiba mengatakan itu?

"Ya udah, aku balik duluan ke kelas, ya. Dihabisin makannya, sampai ketemu nanti, Ra. Duluan ya, Cindy, Rere."

Bintang tersenyum manis lalu mengusap pelan puncak kepala Ara, sebelum beranjak pergi. Meninggalkan Ara yang terdiam dengan wajah merah tersipu.

"Ra!"

"Astaga!"

"Ini beneran Kak Bintang sedang pendekatan ke kamu, apa gimana?" Rere berbisik tak bisa menahan kekepoan yang sudah di tahannya sejak Ara di rumah sakit.

"Bentar deh, Ra. Ini Bintang atau Arel, sih?" Cindy yang biasanya cuek ikut menatap Ara penuh ingin tahu.

"Kalian apaan, sih? Nggak ada apa-apa," bantah Ara yang mencoba menetralkan detak jantungnya yang memburu karena ulah Bintang.

"Tapi, Kak Bintang nggak pernah loh deket sama cewek di sekolah kita. Yang deketin sih, banyak. Tapi nggak ada yang di seriusin sama dia."

"Ini sampe terkesan dia ngejar kamu sih, Ra."

"Eh, pernah tahu Cindy, Kak Bintang suka sama Kak Sabrina yang sekretaris OSIS periode tahun lalu. Tapi sayangnya Kak Sabrina jadian sama Kak Eren, ketua klub Jurnalis," sambung Rere penuh semangat.

Sementara Ara hanya mendengar semua informasi ini dan berpikir apakah benar, Bintang mendekatinya karena tertarik?

"Tapi kayaknya beneran deh, Ra. Kak Bintang suka sama kamu."

"Setuju sama Cindy!"

"Nggak mungkin, ah!"

"Mungkin banget, Ra! Apa coba namanya kalo perhatian segitunya sampe senyumnya nggak lepas tiap matanya liatin kamu?"

"Itu namanya jatuh cinta."

"Nah, bener!"

Ara berusaha untuk tidak kegeeran karena ucapan Cindy dan Rere.

Dia belum lama mengenal Bintang.
Apa iya, Kakak kelasnya itu menyukainya?

Kalau pun iya, karena apa?

Ara menggeleng pelan, dia juga menyukai sikap Bintang padanya.
Haruskah dia menyambut cara Bintang mendekatinya?

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro