Bab 16. Flu dan Obrolan Mereka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

"Hatchiii!!"

Arel melirik sosok yang sejak tadi bersin-bersin di sampingnya.

Ini hari Minggu, Arel sedang berada di rumah Ara karena agenda sang Mama yang mengajak Tante Kirana arisan bersama teman-temannya. Memaksa Arel mengantar lalu meninggalkan putranya itu, sementara para ibu pergi bersama.

Sebenarnya bukan Mamanya yang memaksa. Arel yang memaksa ikut.

"Apa sih, dari tadi lihatin aku dengan tatapan serem?" tanya Ara risih, menyadari raut wajah kesal dan tatapan dingin Arel padanya.

"Hatchii!"

Ara kembali bersin, meraih tisu di atas meja lalu membersihkan hidungnya yang mampet itu.

"Pusing juga dari tadi bersin terus," gerutunya pelan, namum masih bisa didengar oleh Arel.

"Kalo udah kayak gini, enak?" tanya Arel ketus.

"Apa sih, Arel. Dimana enaknya flu, coba."

"Ya, seenak lo hujan-hujanan sama benda luar angkasa kemarin. Berasa lagi syuting film Bollywood, lo? Lari-larian di tengah hujan pake gandengan tangan, ketawa-ketawa nggak jelas. Sekarang kalo udah sakit, lo ngeluh?"

Arel tidak lagi bisa menahan kekesalannya. Inilah tujuannya memaksa ikut ke rumah Tante Kirana.

Untuk mengomeli Ara.

Kemarin, dia melihat Ara hujan-hujanan bersama Bintang saat pulang sekolah. Padahal dia sudah meminta Ara untuk menunggunya. Arel kemarin sibuk mempersiapkan seleksinya untuk mengikuti olimpiade, bersama Pak Raffa di ruang guru.

"Kok kamu marah ke aku? Harusnya aku yang marah, karena kamu nggak hilang gitu aja setelah minta aku nunggu," balas Ara tidak mau kalah. Dia kesal pada Arel yang berbohong padanya.

"Ya harusnya lo menunggu seperti yang gue minta. Kenapa lo justru pergi gitu aja?"

"Kamu lama. Aku udah mau pulang. Lagian kamu kemana, sih? Kalau memang nggak mau pulang bareng aku, harusnya kamu bilang dari awal."

Ara merengut mengingat Arel yang pergi bersama Nayla, entah kemana.

"Gue ada persiapan seleksi sama Pak Raffa di ruang guru. Gue nggak bisa gitu aja pergi, dong."

"Masa? Yakin di ruang guru sama Pak Raffa?" cibir Ara.

"Ya terserah kalo lo nggak percaya. Lagian, gue nggak sendirian. Ada anak-anak yang lain juga. Lo aja yang nggak mau nungguin gue."

Ara diam, sejujurnya dia tidak tahu Arel berbohong atau tidak. Dia hanya melihat sekilas kemarin, toh setelah itu dia tidak tahu kemana Arel pergi.

"Hatchii!"

Arel mendengus keras lalu beranjak dari duduknya, meraih kunci motornya di atas meja.

"Mau kemana?"

"Keluar."

"Lah, nanti Tante Ninis gimana?"

"Nanti gue balik."

Lalu tanpa bicara lagi, Arel keluar meninggalkan Ara yang masih terdiam heran menatap kepergiannya.

"Apa sih, suka banget pergi nggak jelas," gerutu Ara. Kepalanya sedikit pusing karena hidungnya mampet.

Ara memilih untuk merebahkan dirinya di sofa, meringkuk dan menyamankan posisinya. Sebaiknya dia tidur agar rasa pusingnya mereda. Meraih remote tv lalu menyalakannya, memutar acara random, kemudian dia mulai memejamkan matanya.

***

"

Mm ...." Ara membuka matanya pelan saat merasakan hangat di tubuhnya.

Dilihatnya Arel duduk di ujung sofa, tampak fokus dengan ponselnya.

"Arel? Kamu udah balik?" tanyanya dengan suara serak. Arel menoleh mendengarnya, lalu menghentikan permainannya.

"Udah bangun?"

Ara mengangguk, "Ini tadi kamu yang selimutin aku?" tanyanya saat menyadari selimut tebal menutupi tubuhnya.

"Ya, lo ngapain tidur di luar saat tubuh lo sakit begini?" omel Arel.

"Sendirian di rumah, nggak mau tidur di kamar."

"Tuh, gue beliin bubur ayam. Buruan di makan terus minum obatnya, udah gue beliin obat flu tadi di apotek."

Ara menatap Arel diam, tidak mengatakan apapun.

"Denger nggak sih, gue ngomong barusan?"

"Kamu beliin itu semua buat aku? Beneran."

"Ini cuma halusinasi lo. Puas?" jawab Arel tidak sabar, lalu duduk mendekat pada Ara.

"Buruan makan, keburu dingin. Terus diminum obatnya. Atau ... lo mau gue suapin?"

"Nggak!" Ara mencebik pada Arel, lalu masih dengan selimut membungkus dirinya, dia meraih bubur ayam di atas meja.

"Iya, ini aku makan. Nggak usah ngeliatin serem begitu," ucapnya saat tatapan dingin Arel terus tertuju padanya.

Ara mulai menikmati makan siangnya, sementara Arel kembali bermain  dengan ponselnya.

"Kamu nggak makan?"

"Udah tadi."

Ara mengangguk, dia ingin banyak bertanya pada Arel tetapi tidak berani.

Ponsel Ara yang terletak di atas meja bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ara langsung menyambar ponselnya lalu tak lama kemudian tersenyum-senyum sendiri.

Arel tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya terus melihat Ara.

"Lo nggak berubah jadi gila karena flu, 'kan?" celetuknya membuat Ara mendelik kesal.

"Sembarangan banget mulutnya."

"Ya, lo senyam-senyum sendiri. Ngeri gue liatnya."

"Apa sih, ini aku lagi baca pesan dari Kak Bintang. Gemes banget," lanjut Ara masih dengan senyuman di bibirnya.

Jarinya tampak mengetik dengan cepat, lalu tersenyum lagi. Tidak menyadari perubahan ekspresi Arel.

"Habisin dulu makannya."

"Hum, ini udah mau habis," Ara menyuapkan satu sendok terakhirnya. Kemudian segera meminum obatnya.

"Arel, boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Ara yang kemudian beringsut duduk di samping Arel.

"Apa?"

Agak ragu, Ara melirik Arel yang masih fokus pada ponselnya itu.

"Menurut kamu, Kak Bintang itu orang yang gimana? Baik nggak?"

Mendengar itu, Arel kehilangan fokusnya. Tangannya yang semula sibuk bergerak kesana kemari itu terdiam.

"Aku sebenarnya pengen tahu banyak tentang Kak Bintang. Tapi aku nggak tahu mau tanya ke siapa, kalau Rere sama Cindy, yang ada aku bakalan dikata-katain sama mereka." Ara tersenyum membayangkan kedua temannya itu.

"Kamu 'kan sering satu tim sama Kak Bintang saat jadi wakil sekolah di olimpiade. Pasti sering latihan bareng juga. Sebagai sesama cowok, menurut kamu, gimana?"

Arel menghela pelan, tampak tidak suka dengan pembicaraan ini.

"Kenapa lo nggak tanya ke dia sendiri?"

"Nggak bisa, aku harus tahu dari sisi orang lain juga. Kak Bintang baik banget sama aku, perhatian, sering bantuin aku belajar, pokoknya yang baik-baik," ujar Ara mengingat semua hal kecil yang dilakukan Bintang untuknya.

Bintang tidak pernah terlambat mengiriminya pesan. Sekedar menanyakan kegiatannya sepulang sekolah, atau menceritakan kegiatannya sendiri pada Ara. Membantu dan menemani Ara belajar melalui video call, juga beberapa hal kecil lain sebagai bentuk perhatiannya.

"Jadi, gimana menurut kamu?"

Arel menoleh menatap Ara dalam-dalam. Sekalipun dia tidak ingin menjawab, namun melihat binar antusias di mata Ara membuatnya tidak bisa menghindar.

"Lo suka sama dia?"

Mendengar itu, Ara tersenyum malu-malu lalu mengangguk pelan.

Tanpa aba-aba, Atel menarik tubuh Ara dan membuatnya berbaring di pangkuannya. Sementara tangannya kini kembali meraih ponselnya untuk bermain game.

"Arel apaan, sih?" Ara yang terkejut berusaha bangun namun tentu terhalang oleh tangan Arel.

"Udah, lo rebahan aja di situ biar gue gampang ngomong sama lo. Kali lo duduk, gue kudu berhenti main, nih."

"Tapi, 'kan ...."

"Gue jawab, lo diem."

Ara akhirnya hanya menghela pasrah. Berbaring menghadap Arel dengan paha Arel sebagai bantalnya.

"Kalau gue bilang, dia bukan orang baik, lo akan percaya sama gue?"

"Maksudnya?"

"Dia bukan orang yang baik, Ra. Dia nggak seperti yang lo bayangkan.

Raut wajah Arel tampak serius saat mengatakannya, dan Ara tidak tahu harus mempercayainya atau tidak.

.
.
.
Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro