Bab 40. Kebenaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kau memintaku untuk menentukan sikap, aku sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus kuambil. 

Mungkin karena aku sejak awal mengambil titik abu-abu di tempatku berdiri.

.
.
.

Hari-hari berlalu begitu cepat hingga tanpa terasa kurang dua minggu lagi ujian kelulusan dilaksanakan.

Bintang sudah sangat sibuk mempersiapkan ujiannya, ditemani oleh Ara yang selalu memberinya semangat, juga memperhatikan kondisinya yang terkadang sering diabaikan oleh Bintang.

Bahkan dua hari yang lalu, dia sempat masuk angin karena belajar seharian dan lupa makan. Tentu saja karena hal itu dia mendapat omelan dari Ibunya juga Ara.

Sejak itu, setiap jam makan datang, entah makan pagi, siang atau sore malam, Ara akan mengingatkannya.

Seperti sekarang.

'Kak? Udah makan?' Tanya Ara lembut dari seberang telepon.

"Hm, udah tadi."

'Beneran?'

"Iya, tadi dibeliin bakso jumbo sama Ibu. Nggak habis aku makannya." Jawab Bintang sambil tertawa.

'Harusnya dihabisin, Kak. Biar banyak tenaganya untuk belajar.'

"Yang ada nanti aku jadi ngantuk, Ra. Tapi bisa begadang sih setelah denger suara kamu."

Terdengar suara tawa Ara yang malu-malu di seberang sana. 'Kumat lahi, jadi tukang gombal.'

"Serius ini, Ra. Kenapa selalu dibilang gombal, sih?"

'Ya, emang kamu suka gombal, Kak.'

Tiba-tiba ada suara samar yang didengar Bintang dari belakang Ara, tidak begitu jelas tetapi membuat Ara berhenti bicara beberapa saat.

'KaK, udahan dulu ya.'

"Kenapa? DImarahin Mama kamu ya, kok suaranya kayak ribut di tempat kamu."

'Nggak kok, Mama nggak marah. Itu tadi neriakin aku suruh turun. Ada Tante Ninis sama Arel datang ke rumah.'

Alis Bintang mengerut tak senang mendengar informasi yang baru dia dengar dari Ara. Kenapa Arel lagi-lagi harus ada saat dia memiliki waktu dengan Ara?

'Kakak lanjut aja belajarnya, aku tutup dulu, ya. Semangat Kakak Sayang!'

Bintang tidak langsung meresponnapa yang Ara katakan, otaknya kini sibuk menerka dengan segala skenario menyebalkan tentang kedatangan Arel ke rumah Ara.

'... Kak?'

"E-eh, iya, Ra! Terima kasih, ya."

Lalu setelah mengucapkan selamat malam, Ara mengakhiri sambunga telepon mereka.

Bintang tidak mau memikirkan hal yang sebenarnya biasa saja seperti ini. Dia berusaha menekan rasa cemburu yang hadir di hatinya lagi. Kenapa Arel datang ke rumah Ara? Apa karena Mama mereka, Arel jadi sering datang?

Manik hitamnya itu melirik ke arah jam digital di meja belajarnya. Pukul 19.13 dan jam segini Arel berkunjung ke rumah Ara? Bukankah ini sudah malam untuk jam bertamu?

Gelisah.

Lagi-lagi itu yang dirasakan oleh Bintang. Tidak mungkin sekarang dia pergi begitu saja ke rumah Ara hanya untuk membatasi mereka. Sial. Harusnya dia sekarang kembali belajar, bukan sibuk memikirkan Ara dan Arel. 

***

Tante Ninis tersenyum hangat melihat Ara turun dari tangga, lalu menghampirinya dan menariknya dalam pelukan.

"Cah Ayu, kesayangannya Tante. Baru belajar, ya?"

"Nggih, Tante. Tapi Ara udah selesai, kok," jawab Ara tersenyum karena setengah berbohong. Awalnya dia memang belajar, namun di akhir dia justru menghubungi Bintang.

"Begini tuh Rel, yang bener. Mengulang belajar lagi kalo malem, kayak Ara. Kamu mah belajar sebentar aja, abis itu rebahan sama Papa." omel Tante Ninis melepas pelukannya pada Ara lalu mengajak Ara duduk bersama Arel di sofa ruang tengah, sementara Mama Ara membuat minuman.

"Aku belajar bentar udah cukup, Ma." Jawab Arel tersenyum dan mengedipkan satu matanya pada Ara, membuat gadis itu mendelik kesal.

"Tapi anakmu keren loh, Nis. Gitu-gitu langganan lomba di sekolah, kan. Ara cerita sama aku," sahut Mama Ara yang datang dengan membawa satu teko penuh lemon tea.

"Iya, tapi aku kadang ndak yakin loh, Na. Lha wong dia belajar cuma secuplik-secuplik."

"Bocah lanang, biasanya ngono, Nis. Ndak perlu serajin cewek tapi udah pinter."

Tante Ninis tersenyum bangga mendengar apa yang diucapkan Mama Ara. "Kita tukeran anak aja, gimana Na? Aku mau anak perempuan kayak Ara. Udah bosan laki semua di rumah, ndak seru. Abraham sama Arel ribut mulu kalo di rumah." gurau Tante Ninis sambil tertawa.

"Daripada tukeran anak, mending kita besanan, Nis." sahut Mama Ara yang juga tertawa.

Mendengar itu, tentu membuat dua orang yang sedang di bicarakan saling bertukar pandang kaget. Khususnya Ara yang sampai tergigit lidahnya saat mengunyah cookies. Sementara Arel justru meringis senang.

Namun, senyum lebar di bibir Arel itu tak bertahan lama, setelah dia melihat notifikasi pada ponselnya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin. Lalu, menghembuskan napasnya dengan tak sabar.

"Mama, Tante Kirana, aku izin ke depan sebentar ya?" pamit Arel kemudian.

"Mau kemana, Sayang?" Tanya Mama Ara.

"Em, mau ambil catatan ke rumah temen sebentar."

"Kenapa nggak pinjam punya Ara?"

"Ini catatan dari kelas bimbingan, Tante. Jadi beda sama yang di kelas."

"Owalah, gitu. Iya, deh. Tapi nanti ke sini lagi, 'kan?"

"Iya, Arel akan cepet-cepet kok, Tante."

Arel berpamitan pada Mamanya juga Mama Ara, lalu menatap Ara sejenak tanpa mengatakan apa-apa. Namun, Ara merasakan ada sesuatu yang aneh dari sikap Arel setelah menerima pesan di ponselnya.

Arel terburu-buru keluar, lalu memakai helmnya dengan cepat, menyalakan motornya keluar dari halaman.

"Arel, tunggu!"

Nyaris saja Ara terjatuh karena tersandung sendalnya saat berlari mengejar Arel yang sudah hampir kelluar dari gerbang. Namun, Arel berhenti saat melihat Ara dari kaca spionnya.

"Kamu mau kemana?"

"Ada urusan sebentar."

"Kemana?"

"Lo nggak perlu tau, gue buru-buru."

"Kamu nggak akan berantem seperti waktu itu, 'kan?" Tanya Ara khawatir, entah kenapa perasaannya tiba-tiba merasa tak nyaman.

"Kenapa? Lo khawatir sama gue?"

"Ya, iya, aku khawatir karena kamu pergi buru-buru kayak gini."

Arel hanya diam menatap Ara tanpa mengatakan apapun. Kemudian tangan kanannya yang sedang memegang gas, terulur untuk mengusap kepala Ara .

"Thanks, udah khawatir sama gue."

Setelah mengatakan itu, Arel segera melajukan motornya meninggalkan Ara yang terdiam di halaman menatap kepergiannya.

Kekhawatiran yang dirasakan Ara memang tak berdasar, tetapi mungkin itu adalah ikatan tak terlihat yang dia miliki dengan Arel, kedekatan mereka sejak kecil.

***

Di sebuah bangku di taman dekat lapangan basket umum dekat SMA 17, duduk seseorang yang menatap keheningan malam di depannya dalam diam yang terasa membekukan. Bahkan suasana malam tidak bisa menyembunyikan aura suram yang dari sosok itu.

Lalu saat deru suara motor terdengar, sosok itu menoleh dan bangkit dari duduknya. Bersiap menyambut orang yang dia tunggu kehadirannya.

Sebuah senyum miring tergambar di sudut bibirnya begitu melihat motor dan si pengendara yang sudah dia hapal betul itu. Bahkan baru saja si pengendara turun dari motor, dan melepas helmnya, sebuah kepalan tangan melayang dengan cepat menghantam dagu si pengendara yang tentu terkejut dan oleng hingga ambruk ke tanah.

Kaget, itu yang dirasakan oleh sosok yang kini bangkit dari jatuhnya itu.

"Brengsek!"

"Gue udah peringatin lo, ya. Tapi kayaknya lo sengaja menulikan telinga atas ucapan gue waktu itu. Seperti yang lo liat, gue nggak main-main dengan perkataan gue waktu itu."

"Muncul juga sifat asli lo, sialan!" umpat sosok yang kini memegangi dagunya yang terasa nyeri karena hantaman keras yang dia terima.

"Gue berusaha bersabar dan bersikap baik sama lo, tapi kayaknya orang seperti lo emang nggak layak dapetin itu."

.
.
.
Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro