Bab 41. Pertikaian Malam Itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena takdir akan menemukan jalannya sendiri. Sekeras apapun kau mengusahakan, jika bukan jalan yang seharusnya makan hal itu tak akan pernah terjadi.

.
.
.

"Gue udah peringatin lo, ya. Tapi kayaknya lo sengaja menulikan telinga atas ucapan gue waktu itu. Seperti yang lo liat, gue nggak main-main dengan perkataan gue waktu itu."

"Muncul juga sifat asli lo, sialan!" umpat sosok yang kini memegangi dagunya yang terasa nyeri karena hantaman keras yang dia terima.

"Gue berusaha bersabar dan bersikap baik sama lo, tapi kayaknya orang seperti lo emang nggak layak dapetin itu."

Dua orang yang kini saling berhadapan itu saling melempar tatapan tajam yang mungkin jika itu sebuah senjata tajam, bisa menusuk dalam sati lemparan.

"Gue tahu, lo suka sama Ara. Munafik dan bohong kalau lo cuma bilang itu karena persahabatan. Gue bisa lihat dengan jelas semua sikap yang lo tunjukkan. Atau emang lo sengaja lakuin itu di hadapan gue?" ucap Bintang dingin pada Arel yang justru tersenyum tipis tanpa melepas pandangan darinya.

"Kalau lo emang tau perasaaan gue, kenapa lo maksa Ara jadi pacar lo? Atau emang lo pura-pura buta di depan gue?" balas Arel tak mau kalah.

"Gue nggak pernah maksa Ara untuk jadi pacar gue. Ara sendiri nerima gue karena dia sayang sama gue."

Arel tertawa lirih seolah mengejek jawaban Bintang, tatapannya menunduk menatap kakinya yang menendang kerikil kecil di bawah sana.

"Lo nggak pernah maksa Ara karena Ara sayang sama lo, ya? Trus kenapa sekarang lo takut dia pergi?"

"Maksud lo apa?"

"Lo terus-terusan larang gue deketin Ara. Itu karena lo takut dia bakal ninggalin lo, 'kan?"

Bintang terdiam, dia ingin menjawab namun tak ada suara yang keluar dari bibirnya.

Ya, dia memang berpikir Ara akan meninggalkannnya karena Arel. Dia takut hal seperti itu akan terjadi. Dia tidak mau mengakui itu sekarang di hadapan Arel.

"Kenapa diem, nggak bisa jawab? Ucapan gue bener, dong."

"Gue cuma nggak suka Ara deket sama cowok lain terutama sama lo. Apalagi gue tahu lo akan deketin Ara dengan modusan persahabatan lo."

Arel terkekeh, dia benar-benar tak mengerti kenapa pacar sahabatnya itu begitu merasa terancam olehnya.

"Gue nggak tahu kenapa lo harus menuduh gue kayak gitu. Tetapi kalao lo beneran percaya dan sayang Ara, lo nggak perlu khawatir dia akan pergi ninggalin lo. Tapi dengan begini gue jadi tahu, seberapa banyak rasa suka lo ke Ara." Masih dengan tatapan dan senyum meremehkan, Arel kemudian berbalik untuk kembali ke rumah Ara.

"Berhenti! Gue belum selesai bicara."

Arel berhenti hanya untuk menoleh, "Tapi gue udah selesai dan gue nggak mau ngomong apa-apa lagi sama lo," balasnya kemudian lanjut berjalan.

Namun baru tiga langkah, kemudian tubuhnya limbung ke kiri karena hantaman dari Bintang yang mengenai pelipis kanannya.

"Brengsek, lo meremehkan gue?" desis Bintang yang kemudian menyergap dan mencengkeram kemeja depan Arel sebelum kembali melayangkan tinjunya pada Arel, yang untungnya kali ini berhasil menangkis dan menahan pukulan Bintang.

"Lo ngerasa di atas angin karena lo berpikir Ara akan belain lo sebagai sahabatnya? Lo ngerasa menang karena punya privillege lebih untuk deket dengan Ara daripada gue? Lo ngeremehin gue karena lo ngerasa bisa merebut Ara dari gue? Iya!"

Bintang terus melayangkan tinjunya dengan membabi buta, membuat Arel sedikit kewalahan karena posisinya dibawah sementara Bintang berada di atasnya. 

"Lo pasti sengaja melakukan semua itu karena lo benci sama gue sejak kejadian itu, 'kan? Sial! Padahal gue waktu itu hanya melakukannya karena terpaksa sama keadaan, jadi lo nggak berhak memandang remeh gue!"

Arel hanya diam sambil menahan pukulan tanpa menjawab semua ucapan kasar yang keluar dari mulut Bintang. Dia sengaja membiarkan kakak kelasnya itu mengeluarkan semua unek-uneknya. Sosok Bintang saat ini tak pernah sekalipun terbayang di benak Arel akan dilihatnya seperti ini.

"Harusnya lo nggak liat kejadian itu, harusnya lo bukan anggota tim olimpiade, harusnya lo nggak berurusan sama gue!"

Arel merasakan bibirnya berdarah saat satu pukulan Bintang berhasil mengenainya, dan lagi, lengannya sudah terasa sakit karena menahan pukulan Bintang berkali-kali. Lantas, dengan satu kali dorongan, Arel berhasil membuat Bintang mundur dan terhuyung, membuatnya bisa membalik posisi. Dengan cepat Arel menahan tubuh Bintang di bawahnya dengan mencengkeram kerah kemeja Bintang.

"Dengerin gue ya bangsat! Lo salah karena menuduh gue dengan semua pikiran cupu lo itu. Gue memang suka Ara tapi gue bukan cowok brengsek yang bakalan ngerebut pacar orang. Dan gue emang ngerasa menang atas privillege yang gue punya dibandingkan lo."

Arel mencengkeram bahu Bintang dengan kuat, sebelum melanjutkan. "Ya, gue benci lo sejak kejadian itu, karena itu respek gue sama lo jadi hilang. Gue bahkan menyesal karena sempat mengidolakan lo yang ternyata sebangsat ini."

"Semakin lo bertingkah sama gue, maka semakin turun nilai lo di mata gue, kayak sekarang lo nggak lebih dari cowok brengsek yang suka nyalahin orang lain demi memuaskan ego lo yang sempurna itu." Arel mendorong Bintang dengan keras sehingga tubuh Bintang terhenpas ke tanah, lalu melepaskan cengkraman tangannya. 

Berusaha mengatur napas dan emosinya yang menggebu-gebu, Arel berdiri menatap Bintang yang kini terdiam tampak tak mampu membalas ucapan Arel.

"Lo harusnya jadi orang nomor satu yang percaya sama Ara dalam situasi apapun. Tetapi karena lo sekarang udah bersikap kayak gini, lo nggak pantas bersanding dengan Ara." Arel mengakhiri ucapannya dengan tatapan memperingatkan pada Bintang.

"Oh, satu lagi. Gue emang bilang nggak akan merebut pacar orang. Tapi dalam hal ini, gue akan berusaha bikin Ara untuk suka sama gue, karena orang seperti lo yang nggak bisa kasih kepercayaan untuk Ara, lo nggak pantes dapetin Ara," final Arel yang kemudian bebalik, berjalan cepat meninggalkan Bintang yang kini diam dalam posisinya terduduk di tanah.

***

Ara sedikit terkejut saat melihat pesan dari Arel. Kemudian dengan terburu-buru dia pamit pada Mamanya untuk pergi ke minimarket sebentar. Pikirannya semakin tidak tenang karena dia bisa menebak keadaan Arel melalui pesannya.

Dan benar saja, di halaman minimarket, dia melihat Arel duduk di motornya dengan memegang sebuah ice bag di tangannya.

"Arel! Astaga!" 

Ara setengah berlari menghampiri Arel dengan mata terbelalak karena melihat beberapa luka robek kecil dan lebam di wajah Arel.

"Kamu habis berantem?" pekik ARa tertahan setelah mengamati keadaan Arel yang sedikit lusuh di kemejanya.

"Nggak, gue abis jatuh tadi." Elak Arel dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

"Bohong. Mana ada orang jatuh dengan luka model begini? Astaga, kamu berantem sama siapa lagi? Ini belum kamu obatin sama sekali?" Ara mengerutkan alisnya khawatir, lalu melihat buku-buku jari Arel yang memerah karena goresan bekas pukulan.

"Dapat ice bag darimana? Kamu udah beli obat?"

Arel menggeleng, "Obatnya belum beli. Ice bagnya tadi beli di dalam," ucapnya mengangguk ke arah minimarket, "Terus esnya tadi minta sama penjual es teh di depan itu," tunjuknya lagi pada outlet kecil es teh yang jualan di depan minimarket.

"Astaga, Arel!" Ara terlihat semakin khawatir karena jawaban Arel. "Kamu tunggu di sini biar aku beli obatnya. Terus ini gimana pulangnya? Pasti Tante Ninis akan marah," ucap Ara lirih dan takut-takut membayangkan reaski Tante Ninis dan Mamanya saat melihat keadaan Arel.

"Nanti gue pakai helm biar nggak keliatan."

"Tetep keliatan, bego. Udah aku beli obatnya dulu, jangan kemana-mana."

Ara berjalan pergi untuk memberi peralatan obat-obatan yang dibutuhkan oleh Arel seperti plester luka, salep memar, dan beberapa obat minum lainnya.

Tak sampai 15 menit, Ara sudah kembali membawa semua peralatan, lalu dengan cekatan mengobati luka-luka di wajah dan lengan Arel. Sementara Arel hanya diam memandangi gerak-gerik Ara.

"Ra..."

"Apa? Sakit ya? Duh, sorry." Ara menarik tangannya dari luka Arel dengan pelan-pelan.

"Ada apa?"

"Lo mau jadi pacar gue, nggak?"

Ara seketika mendongak untuk melihat wajah Arel begitu mendengar pernyataan Arel barusan.

"Hah? Kepalamu kena bentur, 'kah? Kok kamu ngaco begini?" tanya Ara semakin khawatir.

"Gue serius, Ra. Lo mau nggak jadi pacar gue?"

.

.

.

Bersambung.

.

 Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro