Bab 43. Kisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada akhirnya semua yang berlalu adalah bagian dari kisah yang menjadi bagian dari cwerita hidup kita. Semua yang baik atau buruk di masa lalu adalah yang menjadikan kita hari ini. Karena itu tak perlu disesali, jadikan pelajaran agar di masa yang akan datang kita lebih bijaksana mengambil keputusan. Lagipula, saat ini kita masih muda, 'kan?

.
.
.

Tidak ada yang bisa menggambarkan suasana hati Ara saat ini. Rasa kecewa di hatinya begitu dalam, ada rasa bersalah yang diam-diam ikut menyelinap saat dia mengingat yang baru saja ia alami, ucapan Bintang, juga berqakhirnya hubungan mereka.

Ara sama sekali tidak menyangka kisahnya akan berakhir seperti ini. Meski perpisahannya dilalui dengan baik tanpa masalah, drama, dan emosi seperti pasangan lain, karena Bintang melakukannya dengan segala kebaikan yang dia usahakan untuk Ara.

Ara merasa dia telah menyakiti Bintang dengan cara yang tak dia sadari, cara yang membuat Bintang memutuskan untuk berhenti berharap padanya. Ara merasa dirinya jahat tanpa benar-benar melakukannya.

Lalu, ingatannya kembali saat Bintang mengatakan bahwa dia jauh membutuhkan Arel daripada Bintang. Kenapa? Apakah salah jika Ara memberikan perhatian yang sama pada sahabatnya?

'Kalau aku suruh kamu milih aku atau Arel, kamu pilih siapa?'

Ara tidak bisa memilih.

Benarkah dia lebih membutuhkan Arel disampingnya? 

Ara mengusap air mata yang sedari tadi turun membasahi wajahnya. Untung saja sopir taksi di bangku depan tak bertanya apa-apa meski sesekali melirik penasaran melalui kaca spion. Tadi Bintang menawarkan diri untuk mengantarnya puulang, namun Ara menolak. Semakin lama waktu dia habiskan bersama Bintang, semakin besar pula rasa bersalah yang Bintang atau sekarang bisa dia sebut 'mantan kekasihnya' itu.

Dia tidak mau pulang sekarang dalam keadaan yang kacau. Tidak mau menjawab kekhawatiran Mama dan papanya jika melihatnya dalam keadaan seperti ini. Lalu, sekarang taksi yang dinaikinya telah berhenti di depan gerbang kayu yang tampak anggun karena lampu taman sudah dinyalakan. Membuat suasana sore yang harusnya romantis itu menjadi semakin menyedihkan bagi Ara. 

Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Ara turun membawa langkahnya ke depan gerbang. Tangannya tak langsung menekan bel, ada sejenak keraguan yang berputar di kepala dan hatinya. Tangannya kanannya terulur, namun belum sempat menyentuh daun pintu, papan di hadapannya itu terbuka.

"Lho, Ara! Sayang, kamu kenapa?" Tante Ninis yang tiba-tiba membuka pintu tampak terkejut melihat Ara yang berdiri kacau di depan pintu rumahnya.

Ara mencoba untuk tersenyum meski masih ada sisa-sisa air mata di wajahnya, dia malu jika Tante Ninis tahu hal yang sebenarnya.

"Ara nggak apa-apa kok, Tante. Agak capek soalnya tadi ada pelajaran tambahan," jawab Ara sedikit berbohong. "Apa Rafael ada, Tante?" tanyanya.

"Ada, tadi baru makan anaknya. Kamu masuk aja, maaf ya, Tante harus pergi karena udah ada janji sama penjahit. Sekalian jemput Om di kantor. Kamu nggak apa-apa, 'kan?"

Ara mengangguk lalu mengantar Tante Ninis sampai pagar depan. Dia masuk ke dalam lalu menuju kamar Arel. Namun, dia melihat sahabatnya itu justru sedang duduk di pinggir kolam merendam kakinya.

Perasaan Ara membuncah dengan membingungkan, dia senang melihat Arel di sanan, dia merasa sedih dan kecewa karena masalahnya, dan yang terakhir dia merasa rindu pada sosok yang tadi pagi sudah dia temui.

"Arel..." panggilnya lirih seraya berjalan mendekat. Tentu saja panggilan itu membuat Arel menoleh dan terkejut melihat Ara yang tampak kacu menghampirinya.

"Ara! Lo kenapa?" Dengan cepat Arel beranjak dari posisinya lalu menghampiri Ara yang sudah tampak ingin menangis. Dan benar saja, begitu Arel berdiri tepat di hadapannya, air mata Ara mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan lagi.

"Hei, hei... lo kenapa, Siput?" dengan cepat Arel meraih tubuh Ara dalam dekapannya, membuat Ara kini justru menangis tersedu-sedu. Arel kebingungan dan hanya bisa menepuk-nepuk bahu Ara agar lebih tenang.

Selama beberapa saat mereka dalam posisi itu, berdiri tanpa suara dengan kebingungan masing-masing.

"Udah mendingan, duduk aja, ya? Nggak capek apa, nangis sambil berdiri?" ucap Arel sambil tersenyum.

Ara mengusap hidupnya yang beringus lalu mengangguk. Membuat Arel tersenyum geli dan menuntun Ara ke bangku kayu di pinggir kolam. Keduanya duduk bersisian, Ara menunduk masih terisak sementara Arel tengah menatapnya, mencoba memahami kenapa gadis di sampingnya ini tampak kacau.

"Tunggu bentar, gue ambilin minum," ucap Arel berlalu masuk dan kembali membawa segelas air untuk Ara. "Minum dulu, biar enakan."

Ara menurut, setelah mengambil napas panjang, dia menatap Arel. Tidak yakin bagaimana memulai ceritanya.

"Gimana, udah siap buat cerita? Atau lo masih perlu waktu?" Tanya Arel yang dijawab dengan gelengan dari Ara.

"... aku, ... aku, ... putus sama Kak Bintang." Ucap Ara lirih dengan suara bergetar menahan tangis.

"Apa? Lo kenapa sama dia?" Arel tak percaya dengan pendengarannya, menatap Ara bingung.

"Aku putus sama Kak Bintang."

"Wey! Ini gue nggak salah denger, 'kan?" Arel berusaha meyakinkan pendengarannya, namun melihat keadaan Ara yang kacau, tampaknya bnerita itu benar.

Kenapa Bintang tiba-tiba memutuskan hubungannya dengan Ara?

Kenapa dia melakukan hal sebaliknya dari apa yang dia sampaikan dalam emosi semalam?

Sekarang banyak pertanyaan yang menyeruak di kepala Arel.

Arel kembali menatap Ara, kali ini dia merasa tidak tega ada Ara yang seperti ini. Lalu dengan keberanian yang dipaksakan, Arel meraih tangan kanan Ara untuk digenggamnya.

"Lo beneran putus sama dia?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Aku juga nggak tahu, padahal kemarin-kemarin kita masih baik-baik aja. Aku nggak tahu kenapa Kak Bintang seperti itu." Jelas Ara begitu lirih.

Mendengar itu seketika ada rasa kesal dan marah pada diri Arel karena Bintang sudah menyakitu Ara..

"Kak Bintang bilang kalau aku sebenernya nggak cinta sama dia. Kak Bintang juga bilang kalau perasaanku padanya hanya sebatas kagum. Dan katanya dia nggak rela berbagi pehatian dengan orang lain."

Sekali lagi, Ara mengelao hidungnya. "Anehnya, aku ngerasa jahat karena semua hal yang Kak Bintang katakan. Meski dia melakukannya dengan hati-hati dan mencoba untuk nggak menyinggung aku."

"Kak Bintang bilang kalau dia nggak bisa meneruskan hubungan ini. Dia nggak mau sakit hati."

Arel berdecak mendengar penuturan Ara. Kakak kelasnya itu memang menyebalkan. Jika akhirnya dia memutuskan hubungannya, lantas kenapa semalam dia marah-marah seperti orang gila?

"Lo terima gitu aja penjelasan nggak jelas dari dia?" tanya Arel dengan kekesalan yang ditahannya di hadapan Ara.

"Aku sedih, aku nggak menyangka ini akan terjadi. Tapi, ... anehnya aku justru merasa bersalah karena rasanya aku menyakiti Kak Bintang."

"Lo nggak perlu merasa terbebani, harusnya dia yang minta maaf sama lo."

"Udah, Kak Bintang menyampaikan maafnya juga sama aku. Dia mutusin aku dengan baik, dan aku ngerasa kalau aku jahat sama dia." Ara kembali menangis. Sungguh dia merasakan rumit dalam hatinya.

Arel menepuk-nepuk pelan bahu Ara. "Terus sekarang lo maunya gimana?"

Sekalipun dia marah pada Bintang, anehnya Arel merasa bisa memahami tindakan Bintang saat ini. Berdasarkan apa yang terjadi semalam, rasanya dia tahu alasan Bintang.

"Lo mungkin emang ngerasain hal yang nggak nyaman sekarang. Tapi gue pikir, mungkin ini yang terbaik buat lo berdua. Gue bicara begini bukan karena gue benci sama dia, tetapi gue bisa mengerti. Apalagi, lo bilang dia mutusin lo dengan cara yang baik, 'kan?"

Ara mengangguk, "Tapi aku sedih, aku kecewa dan ngerasa bersalah aja."

"Bersalah karena apa?"

"Aku ngerasa udah mengkhianati Kak Bintang dengan membagi perhatian antara dia sama kamu."

Arel mendongak untuk menatap Ara lebih jelas. "Gue? Kenapa jadi gue?" tanya Arel yang kini mulai berpikir tentang seseuatu yang jauh namun dia harapkan.

"Kak Bintang bilang, aku harusnya fokus sama kamu. Aku nggak bisa perhatian dan suka sama dia karena aku membagi perasaan itu sama kamu. Karena menurutnya aku lebih butuh keberadaan kamu daripada dia di sampingku." jelas Ara dengan suara pelan, karena dia malu dan tak yakin dengan apa yang dia rasakan sekarang.

Arel menghela napasnya panjang, "Lalu apa yang lo rasain sama gue? Apa semua yang Bintang katakan itu bener-bener lo rasain?"

Ara diam, tak bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menunduk memainkan tali tas sekolahnya.

"Ara, liat gue sekarang." Arel meraih dagu Ara untuk membuat gadis itu menatapnya. "Bintang mengatakan itu semua sebagai alasan untuk meg=ngakhiri hubungan kalin. Lantas, lo sendiri gimana? Lo ngerasain itu ke gue?"

"Apa lo lebih butuh keberadaan gue dlam hidup lo?"

Ara hanya diam menatap Arel tanpa bisa menjawab.

"Gue harap jawaban lo adalah iya, Ra. Karena gue ngerasain itu semua sama lo." ucap Arel yang membuat Ara mengerjap merasakan panas di sudut matanya hingga kristal bening itu kembali meleleh membasahi pipinya.

"Hei, kenapa lo malah nangis? Ini gue lagi confess loh, padahal." Arel buru-buru mengusap air mata Ara dengan ibu jarinya.

Lalu tanpa disangka, Ara menjatuhkan dirinya dalam dekapan Arel. Memeluk Arel dengan erat dan menangis terisak.

"Maaf..." ucapnya lirih.

"Kenapa? Lo nggak bisa menerima perasaan gue?"

Ara menggeleng, masih dalam dekap Arel. "Maaf karena nggak menyadari perasaan ini sejak awal. Maaf karena  bikin kamu sama Kak Bintang merasa sakit hati."

"Jadi, ini gue diterima apa ditolak? Tapi, sekalipun lo nolak gue, perasaan gue akan sama kok Ra. Gue nggak akan bisa benci sama lo, dan gue akan selalu ada di samping lo kapanpun lo butuh. Jadi jangan merasa terbebani dengan perasaan yang gue punya. Gue hanya mau supaya lo tau aja. Kalau lo nggak jawab pun, gue nggak apa-apa." lanjut Arel mengatakan apa yang ada di hatinya pada Ara.

Sejak awal, dia memang tak pernah ingin memaksakan perasaannya pada Ara. Dia cukup menyayangi, dan menjaga Ara supaya dia bahagia. Bahkan jika dia hanya menjadi pilihan kedua bagi Ara, dia rela menjalaninya. 

"Iya, makasih ya, Rel. Sekali lagi aku minta maaf." bisik Ara. "Aku sayang kamu."

Arel tersenyum mendengar ucapan Ara, balas memeluk gadis itu dengan erat. "Gue jauh lebih sayang sama lo, Ra."

Keduanya melepaskan peluk, saling menatap dengan segaris senyum terlukis di bibir mereka.

"Karena lo bilang, lo sayang sama gue. Maka gue anggap lo menerima perasaan gu. Tapi kalau lo masih merasa aneh, kita nggak perlu pacaran kok, Ra. Kita cukup jadi kita seperti biasanya, supaya lo juga nggak canggung sama gue. Hm, apa ya sebutannya? Shabatan rasa pacar?" 

Ara tersenyum mendengar ucapan Arel, tampak masih malu dengan hadirnya perasaan yang terbuka diantara mereka. "Emang ada yang kayak gitu?"

"Ada dong. Kita berdua, nih!" jawab Arel tersenyum lebar. "Sahabat rasa pacar, itu nggak buruk juga 'kan? Dengan ini juga kita nggak akan bisa putus."

Arel meraih kedua tangan Ara lalu mengecupnya singkat. "Dengan ini, kita berdua akan menjalani hubungan yang saling mendewasakan dan saling mengingatkan satu sama lain. Dan sampai masa siap itu tiba, lo mau 'kan untuk terus menemani hari-hari gue?"

Kali ini tanpa ragu Ara mengangguk."Iya, aku mau." jawabnya tersenyum pada Arel.

***

Hari ini sebuah kisah baru saja berakhir, dan kisah lain baru dimulai. Tidak ada hal yang pasti di dunia ini, namun ketika kita menemukan seseorang yang bisa kita jadikan penopang, maka kita tidak akan goyah disetiap langkah ke depan.

Mungkin ini baru awal dari kisah dua anak muda dalam menjalani hidup mereka. Namun pondasi dan keyakinan awal yang kuat bisa membawa mereka ke arah yang lebih baik di masa depan. Jalan yang dilalui memang tidak akan selalu indah, tapi kau bisa kuat melaluinya saat kau tak sendirian.

.

.

Tamat.

.

With luv, Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro