Bab 6. Mas Taeyong Enisti KW

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Ara baru saja menutup bukunya, berniat segera pulang setelah selesai mengerjakan tugasnya.

Dia masih beradaptasi dengan pelajaran di kelas, sehingga dia meminjam beberapa buku catatan Cindy dan Rere untuk dipelajarinya di perpustakaan sepulang sekolah.

Kedua temannya itu sudah lebih dulu pulang karena mereka ada jadwal les.

Baru saja bangkit dari kursi berbalik untuk pergi, tubuhnya terantuk tubuh seseorang.

"Aduh!"

"Eh, sorry! Maaf ya, nggak sengaja!"

Ara menggosok hidungnya yang rasanya menabrak bahu sosok di hadapannya itu.

"Loh? Kayaknya pernah ketemu ...?"

Ara mendongak begitu mendengar suara yang asing itu. Matanya membola begitu melihat siapa yang ada di hadapannya.

Taeyong ensiti KW.

"Oh ...." Ara tidak bisa mengatakan hal lain karena tidak menyangka akan bertemu.

"Kamu bukannya yang jatuh di depan ruang guru waktu itu ya?"

"Iya."

"Ternyata kita ketemu lagi, kamu nggak apa-apa? Maaf, saya nggak tahu kamu berbalik mau jalan."

"Iya, nggak apa-apa," jawab Ara meski hidungnya agak nyut-nyutan.

Si Taeyong ensiti tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Ara.

"Kayaknya kita harus kenalan deh, ketemunya nabrak mulu," ucapnya masih dengan senyuman yang begitu manis. "Nama kamu siapa?"

Ara menyambut jabat tangan itu, "Ara."

"Oh, Ara, ya? Namaku Bintang, kelas XII."

Oh, kakak kelas rupanya. - batin Ara.

"Kamu kelas berapa? Kelas X? Aku kayaknya nggak pernah lihat kamu."

"Bukan, Kak. Saya kelas XI, murid pindahan."

"Oalah, pantesan nggak pernah lihat. Padahal aku hampir tahu sebagian murid di sini."

Ara hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi ucapan Taeyong ensiti yang diketahuinya bernama Bintang itu.

"Kamu belum pulang jam segini?"

"Ini mau pulang sih, Kak."

"Oh, yaudah bareng sampai depan aja," ajak Bintang yang mulai berjalan, juga Ara yang mengikuti dengan ragu.

"Ngapain jalannya di belakang situ, Ra? Sini maju, kalo di belakang nggak enak ngobrolnya."

Ara mengangguk canggung, senyum Bintang benar-benar manis. Membuat Ara tidak berani menatap lama-lama.

"Kalau boleh tahu, kamu pindahan dari mana, Ra?"

"Aku pindah dari Surabaya, Kak."

"Asli orang Surabaya?"

"Nggak, aku justru aslinya orang sini. Tapi dulu Papa sempet mutasi kerjaan di sana, jadi ya dulu kita sekeluarga pindah kesana."

"Hm, gitu. Berarti udah nggak asing ya, di sini?"

"Nggak juga sih, Kak. Masih harus adaptasi juga. Banyak yang berubah setelah 7 tahun."

Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah, Ara menatap Bintang sesaat sebelum tersenyum sopan pada si Kakak kelas.

"Aku pulang dulu ya, Kak," pamit Ara.

"Kamu naik apa?"

"Naik ojek online, udah pesen pas tadi di perpustakaan. Itu Abangnya udah dateng. Duluan ya, Kak?"

"Iya, hati-hati, Ra."

Ara hanya mengangguk sebelum berjalan menghampiri Abang ojek online yang sudah menunggunya.

Ya ampun, kenapa ramah dan santai banget sih?

Padahal baru kenal dan itu pun karena dua kali kecelakaan.

Ara terus tersenyum-senyum di belakang Abang ojek, dia terus membayangkan senyum manis Bintang. Ada rasa senang yang tersembunyi dalam hatinya.

***

"Cindy, boleh tanya nggak?"

Cindy yang sedang membenahi catatan  pelajarannya, mendongak melihat Ara yang duduk di depannya. Mereka sedang jam istirahat kedua, yang sering mereka gunakan untuk bersantai dalam kelas.

"Boleh, mau tanya apa?"

"Di sini ada murid populer selain Arel, nggak sih?" tanya Ara setengah berbisik.

"Hm? Murid populer yang gimana nih maksudnya? Yang nakal, yang pinter, yang caper, yang ganteng, atau yang cantik?" balas Cindy agak heran dengan pertanyaan Ara.

"Yang ... gimana ya?" Ara sedikit bingung menjelaskan tentang Bintang, "Ya pokoknya sejenis itu."

Cindy tampak berpikir sebentar sebelum menjawab, "Kalau yang kualifikasi populernya beda tipis sama Arel, ada sih."

"Siapa?"

Cindy mengedarkan pandangnya ke lapangan olahraga yang nampak dari jendela bangkunya. "Tuh, orangnya. Yang pakai kaos seragam basket nomor 7," tunjuk Cindy.

Ara melongokkan kepalanya ke jendela yang mengarah ke lapangan. Kelasnya memang berada di lantai 2 sehingga mudah baginya menemukan sosok yang di maksud Cindy.

"Itu Kak Bintang, most wanted-nya SMA 17 juga. Bisa dikatakan dia ini kebalikannya Arel, sih. Kalo Arel tuh ibaratnya Dark side, nah Kak Bintang itu Bright side-nya. Dia ketua OSIS sih, padahal udah kelas XII."

Ara hanya bisa ber-ohh ria mendengar penjelasan Cindy. Pantas saja sosok Bintang begitu baik dan ramah. Cocok dengan image ketua OSIS dan most wanted. Tanpa sadar Ara tersenyum-senyum saat pandangannya mengikuti sosok Bintang di lapangan.

"Eits! Ada apa nih? Kok fishy banget nanyain Kak Bintang?" Cindey menatap Ara dengan penuh selidik.

"Apa sih, Cindy? Cuma nanya doang, kok," kilah Ara menyembunyikan senyumnya malu.

Pletak!

Ara dan Cindy menoleh kaget saat melihat tutup bolpen terlempar ke arah mereka mengenai kaca jendela.

"Lo berdua berisik banget! Ganggu gue mau tidur!" ucap Arel si pelaku pelemparan tutup bolpen. Dia menatap Ara dan Cindy dengan tatapan kesal dan mengantuk, lalu sebelum keduanya sempat membalas, Arel sudah menundukkan kepalanya di atas kedua lengannya.

Cindy mendengus kesal, terlihat ingin mengumpat. Namun, gadis itu hanya mendelik kesal. Padahal mereka bicara dengan suara pelan, nyaris berbisik. Dari mana Arel yang duduk di ujung seberang ruangan bisa mendengarnya?

Dasar menyebalkan.

Ara menghela napasnya pelan. Sejak pertemuan keluarga mereka 3 minggu yang lalu, dia dan Arel tidak banyak bicara lagi. Arel kembali seperti sosok yang dikenalnya pada hari pertama sekolah, sama sekali berbeda dengan sikapnya saat di rumah beberapa waktu lalu.

Rere yang baru datang dari toilet melihat kedua temannya dengan bingung, "Kalian kenapa?"

"Sebel tuh sama si Arel. Heran gue, kerjaannya kalau nggak bolos kelas ya tidur. Tapi kenapa otaknya jenius? " gerutu Cindy mengadu pada Rere yang ditanggapi tawa ringan dari sahabatnya itu.

"Kayaknya emang udah settingan Tuhan, isi kepala Arel tuh bagus. Jadi mau gimana juga tetep aja bagus."

"Beneran heran gue. Mana setiap dikasih pertanyaan dia jawab mulu. Kadang bikin gue kesel," lanjut Cindy masih menggerutu sementara Rere dan Ara tertawa dengan suara pelan menanggapinya. Tentu mereka tidak mau mengeraskan suara jika hanya akan menjadi sasaran lemparan Arel lagi.

***

Ara sedang berdiri di luar gerbang sekolah, meneduh di bawah pohon Tabebuya yang ditanam di pinggir trotoar. Sinar matahari memang terik sekali hari itu. Tadi Papanya bilang akan datang menjemput sehingga Ara  tidak memesan ojek online seperti biasa. Tetapi ini sudah hampir 30 menit dan Ara sudah lelah berdiri.

DIcobanya menghubungi ponsel sang papa, namun hasilnya nihil. Justru tersambung pada kotak suara. Chatnya sedari tadi pun hanya meninggalkan jejak centak satu tak terbaca oleh Papanya. 

"Ara?"

Panggilan ramah itu membuat Ara menoleh dan melihat Bintang keluar dari gerbang dengan motor matic-nya.

"Kamu ngapain di situ?"

"Oh, Kak Bintang. Ini, sedang menunggu jemputan. Tapi dari tadi belum dateng."

"Oh, gitu?" Bintang sudah menghentikan motornya di depan Ara. "Mau aku anter?"

"Eh, nggak usah, Kak! Nanti takut telisipan sama yang jemput," tolak Ara tidak enak.

"Tapi kamu udah nunggu lama, 'kan? Aku anterin aja, lagian ini cuaca panas banget, nanti kamu gosong 'kan nggak lucu," canda Bintang demi membuat Ara mau menerima tawarannya.

"Nanti ngerepotin, Kak. Nggak usah, aku naik ojek aja."

"Nggak apa-apa, aku antar aja. Sini," Bintang sudah turun dari motor dan mengambil satu helm dari dalam joknya. Meskipun sedikit ragu-ragu, Ara akhirnya menerima tawaran Bintang dan memakai helmnya.

Setelah itu keduanya meninggalkan sekolah, tanpa menyadari tatapan seseorang yang sedari tadi mengamati mereka dari seberang jalan.

.

.

.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro