Bab 5. Salah Nggak Sih?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

"Hai, Ara. Senang bisa ketemu kamu, lagi."

"Kamu?! Ngapain di sini??"

Ara tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat sosok Arel, duduk di hadapannya dengan seulas senyum menahan seringai, juga tangan terulur membalas jabat tangannya.

"Lho, kalian udah ketemu sebelumnya?" tanya Tante Ninis bingung melihat interaksi keduanya.

"Ara, kok gitu sih, Nak, sambutannya ke Rafael?" tegur Mama Ara.

"A-anu, Tante, Ma ...."

"Kebetulan saya dan Ara satu kelas, Tante Kirana. Tadi ketemu di sekolah, dan kayaknya Ara nggak mengenali saya," jelas Arel.

"Oh, Ara sekolah di SMA 17?"

"Iya, Nis. Tadi hari pertama dia masuk. Eh, nggak nyangka justru sekelas sama Rafael."

"Wah, kebetulan yang baik ini. Kamu jadinya nggak sendirian, Ra. Kamu bisa minta bantuan Rafael kalau kesulitan. Kamu tidak keberatan 'kan, Rafael?" ucap si Papa.

"Iya, Om. Nggak keberatan sama sekali." Arel tersenyum, begitu pun para orang tua yang merasa senang dengan pertemuan ini.

Ara duduk di samping Mamanya, memperhatikan Arel yang sedang ditanya-tanya perihal sekolah.

Bagaimana mungkin, anak yang 'most wanted'nya sekolah karena kenakalannya adalah Rafael teman kecilnya?

Arel yang di awal pertemuannya tadi membuat Ara merasa takut, juga kesal.

Dilihat berapa kali pun, Arel bukan Rafael. Nggak mungkin.

Dimana Rafaelnya yang pendiam dan pemalu? Lalu bagaimana Rafael yang gembul dan baik, menjadi Arel yang kurus dan urakan?

Ara tidak bisa menerima hal ini. Terlalu aneh. Dipikirkan berapa kali pun rasanya kepribadian Rafael dan Arel terlalu berbeda. Mungkinkah seseorang bisa berubah drastis seperti itu?

" ... Ra, Ara, Ra ..."

Sentuhan tangan sang Mama di lengannya membuyarkan lamunan Ara.

"I-iya, Ma, gimana?"

"Kamu dari tadi diem aja, diajakin ngobrol dong Rafaelnya. Masa dari tadi Rafael ngobrol sama Mama Papa?"

Ara bingung seperti orang bodoh, dengan cepat dia menatap Arel yang kini menatapnya dengan tersenyum. Gestur tubuh dan sikap Arel sangat berbeda saat di sekolah, meski senyuman menyebalkan itu masih bisa terlihat samar di sudut bibirnya.

"Kayaknya Ara masih malu dan canggung ya ketemu Rafael lagi? Padahal kalian berdua deket banget dulu. Kemana-mana pasti barengan," ucap Tante Ninis menggoda, gemas memang mengingat masa kecil Ara dan Rafael.

"Iya, kayaknya. Lama nggak ketemu, dan udah pada gede. Pasti bingung dan canggung mau ngomongin apa, iya 'kan?" timpal Papa Ara.

"Nanti juga akrab lagi kalau sudah sering ketemu. Satu kelas juga, 'kan. Bisa main bareng lagi."

Ara hanya tersenyum mendengar ucapan para orang tua.

Masalahnya bukan hanya canggung dengan bahan obrolan, Ara terlalu terkejut dengan perubahan juga kenyataan dihadapannya. Kesan pertamanya pada Arel tadi pagi tidak bagus, menerima fakta bahwa cowok menyebalkan itu ternyata sahabat kecilnya bukanlah hal mudah.

Setelah perbincangan yang tidak terlalu lama itu, mereka kemudian pindah ke ruang makan untuk makan malam bersama.

"Kamu masak banyak, Na?' tanya Tante Ninis terkejut melihat banyaknya hidangan yang disiapkan Mama Ara.

"Iya, Nis. Aku terlalu senang, kamu dan keluarga mau datang memenuhi undanganku. Aku sempat khawatir kalian sibuk dan menolak."

"Nggaklah, pasti disempatkan kalaupun sibuk. Aku juga senang bisa ketemu kamu dan keluarga lagi," jawab Tante Ninis.

Ara masih diam mengekori para orang tua yang berjalan lebih dulu di depan. Arel berjalan di belakangnya.

"Nggak ada yang mau lo omongin ke gue, Siput?" bisik Arel bertanya tepat di telinga Ara, membuat gadis itu terlonjak kaget.

"A-apa?"

Posisi keduanya begitu dekat, Ara dengan tatapan bingungnya sementara Arel dengan seringai jahilnya yang berusaha dia sembunyikan.

"Lo kaget banget liat gue?"

Ara tidak langsung menjawab karena mereka sudah sampai di meja makan, tentu saja Ara tidak tahu harus menjawab apa. Sesekali dia melirik Arel yang duduk tepat di hadapannya. Arel bersikap biasa saja seolah tidak terkejut mengetahui kalau Ara yang merupakan teman barunya adalah sahabat kecilnya. Apa hanya Ara yang bersikap terlalu berlebihan karena kaget?

Keluarga mereka makan malam dengan nyaman, sesekali diselingi pembicaraan orang tua yang mengenang masa lalu ataupun membicarakan masa sekarang mengenai kabar dan pekerjaan mereka. Keluarga Tante Ninis masih sama ramah dan menyenangkan seperti ingatan Ara sewaktu dulu. Hanya Rafael atau Arel yang menjadi pembeda.

Ara merasakan tendangan pelan mengenai kakinya di bawah meja, sontak matanya menatap Arel di hadapannya yang tersenyum miring menatapnya.

'Apa' - tanya Ara melalui tatapan matanya.

Namun, yang dilihatnya justru Arel yang tertawa kecil kemudian seolah tidak terjadi apa-apa, dia melanjutkan makannya. Sementara Ara tentu heran dengan kelakuan Arel.

Ara menahan diri untuk tidak mendengus kesal, semakin tidak ingin mengakui cowok iseng di hadapannya ini adalah Rafaelnya.

Selesai makan bersama, Ara menawarkan diri untuk membereskan dan mencuci peralatan bekas makan, niatnya agar dia tidak perlu ikut berbincang dengan para orang tua dan semakin terlihat canggung. Namun, Arel justru mengikutinya.

"Taruh di situ aja, nanti aku cuci," ucap Ara saat Arel datang membawa mangkok kotor dan beberapa piring.

"Gue bantuin, biar cepet selesai, sini." Arel berdiri di samping Ara, melepaskan kemeja luarnya hingga menyisakan kaos lengan pendek berwarna hitam. Tangannya dengan sigap langsung meraih spons cuci dan mengambil alih piring kotor dari tangan Ara.

Ara bergeser ke samping, rasanya canggung. Dari sudut matanya dia melirik sosok Arel yang sama sekali berbeda dengan image yang ditunjukkannya tadi pagi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Siput."

"E-eh, apa?" jawab Ara yang kini kembali fokus membilas peralatan yang sudah digosok sabun. Tidak mau terlalu menanggapi Arel yang mungkin iseng lagi padanya.

"Yang tadi, lo kaget ketemu gue?"

Ara diam, tidak tahu harus menjawab apa. "Memangnya kamu nggak kaget?"

"Nggak tuh."

Ara menoleh, menatap Arel dengan pandangan bertanya, "Kamu nggak merasa aneh, teman baru sekelasmu adalah aku?"

"Nggak. Gue udah tahu sih. Lo inget waktu gue nabrak lo tadi pagi?"

Ara mengangguk, mengingat kejadian menyebalkan di hari pertamanya sekolah tadi.

"Gue liat lo turun dari ojek, antara yakin dan nggak yakin sih, gue ngerasa itu adalah lo, karena Mama kemarin bilang kalo Tante Kirana sekeluarga pindah lagi ke sini. Lalu dugaan gue teryakinkan saat lo masuk kelas dan memperkenalkan diri."

Ara menatap tak percaya pada penjelasan Arel. Jadi, tadi pagi Arel sudah mengenali dirinya?

"Kenapa kamu yakin? Padahal kita udah lama nggak ketemu. Bisa jadi itu orang lain yang mirip aku, 'kan?"

Arel meletakkan gelas terakhir yang sudah dibilasnya ke rak, mengelap kedua tangannya kemudian menatap Ara dengan senyuman yang berbeda.

"Gue yakin, karena Jenara Izumi cuma ada satu di dunia ini. Dan dia sahabat kecil gue." Jawab Arel tersenyum kemudian menaruh piring di rak, sebelum berlalu meninggalkan Ara sendirian di dapur dengan kebingungan yang semakin dalam.

.
.
.

Bersambung

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro