Bab 4. Tamu Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Ara baru saja sampai di rumah, membuka pintu dan mencium bau wangi masakan Mamanya.

"Ara pulang, Ma!" teriaknya sambil melepas sepatu lalu meletakkannya dengan rapi di rak.

"Hai, Sayang! Mama di dapur!"

Ara tersenyum lebar kemudian berjalan menghampiri sang Mama.

"Wah! Masak banyak nih! Tumben, Ma. Papa udah pulang?" tanya Ara yang kemudian duduk di meja makan.

"Belum pulang, bentar lagi kayaknya. Ara, cuci tangan dulu!" tegur sang Mama saat melihat Ara mengulurkan tangan untuk mengambil ayam goreng.

Ara meringis, "Iya-iya, Ara lupa. Maaf, Ma."

"Kamu mandi sekalian ya, siap-siap nanti kita makan bareng."

"Bukannya tiap hari kita makan bareng, Ma?" tanya Ara bingung.

"Nanti kita ada tamu. Kamu inget Tante Ninis, 'kan? Tetangga kita dulu? Mama undang Tante Ninis dan keluarganya untuk makan malam sama kita. Sekalian reunian," jelas sang Mama.

"Bukannya Tante Ninis tinggal di sebelah? Kenapa juga harus reunian?"

"Tante Ninis dan keluarganya udah lama pindah. Rumah sebelah udah ditempati orang lain."

Ara mengangguk mendengar penjelasan sang Mama.

Ara ingat, Tante Ninis adalah tetangga yang tinggal di sebelah rumahnya. Dulu waktu kecil, Ara sering bermain di rumah Tante Ninis yang punya anak seumuran dengan Ara. Namanya Rafael. Mereka bersekolah di Taman Kanak-kanak, juga Sekolah Dasar yang sama. Pokoknya Rafael dan Ara selalu pergi dan bermain bersama. Sejak pindah, Ara tidak pernah tahu kabar Rafael.

Rafael anak yang baik, berperawakan sedikit tambun, suka sekali mengikuti Ara karena dia tidak punya teman sebaya di lingkungan mereka selain Ara. Ada sih, tapi di blok depan agak jauh dari perumahan mereka. Rafael itu penakut, apa lagi pada serangga. Pernah sekali dia berteriak dan menangis histeris karena seekor belalang kayu besar hinggap di bahunya.

Ara tersenyum mengingat kenangan masa kecilnya dengan Rafael. Apakah Rafael masih ingat dengannya juga? Seperti apa sosok Rafael sekarang? Mungkin dia menjadi pemuda yang ramah, santun, dan pemalu seperti yang diingatnya saat kecil.

Masih dengan senyuman yang terkembang di bibirnya, Ara yang sudah selesai mandi kemudian bersiap, niatnya ingin segera turun untuk membantu Mamanya mempersiapkan makan malam. Namun, saat melintasi tempat tidurnya, perhatiannya teralihkan pada hoodie putih yang teronggok begitu saja di atas ranjang.

Hoodie milik Arel. Yang dilemparkannya begitu saja sebelum mandi tadi. Ara meraih hoodie putih itu dan menyimpannya ke keranjang cucian.

Suara salam dari arah pintu depan, menandakan kepulangan Papanya. Ara mempercepat langkahnya untuk turun dan menyambut sang Papa.

"Papa!"

"Halo, Jelek! Kamu udah di rumah?" tanya Papanya saat melihat Ara meringis dari ujung tangga.

"Papa ish! Cantik tau!"

Ara menghampiri sang Papa, mencium tangan lalu mengajak Papanya untuk ke ruang makan.

"Istirahat dulu, abis itu mandi dan siap-siap ya, Mas," ucap sang Mama dari arah dapur.

"Iya, bentaran. Masih gerah, Ma. Nanti Ninis sekeluarga jadi datang, 'kan?"

"Jadi, makanya aku suruh Ara siap-siap. Sini, bantuin Mama!"

"Tapi, ini banyak banget, Ma," ucapnya begitu melihat jenis masakan yang beraneka macam.

"Ya, nanti Tante Ninis pasti ngajakin Rafael juga. Kalo kita siapinnya dikit, 'kan nggak enak, Sayang."

***

Bel pintu berbunyi, membuat Ara dan orang tuanya yang sudah selesai menyiapkan segalanya, langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah pintu.

"Kayaknya mereka udah datang, Mama bukain pintu dulu."

Mamanya menuju pintu depan dengan senyuman yang terlukis di bibirnya.

Ara mendengar suara-suara ceria saling bertegur sapa dari ruang tamu, tanpa sadar dia ikut tersenyum dan merasa antusias juga. Ara pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya.

Dari kamar mandi di dengarnya suara sang Mama yang bicara dengan nada begitu senang. Disusul suara-suara lain yang ikut menimpali. Ara menajamkan telinga, mendengarkan dengan seksama. Mencoba menerka mana suara Rafael.

Tak lama ketukan di pintu kamar mandi membuatnya kaget dan kehilangan konsentrasi.

"Ra, kamu di dalam? Kamu kenapa? Sakit perut?"

"Nggak, Ma. Ini sedang cuci tangan, kok."

"Ya sudah, kalau begitu cepet keluar, ya. Nggak enak sama keluarga Tante Ninis, nanti dikira nggak sopan."

"Iya, Ma."

Ara menggosok tangannya dengan sabun sampai bersih, setelah memastikan tangannya kini harum, dia segera keluar menuju ruang tamu.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, dilihatnya di ruang tamu sudah ada beberapa orang yang pasti Tante Ninis dan keluarga. Tante Ninis duduk berhadapan dengan Mamanya sementara ada dua sosok lain yang duduk di sofa yang membelakangi arah dari dalam. Ara bisa menebak sosok itu pasti Om Adam dan Rafael.

"Eh, ini dia! Ara, 'kan? Ya ampun! Kamu udah segede ini, cantik sekali!" sapa Tante Ninis begitu melihat Ara datang.

Ara tersenyum sopan, kemudian menyalami Tante Ninis.

"Tante pangling sama kamu, cantiknya! Persis kayak Mama kamu, ya? Tapi ini versi yang lebih muda dan kekinian," lanjut Tante Ninis yang masih tersenyum senang dan mengelus-elus tangan Ara.

"Jadi, aku udah tua dan kuno, gitu?" sahut Mama Ara pura-pura ngambek pada Tante Ninis. Membuat keduanya tertawa bersama kemudian.

"Ora, sampean iki panggah ayu, Na. Ora tuwo-tuwo, pantese dadi mbake Ara," jawab Tante Ninis membuat semua orang tertawa.

"Heleh, gombal. Anake wes gede, tapi aku kok ora ikhlas dadi tuwo. Opo iyo, ngunu?" lanjut Mama Ara yang diangguki oleh Tante Ninis.

"Aku juga nggak mau dianggap tua, Na. Apa lagi Abraham udah kuliah."

"Lah, iya. Kok Abraham nggak ikut?"

"Katanya ada tugas kuliah sama temennya, nggak bisa ditinggal."

"Oh, begitu. Lain kali deh, kita ketemuan lagi pas ngumpul semua. Oh, Ara, salam dulu sama Om Adam dan Rafael," ucap Mama Ara yang baru ingat Ara masih bersalaman dengan Tante Ninis.

Ara mengangguk, saat Tante Ninis sudah melepas genggamannya, dia berbalik untuk menyapa Om Adam dan Rafael yang sejak tadi diam.

Ara yang datang dari dalam tentu saja berada di posisi membelakangi mereka.

"Halo, Om Adam. Apa kabar?" ucap Ara menyalami suami Tante Ninis itu dengan sopan.

"Kabar baik, Ra. Padahal dulu kamu kecil banget, tapi sekarang udah segede ini. Papamu harus siap-siap nih, pasti anaknya banyak yang naksir."

"Kudu siap, lah. Maju paling depan pokoknya, Dam. Siapa aja yang deketin Ara, harus melewati Papanya," lanjut Papa Ara yang disambut gelak tawa semuanya. Sementara Ara hanya mencebik, tidak habis pikir dengan sikap Papanya.

Setelah menyalami Om Adam, Ara bergeser ke kanan untuk menyapa sosok Rafael yang sejak tadi tidak bersuara. Ara gugup, dia sengaja teeus menunduk sejak tadi agar tidak bersitatap dengan Rafael. Aneh rasanya, padahal dulu mereka sangat dekat. Namun, sekarang kenapa terasa gugup dan canggung.

"Masih inget 'kan, Ra, sama Rafael?"

"Iya, Tante."

Ara yang masih menghindari untuk bertatap wajah dengan Rafael, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Hai, Rafael. Apa kabarnya? Lama nggak jumpa, ya," sapa Ara yang kemudian berani mengangkat wajah menatap Rafael.

Dan bagai terkena prank, kedua matanya membola saat menyadari sosok yang kini sedang tersenyum membalas uluran salamnya.

"Hai, Ara. Senang bisa ketemu kamu, lagi."

"Kamu?! Ngapain di sini??"

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro