Bab 8. Awali Pagimu Dengan Kejutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Rasanya hampir semua mata menatap saat melihat Rafael Wisaka membonceng murid cewek dengan motornya.

Iya, motor kesayangannya.

Selama ini, Arel tidak pernah mau membonceng siapa pun dengan alasan apapun untuk menaiki motornya. Tetapi, sekarang dia membonceng seseorang yang wajahnya masih asing bagi sebagian besar warga SMA 17.

Jenara Izumi, si murid baru.

Ara langsung turun dan melepas helm-nya setelah sampai di parkiran. Wajahnya sudah dipastikan memerah malu. Dia menyadari pandangan semua orang, juga Arel yang sengaja melambatkan laju motornya begitu masuk ke area sekolah tadi.

"Nih, makasih," ucap Ara menyerahkan helm pada Arel. "Ini kalau terjadi apa-apa sama aku, itu semua salah kamu."

"Gue ngapain?"

Nah, 'kan.

Nada bicara dan bahasa yang digunakan Arel saat di rumah dan di sekolah sangat berbeda.

Di rumah, setiap ucapannya menjadi sopan, ramah, juga bicara dengan Ara menggunakan 'Aku-kamu'.
Tetapi saat di sekolah, sikapnya menjadi masa bodoh, menyebalkan, dan bicara menggunakan 'lo-gue'.

"Apa kamu nggak lihat tadi semuanya ngeliatin kita?"

"Gue biasa aja tuh diliatin tiap hari. Lo aja yang ngerasa."

Ara menghembuskan napasnya kesal, kemudian dengan setengah menghentak dia berbalik meninggalkan parkiran. Tanpa menyadari senyum miring di bibir Arel.

***

"Ara!"

Panggilan lantang itu membuat Ara yang berjalan menuju kelasnya menoleh, mendapati Cindy dan Rere yang berlari dengan napas terengah dari ujung tangga.

"Hai, selamat pagi, kalian."

"Pagi, Ra. Astaga, capek banget lari lewat tangga," keluh Rere sambil mengelap keringat di dahinya.

"Lagian, kalian ngapain pagi-pagi begini lari? Pemanasan sebelum jam olahraga?" canda Ara melihat kedua temannya itu.

"Tau nih, Cindy! Tiba-tiba dia lari dari gerbang pas kamu sama Arel lewat," jawab Rere.

"Nah, itu! Aku beneran nggak halusinasi 'kan, Ra? Kamu beneran bareng Arel tadi?"

"Eh? Iya."

"Hah? Demi apa si Arel mau motornya dipake boncengan?"

"Kok bisa, Ra? Gimana ceritanya? Kok kalian tiba-tiba deket?"

Ara menutup telinganya mendengar suara melengking Rere dan Cindy. Kenapa teman-temannya seheboh itu?

"Nanya satu-satu ish, aku jawabnya gimana? Turunin suara kalian, malu diliatin orang," ujar Ara berusaha menenangkan keduanya.

"Jawab dulu, Ra ... dih kita 'kan pengen tau."

"Iya-iya, yang mana dulu?" Ara pasrah dengan tatapan keduanya yang menuntut jawabannya.

"Kok bisa barengan Arel?"

"Ya, tadi dia ke rumah. Jadi sekalian berangkatnya."

"KOK BISA KE RUMAH KAMU?"

"Ish! Rere jangan teriak!" bisik Ara panik menutup mulut Rere, karena beberapa orang yang mereka lewati menoleh mendengar suara Rere.

Cindy bisa mengendalikan dirinya untuk tetap bersikap tenang meski tatapannya menuntut pada Ara.

"Ceritanya panjang, kapan-kapan deh aku cerita. Pokoknya ya cuma dia tadi datang dan kita barengan ke sekolah, udah," jelas Ara.

Keduanya tampak tidak puas dengan jawaban Ara.

"Tapi, Raaaa, dia itu Arel loh! Arel!"

"Terus?"

Cindy mendengus tidak sabar, kehebohan Rere dan ketidaktahuan Ara ini akan berlanjut jika diteruskan.

"Biar aku jelasin, deh. Begini Ra, Arel itu 'most wanted' karena ulahnya yang aneh-aneh selain otaknya yang pintar. Ada yang suka dia, ada juga yang nggak suka sama dia. Nah, masalahnya si Arel nih tipenya cewek penyuka 'bad boy'. Dan udah nggak terhitung yang suka sama Arel mulai dari seangkatan, adik kelas, sampai kakak kelas."

Cindy menjelaskan dengan telaten sementara kedua temannya menyimak.

"Tapi, Arel nggak pernah bisa atau nggak mau deket sama cewek manapun. Di deketin pakai cara apapun juga nggak mempan. Kamu tahu sendiri, kayak Nayla yang sebel sama aku karena Arel sering deketin aku meski cuma bikin marah doang."

Ara tersenyum mengingat insiden pertamanya dengan Nayla.

"Ada lagi, Ra! Arel tuh nggak pernah mau bonceng siapa pun pake motornya, meski itu temen se-geng dia!" jelas Rere antusias.

Mendengar semua itu membuat Ara paham kenapa semua orang menatapnya dan Arel saat berangkat tadi.

Tapi, bukannya hal seperti itu biasa, ya?

"Emang aneh ya? Aku udah nolak tadi, tapi gimana," Ara tidak mau Mamanya tahu bagaimana mereka di sekolah.

"Ya aneh sih, karena itu tadi. Tapi ya nggak apa-apa juga, cuma kamu harus siap-siap menghadapi para pemuja Arel."

Ara menaikkan alisnya bingung. Para pemuja Arel? Memangnya ada lagi selain Nayla?

Mengedikkan bahunya tidak peduli, Ara masuk ke kelas bersama Rere dan Cindy. Memang sih, Arel yang sekarang bisa dikatakan 'good looking' dan jauh dari image Rafaelnya. Tapi untuk melihat Arel sebagai sosok yang dipuja, menurut Ara, tidak. Baginya, Arel menyebalkan dan membuat Rafaelnya menghilang.

***

Ara sedang duduk di pinggiran lapangan olahraga, sementara Cindy dan Rere sedang giliran bermain voli dengan teman yang lain. Olahraga adalah pelajaran favorit Ara, bisa dikatakan dia cukup jago dalam permainan olahraga. Tadi saja dia sudah berhasil mencetak skor 5-2 yang membuat timnya menang di babak pertama voli.

Sebenarnya sejak keajdian tadi pagi, dia merasa beberapa temannya menatap dan berbisik. Hanya saja Ara tidak mau ambil pusing, toh dia tidak akan berangkat bersama Arel lagi. Entah kemana cowok itu sekarang, sejak bermain satu babak tadi dia menghilang entah kemana bersama teman-temannya.

"Raaa! Ayo main sekali lagi, oper sama Widiya!" teriak Cindy dari tengah lapangan.

Widiya yang terlihat lelah melambai pada Ara. Akhirnya Ara kembali ke lapangan. Permainan di mulai dengan lancar sampai beberapa anak kelas X yang sedang jam kosong ikut menonton dari pinggir kelas.

Banyak yang larut dalam permainan hingga tanpa sadar sorak sorai mulai terdengar menyemangati.

Ara bermain dengan baik dan mencetak banyak skor, membuat mereka unggul 9-4 sekarang.  Seriap  servis yang dilakukan Ara selalu bisa diterima dengan mudah oleh teman-temannya, Cindy bahkan terlihat sangat bersemangat menerima operan bola dari Ara. 

"Sini, Ra!" teriak Indah yang mengoper bola pada Ara, membuat gadis itu mengambil ancang-ancang untuk menerima bolanya.

Ara baru melangkah mundur untuk melompat saat tiba-tiba sepatunya tidak memijak dengan benar dan membuatnya jatuh terkilir.

"Auw!"

Ara memekik memegang pergelangan kakinya yang kini terasa sangat sakit.

"Ara!"

Cindy dan Rere langsung berlari menghampiri dengan panik, sementara Pak Juna menghentikan pertandingan.

"Ra! Ya ampun!" Cindy menyentuh pergelangan kaki Ara untuk memeriksa, namun Ara justru memekik kesakitan.

"Gimana ini? Kita ke UKS!" panik Rere yang celingukan mencari bantuan.

Semua tampak heboh karena kecelakaan yang menimpa Ara. Pak Juna yang panik segera mengambil tindakan untuk membantu Ara.

"Ara! Kamu nggak apa-apa?"

Bintang menyeruak di antara kerumunan dan langsung berlutut di samping Ara.

"Sakit! Aku terkilir, Kak," jawab Ara meringis kesakitan.

"Pak Juna, biar saya yang bawa Ara ke UKS. Bapak bisa siapkan obatnya?" pinta Bintang yang kemudian dengan sigap menggendong Ara di punggungnya.

Pak Juna mengangguk dan berlari mendahului ke ruang UKS. Sementara Bintang mengikuti bersama Ara, Rere, dan Cindy.

"Siput kenapa?"

Arel yang sedang menuju lapangan terheran melihat keramaian yang terjadi. Apalagi dengan Ara yang tampak kesakitan di punggung Bintang.

Kenapa ada Bintang, lagi?

Arel mengeratkan kepalan tangannya, namun kemudian memutuskan pergi ke belakang sekolah bersama teman-temannya.

.
.
.
Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro