Bab 9. Cidera

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Ara menahan tangis saat kakinya diobati, meski sudah meminum obat pereda nyeri dan dikompres menggunakan es, namun rasanya masih berdenyut sakit. Pak Juna berinisiatif untuk membawa Ara ke Rumah Sakit terdekat karena kondisi kakinya mulai biru membengkak, harus segera mendapatkan penanganan yang serius.

Setelah meminjam mobil Pak Afkar, Pak Juna dan Ibu Rhain yang bertugas sebagai petugas kesehatan sekolah, membawa Ara ke Rumah Sakit Permata.

Ara sudah sangat pucat karena menahan sakit yang dirasakannya. Dia hanya bisa meringis dan sesekali meremas ujung seragam Ibu Rhain yang duduk di sebelahnya. Sayangnya, saat ini Rere dan CIndy tidak bisa ikut menemaninya karena harus melanjutkan pelajaran mereka di kelas.

"Sabar ya, Ara. Sebentar lagi kita sampai," hibur Ibu Rhain yang cemas melihat Ara.

"Sakit, Bu." Ara sebenarnya sedikit ngeri melihat kakinya yang kini mulai membiru itu.

"Kamu bawa ponsel? Ibu minta nomor orang tua kamu untuk memberitahukan keadaan kamu, ya?" tanya Ibu Rhain yang hanya dijawab anggukan oleh Ara, dia mencari kontak Mamanya dan menyerahkannya pada Ibu Rhain.

Dia tidak pernah cedera selama ini, lantas kenapa hari ini dia ceroboh dan melukai dirinya sendiri? Ara merasa kesal pada dirinya sendiri, dia ingin menangis tetapi tidak ingin terlihat cengeng.

Mereka sampai di Rumah Sakit, lalu Pak Juna segera masuk untuk mencari perawat jaga di UGD, kemudian kembali dengan membawa kursi roda untuk Ara.

"Pelan-pelan, Pak."

Ara langung dibawa ke ruangan bersama dokter yang langsung memeriksa, dan mengambil tindakan untuk Ara. Pak Juna dan Ibu Rhain menunggu di luar, sementara Ibu Rhain masih menghubungi Mama Ara.

Setelah 35 menit, dokter keluar dari ruangan bertepatan dengan kedatangan Mama Ara.

"Bagaimana, Dok?" tanya Pak Juna yang merasa bertanggung jawab atas kecelakaan Ara.

"Syukurlah Pak, tidak ada yang parah. Ada robek kecil pada ligamennya namun ini tidak berdampak parah. Saya sudah memberikan tindakan untuk mencegah pembengkakan yang lebih parah. Apakah Bapak wali pasien?" tanya Dokter.

"Bukan, Dok. Kami guru pasien di sekolah," jawab Pak Juna menunjuk dirinya dan Ibu Rhain, kemudian beralih pada Mama Ara, "Beliau adalah orang tua pasien, Dok."

"Ibu adalah orang tua pasien? Bisa ikut saya sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan terkait perawatan cideranya nanti."

"Baik, Dok." Mama Ara kemudian menatap Pak Juna dan Ibu Rhain, "Bisakah saya menitipkan Ara sebentar pada Anda?"

"Tentu saja, kami akan menunggu Ara di sini."

***

Ara duduk bersandar pada bantal, menatap langit-langit kamar rawatnya. Meski tak sesakit sebelumnya, dia masih merasakan nyeri di pergelangan kakinya. Pak Juna dan Ibu Rhain sudah kembali ke sekolah 1 jam yang lalu. Ara sendirian di ruangannya sementara sang Mama masih mengurus administrasi dan membeli keperluan obatnya.

Sebenarnya, Ara mulai sedikit merasa mengantuk, tetapi dia tidak mau tidur dalam keadaan sendirian. Beberapa kali kepalanya terkantuk-kantuk, namun Ara berusaha tetap terjaga. Sejuknya udara dari pendingin ruangan mengalahkan Ara, matanya terpejam lalu kehilangan kesadarannya.

"Hah!"

Ara tersentak saat sesuatu yang dingin menempel di dahinya, membuatnya terkesiap bangun dari tidurnya.

"Lain kali, kalau mau tidur tuh rebahan lah. Ngapain lo tiduran sambil duduk? Mau jatuh terjungkal dari tempat tidur? Terus nambah cidera punggung?" omel Arel yang ternyata berdiri di samping tempat tidur Ara. Menahan kepala Ara agar tidak terjungkal.

Ara yang masih setengah sadar tentu saja kaget dengan keberadaan Arel di sini.

"Arel? Kamu ngapain, kok di sini?"

"Ya, menurut lo aja lah. Emang gue keliatan lagi kuis apa gimana, di sini?

Ara mendecak, bicara dengan Arel selalu membuatnya merasa kesal karena Arel selalu memutar balik pertanyaannya.

"Nggak usah manyun, tambah jelek muka lo. Tidur sana, rebahan yang bener."

"Apa sih! Datang-datang malah ngomel, aku lagi nggak mood. Jangan gangguin!"

"Siapa yang gangguin lo? Gue datang untuk menjenguk orang sakit."

"Siapa yang sakit?"

"Anaknya Tante Kirana."

"Hah?"

"Lama-lama gue yang bete ngobrol sama lo. Udah tidur sana, gue jagain."

"Nggak mau, tunggu Mama aja. Kamu tuh yang ngapain di sini? Ini masih jam sekolah, 'kan?"

"Suka-suka gue. Nggak usah mikirin gue, pikir aja itu kaki lo yang jadi bengkak begitu. Lo ngapain aja sih? Perasaan pelajaran olahraga nggak ada yang ekstrem, deh."

Arel mengomel lalu menyamankan duduknya di sofa sebelah tempat tidur Ara. Mengabaikan tatapan Ara yang kesal.

"Kamu tahu dari mana aku dirawat di sini?"

"Gampang, gue 'kan banyak mata di sekolah. Oh, iya, tadi Tante Kirana nitipin lo ke gue."

"Kok? Kamu udah ketemu Mama? Tadi katanya ke apotek aja,"

"Iya, tadi ketemu di lobi depan. Katanya mau pulang ambil baju sama keperluan lo di rumah."

Mendengar itu Ara semakin cemberut, dia bukan gadis yang cengeng tapi sendirian di saat sakit itu rasanya berbeda. Seperti diabaikan.

Arel menghela napasnya pelan, bangkit dari duduknya lalu beralih untuk duduk di samping tempat tidur Ara.

"Lo tuh ngantuk karena pengaruh obat, emang gunanya biar lo istirahat. Jadi, nggak usah melawan rasa kantuk. Buruan tidur."

Arel mendorong kening Ara dengan tangan kanannya sampai kepala Ara jatuh ke bantal.

"Arel!"

"Tidur, buruan. Lo jangan nyusahin gue, atau gue tinggal pergi, nih!"

Ara hanya mencebik kesal tanpa membantah. Toh, dirinya memang sangat mengantuk dan tidak mau sendirian. Pandangannya kini beralih pada kaki kanannya yang kini digantung dan dibalut perban.

Ara kesal, marah, juga sedih pada keadaan, juga pada dirinya sendiri.

Matanya memanas, dia ingin menangis.

Telapak tangan Arel yang dingin tiba-tiba menutupi kedua matanya untuk terpejam.

"Karena nggak ada penutup mata, lo bisa pake tangan kanan gue sebagai penutup, supaya lo bisa cepet tidur," ucapnya dengan ringan seolah sedang bicara dengan anak kecil.

Kalimat yang justru membuat air mata yang susah payah ditahan oleh Ara kini mengalir turun dari sudut matanya.

Ah, Ara tidak mau terlihat cengeng.
Apalagi di hadapan Arel.

Arel tidak lagi bicara setelah itu, dia hanya diam bermain dengan ponselnya di tangan kiri sementara tangan kanannya dibiarkan menutupi mata Ara yang kini basah oleh air mata.

15 menit kemudian, Arel melepaskan telapak tangannya dari mata Ara setelah merasa bahwa gadis itu sudah terlelap.

Diambilnya tisu dari kotak di atas nakas, digunakannya untuk mengelap jejak air mata di sudut mata dan pipi Ara.

Setelah menyelimuti Ara dan memastikannya tidur lelap, Arel berpindah duduk di sofa yang ada di seberang tempat tidur Ara. Pandangannya tidak lepas dari wajah polos Ara, sebelum akhirnya Arel ikut merebahkan dirinya di sofa. Bermain game sambil menunggu Tante Kirana datang.

Sebenarnya, Arel segera menghubungi Tante Kirana begitu dia melihat Ara dibawa pergi menggunakan mobil pak Afkar. Kemudian Arel yang tidak tahu lokasi Ara, diberitahu oleh Tante Kirana yang panik setelah mendapat telepon dari Ibu Rhain.

Papa Ara sedang ada dinas di luar kota, sehingga Mama Arel pun menyusul dan membantu Tante Kirana untuk mengurus dan mengambil perlengkapan Ara di rumah.

Dulu lo selalu jagain gue dari bocah-bocah ngeselin pas kita masih kecil, Ra.

Kayaknya, sekarang giliran gue yang akan jagain lo dari semua hal yang mungkin akan menyakiti lo. - batin Arel setelah melirik Ara, kemudian kembali fokus pada game-nya.

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro