Bab 10. Jalur Orang Dalam Vs Mandiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

"Araaa!"

"Raaa!"

Seruan nyaring itu terdengar begitu pintu ruang rawat Ara terbuka. Menampakkan Rere dan Cindy yang langsung menghambur masuk.

"Sshhh! Kalian jangan teriak-teriak, ish!" tegur Ara yang kemudian tersenyum melihat kedatangan keduanya.

"Datang-datang teriak, salam dulu, lah."

Suara tidak asing itu membuat Cindy dan Rere berbalik dan mendapati Arel yang sedang duduk di sofa bersama dua orang lainnya.

"Lo ngapain di sini?" tanya Cindy kaget namun segera menunduk malu saat menyadari dua wanita di samping Arel yang juga terkejut dengan kedatangan mereka.

"Eh, Selamat siang, Tante. Maaf jika kami berdua tidak sopan, kami pikir Ara sendirian karena dari pintu tampak begitu," ucap Cindy meminta maaf, diikuti Rere yang kemudian menyalami Mama Ara dan Mama Arel.

Memang sofa tamu berada di seberang ranjang Ara, jadi tidak terlihat dari pintu.

"Iya, nggak apa-apa. Kalian teman sekelasnya, Ara?" tanya Tante Kirana.

"Iya, Tante. Kami satu kelas dengan Ara."

"Wah, Ara udah punya teman dekat yang baik ya. Tante senang deh, oh iya, perkenalkan, saya Mamanya Ara."

"Iya, Tante."

"Na, kalau gitu, aku sama Rafael pulang dulu, ya. Kamu kalau perlu sesuatu nanti langsung telepon aku aja. Nanti Rafael juga bisa bantu kok," pamit Tante Ninis.

"Terima kasih banyak ya, Nis. Aku nggak tahu harus minta tolong siapa sementara Papanya Ara sedang ada di luar kota."

"Iya, aku seneng bisa bantuin kamu. Pokoknya kabarin lagi nanti." Tante Ninis mendekati Ara dan mengusap kepala Ara dengan lembut.

"Cepat sembuh ya, Ra. Nanti biar Rafael sering ke sini untuk bantuin kamu sama Kirana."

"Nggak usah, Tante. Ara jadi ngerepotin Rafael sama Tante."

"Eh, nggak apa-apa. Tante dan Rafael nggak keberatan, iya 'kan, Sayang?" tanya Tante Ninis yang dibalas oleh senyum dan anggukan dari Arel.

"Ya udah, kami permisi dulu, ya."

Setelah betpamitan, Arel dan Tante Ninis diantar ke depan oleh Mama Ara. Meninggalkan Ara bersama Cindy dan Rere yang bingung dengan situasi yang ada.

"Wait! Ra, kok gue bingung ya? Kenapa ada Arel dan Mamanya?" tanya Cindy.

"Kenapa udah akrab banget?"

Ara meringis mendengar kebingungan kedua temannya.

"Jadi, sebenernya Mamaku sama Mama Arel itu udah lama temenan. Terus, Arel itu ternyata sahabat kecilku dulu."

"Hah?"

"Ya ampun! Ra? Beneran?"

"Iya, hehe."

"Jadi, ini yang kamu bilang ceritanya panjang tadi?"

"Iya, soalnya aku kepanjangan kalo cerita ke kalian. Tetapi, karena kalian akhirnya tahu juga, ya gitu."

"Tapi, Ra ... kamu bukannya nggak kenal Arel pas pertama masuk? Tadi kamu bilang dia sahabat kecil kamu?" tanya Rere bingung tapi antusias mendengar cerita Ara.

"Soalnya dia beda banget. Malah menurutku sama sekali beda sama Rafael dulu. Wajahnya, tubuhnya, samoe sikapnya beda. Aku juga nggak nyangka sih, tapi anak Tante Ninis ya emang dia."

"Hah? Emang sebeda apa sampe kamu nggak sadar dia sahabat kecilmu?"

"Dulu dia tambun dan nggak tinggi, penakut, pemalu, pokoknya gitu. Nah, kalian sekarang lihat sendiri Arel gimana. Tinggi, kurus, dan sikapnya beda banget kan? Aku aja masih nggak percaya."

Rere dan Cindy terkikik membayangkan penampilan kecil Arel. Memang tidak cocok.

"Tapi kalian jangan kasih tahu info ini ke yang lain ya? Takut Arel nggak nyaman."

"Oke, rahasia aman sama kita."

Mama Ara kembali hanya untuk menawari mereka menu makan siang, sebelum pergi keluar lagi untuk membelinya.

"Kok jadinya parah gini sih, Ra? Aku kaget tadi pas kamu tiba-tiba jatuh," ucap Rere yang menatap kaki Ara dengan ngeri.

"Pasti sakit banget ya, Ra? Nggak kuat bayangin ngilunya," timpal Cindy.

"Sakit banget! Rasanya aku beneran nggak kuat tadi pas di jalan sama Pak Juna dan Bu Rhain. Tapi sekarang udah nggak sesakit tadi."

"Bakalan lama dong sembuhnya?"

"Kata dokter sih, 2-3 mingguan. Tapi semoga aja cepat pulih, nggak enak banget rasanya masih murid baru tapi udah mau absen lama."

"Ya 'kan ini kecelakaan, Ra. Nggak apa-apa."

"Oh!"

Rere tiba-tiba berseru seolah mengingat sesuatu yang penting sambil menjentikkan jarinya. Membuat Ara dan Cindy menatapnya heran.

"Ada apa sih, Re? Bikin kaget aja!" sungut Cindy kesal, memukul lengan Rere pelan.

"Aku baru inget! Hal penting lain yang kelupaan karena informasi tentang Arel. Astaga!"

"Apaan?"

"Itu loh, Ra! Kok kamu bisa kenal sama Kak Bintang? Kok dia tiba-tiba panik dan langsung nolongin kamu sampai gendong kamu ke UKS?" Bombardir Rere penuh pertanyaan.

"Eh, iya. Aku juga mau nanya itu. Baru beberapa waktu lalu kamu nanyain Kak Bintang sama aku. Kok udah deket sih, Ra?" kali ini Cindy yang menatap Ara penasaran.

Ara hanya meringis kikuk. Dia sendiri tidak tahu kenapa ada Bintang tiba-toba di lapangan. Dia juga terkejut karena Bintang langsung menolongnya dengan panik tadi.

"Ra ... haloooo??"

"E-eh ..."

"Malah ngelamun, jelasin dulu!"

"Aku nggak deket sama Kak Bintang. Kebetulan aja beberapa kali ketemu dan kita kenalan. Udah, gitu aja."

"Tapi kok perhatian?"

"Bukannya Kak Bintang memang baik ke semua orang?"

"Iya sih, tapi tadi tuh beda! Kayak udah deket dan dia sekhawatir itu. Kamu liat mukanya tadi 'kan, Ndy?"

"Iya sih, tapi siapa yang nggak panik liat Ara kesakitan begitu. Aku aja panik."

"Ih, Cindy! Nggak gitu, beda ini tuh!"

"Udah, kalian berlebihan ih. Mungkin aja emang pribadi Kak Bintang sebaik itu," lerai Ara.

Dia tidak memungkiri, ada rasa asing yang menyenangkan dalam hatinya saat mengingat sosok Bintang tadi.

Benar.

Mereka baru bertemu beberapa kali dan belum mengenal dekat. Jika Bintang perhatian padanya seperti itu, bukankah bukan salah Ara jika dia merasa sedikit ge-er?

Baru saja mereka hendak berbincang lagi, suara ketukan di pintu menyita perhatian mereka.

"Siapa?"

"Dokter atau perawat, kayaknya. Mama nggak mungkin ketuk pintu dulu, 'kan?" ucap Ara.

Ketukan itu terdengar kembali.

"Aku bukain ya, Ra," tawar Cindy.

"Iya, terima kasih."

Cindy berjalan menuju pintu, namun mata sipitnya itu nyaris membola saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

"Selamat siang, apa benar ini ruang rawat Jenara Izumi?"

Bintang Khariz Harindra.

Berdiri dengan sebuah parcel buah di tangannya, tak lupa dengan senyuman manis yang tersungging di bibirnya.

"I-iya, benar."

"Kak Bintang?"

Ara menjawab dari dalam setelah melihat siapa yang datang. Sementara Cindy dan Rere hanya saling pandang dengan wajah penuh tanya?

Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka membicarakannya. Lalu sekarang, sosok Bintang ada di antara mereka.

"Hai, Ra. Aku dapat alamat rawat kamu dari Ibu Rhain. Maaf ya, tiba-tiba datang. Aku khawatir soalnya."

Khawatir?

Bintang si Ketua Osis ini khawatir pada Ara?

Masih penuh dengan tatapan bertanya, Cindy dan Rere keluar dengan alasan pergi ke toilet. Meninggalkan Ara dan Bintang di dalam sana.

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro