Bab 11. Siapa Saja Asal Jangan Dia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Sudah seminggu sejak Ara sakit. Sekarang, perban di kakinya sudah di lepas, namun Ara masih belum bisa berjalan dengan benar. Masih menggunakan kruk untuk membantunya berjalan. Dan juga bantuan Arel kadang-kadang.

Ngomong-ngomong soal Arel, sejak Ara dirawat di Rumah Sakit sampai Ara diperbolehkan pulang, hampir setiap hari Arel datang menemui Ara. Hanya saja saat di Rumah Sakit, Arel akan datang di malam hari saja.

Karena siang hari ada Bintang.

Ya, hampir setiap hari sepulang sekolah Bintang akan datang menemui Ara di Rumah Sakit. 

Ara sendiri heran dengan Kakak kelasnya itu, dia tidak tahu kenapa Bintang mendekatinya. Bukannya tidak senang, hanya merasa tidak percaya jika 'most wanted' nya SMA 17 dekat dengannya. Ara sendiri menyukai Bintang dengan kebaikan, perhatian, dan semua hal yang Bintang lakukan padanya. Cindy dan Rere pun yang sebenarnya sangat penasaran, menahan diri untuk tidak bergosip sampai Ara masuk sekolah lagi.

Siang itu, Ara sedang menonton televisi di ruang tengah dengan kaki selonjoran di atas sofa. Mamanya sedang pergi ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan yang habis. Suara ketukan pada pintu, mengalihkan perhatian Ara.

"Siapa ya? Bukan Mama kayaknya, duh gimana ini jalannya," gerutu Ara yang berusaha bangun dengan kruknya. "Iya sebentar!" jawabnya pada si tamu.

Baru tiga langkah, kini ponselnya yang berada di atas sofa berdering. Melihat nama Arel tertera di layar, Ara berbalik untuk meraih benda pintar itu.

"Arel?"

'Lo di rumah?'

"Iya, memangnya bisa kemana dengan kaki begini?"

'Ya siapa tahu ada benda galaxy dateng bawa lo pergi.'

"Apaan sih, selalu nggak jelas jawabnya."

'Tante Kirana ada di rumah?'

"Kamu tuh, mau nyari Mama atau aku, sih? Telepon sendiri ke Mama," jawab Ara bersungut sambil kembali melangkah pelan menuju ruang tamu. Ketukan di pintunya berhenti.

'Jawab aja, cepet.'

"Mama sedang pergi ke supermarket, aku di rumah sendirian. Kenapa?"

'Oke, gue masuk.'

"Hah?"

Tak lama terdengar bunyi pintu terbuka, membuat Ara was-was sampai sosok Arel terlihat, berjalan menghampirinya dengan satu tangan masih dengan ponsel di telinga sementara satu tangan membawa kantong kresek.

"Arel? Kamu ngapain?" tanya Ara yang tentu kaget dengan kemunculan Arel yang masih berseragam, sontak kepalanya menoleh menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 12.15 yang artinya masih belum waktunya jam pulang.

"Kamu bolos?" tanyanya menatap Arel yang kini meletakkan kantong yang di bawanya di atas meja lalu duduk menyamankan dirinya di sofa.

"Nggak."

"Kok udah pulang? Kata Rere sama Cindy masih ada tambahan tugas dari Pak Afkar?"

"Emang iya, sini duduk. Ngapain berdiri di situ?" Arel menepuk sisi sofa di sebelahnya dengan cengiran menyebalkan di bibirnya.

"Ya tadi, mau bukain pintu. Ternyata kamu yang dateng, kenapa nggak langsung masuk aja atau bilang langsung," sungut Ara kesal lalu berjalan tertatih, lalu duduk di sebelah Arel.

"Adabnya, kalau bertamu ketuk pintu dulu, Ra. Ntar gue nyelonong masuk dikira maling aja. Lagian tadi udah ngabarin lo lewat telepon, 'kan?" 

Ara hanya mendengus, bicara dengan Arel selalu berhasil menguras stok kesabarannya. Pembicaran mereka selalu berujung perdebatan meski hanya karena hal-hal kecil.

"Ini kamu beneran bolos? aku nanya ke Cindy sama Rere, loh."

"Kenapa sih lo suka banget kepo. Suka-suka gue mau bolos atau nggak."

"Arel, kok gitu? Nggak suka ish, kalau kamu sering bolos begini. Kemana perginya Rafaelku yang dulu, sih?"

"Rafael udah  beristirahat dengan tenang, perannya udah selesai."

"Ish! Arel mulutnya! nggak boleh ngomong begitu!" Ara memukul lengan Arel kesal karena omongan asal sahabatnya itu.

"Ya, lo tanya melulu. Yang ada di hadapan lo adalah gue yang sekarang. Jadi, ya lo harus nerima itu. Udah, itu gue bawain ayam asam manis. Lo belom makan siang, 'kan?" Arel beranjak ke dapur untuk mengambil minum, meninggalkan Ara yang masih menahan kesal.

Ara heran, Arel sering bolos kelas, tetapi dia selalu mendapat nilai yang tinggi. Dan yang lebih mengherankan adalah guru-guru yang tidak menegur kebiasaan buruknya itu.

Memang sih, beberapa waktu lalu saat Pak Adrian mengadakan evaluasi tiba-tiba, Arel bisa menyelesaikan semua soal dalam waktu 30 menit, dan jawaban Arel hampir benar semua. Cuma salah 1 nomor saja. Bahkan semua teman di kelasnya mengeluh sulit menyelesaikan.

"Cepet dimakan deh, nggak usah ngelamun," tegur Arel yang datang dengan dua gelas air putih.

Ara membuka kotak makan berisi menu ayam asam manis yang seketika mengundang cacing di perutnya untuk berbunyi. Dia lapar, karena Mamanya masih belum pulang berbelanja.

"Kamu nggak makan?" tanyanya saat menyadari hanya ada satu kotak makan di dalam kantong.

"Gue udah makan di sana tadi," jawab Arel yang kemudian sibuk dengan ponselnya.

"Ya udah, aku makan nih!"

"Iya."

Suara televisi menemani mereka berdua sementara keduanya sibuk sendiri-sendiri. Tak lama terdengar ketukan lagi di pintu depan.

"Biar gue yang buka, akhirnya dateng juga." Arel beranjak menuju ke ruang depan sebelum Ara menjawab.

Arel kembali membawa dua kantong di tangannya.

"Apaan?"

"Rujak manis sama martabak. Gue beli di Ofood tadi."

"Banyak banget belinya, buat siapa?"

"Buat gue lah, gue kepengen rujak manis yang pedes. Di luar panas banget," jawab Arel yamg mulai membuka kantong satu per satu.

"Martabaknya?"

"Buat gue juga lah, yang beli kan gue."

"Aku nggak di kasih? Mau martabaknya ...." Ara menatap martabak dengan tatapan ingin.

"Nggak."

"Arel, bagi dikiiiit aja ya? Sesuap deh, ya? Lama nggak makan martabak ...." Kali ini Ara menatap Arel dengan memelas.

"Jelek banget, lo. Abisin dulu makannya, nanti gue kasih."

"Nanti keburu kenyang."

"Abisin dulu, Ra."

Ara mencebik lalu melanjutkan kembali makannya. Melewatkan senyum kecil di bibir Arel saat menatapnya.

Lucu banget sih, Ra.
Dulu lo galak dan judes banget pas kecil.
Kemana Ara gue yang itu?

Sekarang, lo malah gemes.

Arel mengalihkan tatapannya kembali pada layar televisi sebelum dia ketahuan sedang menatap Ara dan senyum-senyum sendiri.

"Arel."

"Hm."

"Aku boleh tanya nggak?"

"Apaan?"

"Cowok tuh kalo suka sama cewek, apa yang akan dia lakukan?"

Arel menghentikan kunyahannya saat mendengar pertanyaan Ara. Dia tidak menoleh, masih menatap layar.

"Kenapa nanya?"

"Mau tahu aja. Dan ingin menganalisa sikap seseorang."

"Arel yang semula duduk bersandar, kini menegakkan tubuhnya."

"Ya, cowok kalau suka sama cewek pastinya lebih perhatian. Lebih peduli, dan pasti pengen terus berada di deket ceweknya."

"Oh, gitu ..." jawab Ara yang manggut-manggut mendengar penjelasan Arel.

"Kenapa lo nanya begituan?"

Tanpa sadar Ara tersenyum, ada bias merah muda merambati pipinya yang putih.

"Nggak, kok."

Arel menatap Ara tak percaya. "Jawab dulu."

"Kamu tahu Kak Bintang? Kayaknya dia suka sama aku deh, Rel. Dia perhatian dan sering datang ketemu aku, padahal kita kan baru kenal," jawab Ara malu-malu.

Arel menghentikan kegiatannya memakan rujak. Dia menatap Ara dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.

"Jangan dia."

"Hm?" Ara balas menatap Arel dengan bingung.

"Lo bisa naksir siapa aja, asal jangan dia, Ra."

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro