Bab 12. Terang-Terangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Sudah hampir pukul 3 sore, Ara sudah bosan duduk di ruang tengah. Bahkan dia sudah mengganti-ganti judul dari Netfilm yang dia tonton.

Mamanya sudah pulang, sekarang sibuk membuat pesanan lumpia di dapur.

Ara melirik ke sofa panjang di sebelah kanan, tempat Arel tertidur setelah kenyang menghabiskan martabak.

Sejak pembicaraan canggung tentang Bintang, mereka tidak banyak bicara lagi. Ara bingung dengan sikap Arel yang tiba-tiba melarangnya dekat dengan Bintang.

Saat ditanya alasannya, Arel tidak mau menjawab. Bahkan mengalihkan pembicaraan.

"Kamu kalau ngantuk, tidur di kamar sana. Arel biar di sini aja," ucap Mama Ara yang datang menengok.

"Ara tiduran di sini aja, Ma. Capek jalan naik ke kamar."

Ara mengambil posisi untuk berbaring di sisi sofa yang lain.

Mama Ara masuk ke kamar lalu kembali dengan dua selimut, satu untuk Ara satu lagi untuk Arel.

"Nanti sebelum maghrib, Mama bangunin."

Ara hanya mengangguk.

Pandangannya beralih pada Arel yang pulas seperti orang yang kelelahan. Ara kadang masih merasa canggung, namun keluarganya, juga Arel justru bersikap sangat biasa satu sama lain. Padahal baru beberapa bulan bertemu lagi.

Angin sore dari jendela, silir-silir membuat mata Ara terpejam. Seperti buaian yang menghanyutkannya ke alam mimpi.

***

Arel baru saja membuka mata saat dia sayup-sayup mendengar suara ketukan di pintu. Segera duduk dan menyadari dia masih di rumah Tante Kirana.

Apalagi Ara juga sedang tidur di sofa seberangnya. Arel bangkit, menoleh kesana kemari mencari Mama Ara.

"Tante? Tante Kirana?" panggilnya pelan, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Mama Ara.

Di dapur, di samping rumah, bahkan di taman belakang, Mama Ara tidak ada.

Bukannya tadi Tante Kirana udah pulang, ya?

Lagi, terdengar ketukan dari arah pintu depan. Arel pun berjalan kesana untuk membuka pintu.

"Iya, sebentar," jawabnya sambil membuka pintu.

"Selamat so— kamu?!"

Arel yang baru setengah sadar dari kantuknya itu mendongak melihat sosok Bintang di hadapannya. Rasa kantuknya seketika hilang.

"Ini rumah Ara, 'kan?" tanya Bintang bingung. Dia yakin ini alamat rumah yang benar. Dia mendapatkannya dari Cindy.

Arel tidak berniat menjawab, raut mukanya sudah berubah menjadi Arel yang menyebalkan di sekolah.

"Ngapain lo ke sini?"

"Kamu jawab dulu pertanyaanku. Ini rumah Ara, kan?"

Arel hanya mendengus sebagai jawaban dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Kamu ngapain di sini? Ara mana?"

"Ara sedang istirahat. Pulang sana."

"Nggak. Aku mau ketemu Ara dulu, bukan hak kamu menyuruh pergi. Lagian, kamu ngapain di sini?" Bintang memicingkan mata menatap curiga pada Arel yang masih berdiri di depan pintu.

Jujur, Bintang tidak mengerti kenapa ada Arel di sini. Apa dia dekat dengan Ara?

"Rafael?"

Arel menoleh ke arah suara yang ternyata adalah Tante Kirana dari pagar depan.

"Tante Kirana? Dari mana Tan, pantesan Rafael cari di dalam nggak ada." Arel menghampiri Mama Ara yang datang dengan dua keranjang belanjaan di tangannya.

"Iya, tadi Tante tinggal ke pasar. Ternyata ada belanjaan yang kurang, jadi Tante balik lagi. Eh, ini siapa? Temennya Rafael? Kok nggak diajak masuk?"

"Bukan, Tante. Dia—"

"Selamat sore, Tante. Nama saya Bintang, apa benar ini rumah Jenara?"

"Oh! Temennya Ara? Iya bener ini rumahnya Ara. Baru pertama ke sini, ya? Masuk aja yuk!" ajak Tante Kirana dengan senang, rupanya anaknya punya banyak teman meski baru sebentar pindah kemari.

Mama Ara tidak menyadari, dua pemuda di belakangnya yang saling melirik dengan tatapan sinis.
Arel yang membantu membawakan belanjaan Tante Kirana memilih untuk berjalan duluan.

"Ara belum bangun, ya?" tanya Tante Kirana pada Arel yang tentu membuat Bintang semakin mengernyit heran.

"Belum sih, Tan. Tadi masih tidur, Rafael bangunin deh," ucap Arel sambil melirik penuh kemenangan pada Bintang. Kemudian berlari lebih dulu memasuki rumah.

"Maaf, kalau kesannya tidak sopan, Tante. Ara dan Arel sedang dekat?" tanya Bintang hati-hati.

Tante Kirana tertawa mendengar pertanyaan Bintang, menatap pemuda berwajah tampan yang kebingungan itu.

"Kamu bukan teman sekelasnya Ara?"

"E-eh, bukan, Tante. Saya Kakak kelasnya Ara," jawab Bintang yang bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Mama Ara.

"Oh, bentar lagi lulus dong? Pantesan kamu nanya begitu, ternyata beda angkatan," Mama Ara tersenyum.

"Iya, Ara memang dekat dengan Rafael. Mereka sudah sahabatan sejak kecil, sebelum keluarga kami pindah ke Surabaya. Sekarang baru ketemu lagi, jadi kayak begitu, kangen-kangenan kayak bocah."

Bintang mengangguk lalu tersenyum menanggapi ucapan Mama Ara. Dia tentu saja kaget dengan informasi ini.

Kenapa dari semua orang, harus Arel yang menjadi sahabat Ara?

***

Akhirnya, Bintang dan Arel ikut makan malam bersama di rumah Ara atas paksaan Mama Ara.

Jangan tanya keadaan Ara yang jelas kaget dengan kehadiran Bintang di rumahnya. Tadi, saat Arel membangunkannya, dia terlihat sangat berantakan dengan rambut acak-acakan. Menyebalkan karena Arel tidak memberitahunya, alhasil Ara merasa malu saat menemui Bintang dengan penampilannya yang tidak seharusnya.

"Dimakan ya, jangan malu-malu. Maaf, Tante cuma masakin ini aja, soalnya nggak persiapan kalau banyak tamu."

"Nggak kok, ini udah cukup Tante, Terima kasih, karena saya diizinkan untuk ikut makan malam," ucap Bintang.

"Nggak apa-apa, kapan-kapan main lagi, ya. Nanti Tante masakin lagi," ucap Mama Ara yang disambut deheman Arel yang berakhir dengan tersedak sungguhan.

"Uhuk! Uhuk!"

Arel meraih gelas minum yang langsung di sodorkan oleh Ara yang duduk di sampingnya.

"Bisa nggak, kalau makan tuh pelan dan nggak usah banyak gaya? Tersedak 'kan jadinya?" omel Ara yang kemudian menepuk punggung Arel beberapa kali dengan pelan.

"Rafael, pelan aja makannya, Nak."

"Iya, Tante."

Setelahnya Mama Ara pergi ke dapur lebih dulu, meninggalkan tiga orang itu di ruang makan.

"Kapan masuk sekolah, Ra?" tanya Bintang lembut pada Ara.

"Maunya sih cepet masuk, Kak. Tapi kata Mama harus bener-bener sembuh dulu."

"Masih sakit kalau di pakai jalan?"

"Iya, dikit. Oh, Kak Bintang tahu alamat rumahku dari mana?"

"Oh, itu, dari Cindy. Aku tanya dia, soalnya kalau tanya kamu nanti takutnya ganggu."

"Takut ganggu tapi malah dateng. Gimana mikirnya coba?" gumam Arel sambil tetap memakan puding buatan Tante Kirana.

"Arel!"

"Apa? Bener, 'kan?"

"Kak Bintang jangan salah paham sama ucapan Arel, ya? Dia emang gitu, nyebelin kadang-kadang."

"Nggak kok, Ra. Aku paham kok, tadi Mama kamu udah cerita. Kalian ternyata sahabatan, ya?" ucap Bintang dengan senyuman manis pada Ara namun matanya jelas melirik pada Arel.

"Iya, Kak."

"Bagus deh, kirain kalian deket karena hal lain. Ternyata cuma sahabatan aja. Berarti masih ada kesempatan ya, Ra?"

"Eh, gimana, Kak?"

Arel berdehem dengan keras, membuat Bintang terdiam, menjeda perkataannya pada Ara. Namun, matanya jelas menatap Arel tajam.

"Kamu kenapa, sih? Minum lagi deeh biar nggak batuk-batuk," ucap Ara yang tidak peka pada Arel.

"Ambilin lah."

"Ambil sendiri, ish!" Ara mencebik pada Arel.

"Ra?"

"Eh, iya, Kak?"

Bintang tersenyum saat tatapannya beradu dengan Ara.

"Nanti kalau kamu udah masuk sekolah, aku antar-jemput, mau?"

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1322.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro