15. CTRL + F7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat masih kuliah, Jenna sering membayangkan menjadi seorang istri. Bukan karena Jenna ingin menikah muda, tetapi ia merasa kalau menjadi seorang istri akan lebih mudah dibanding menjadi mahasiswa tingkat akhir. Sayangnya, saat itu Jenna tidak punya pacar. Jadi, ia tidak bisa meminta dinikahi. Berbeda dengan Gia yang selalu punya pacar setiap saat, Jenna hanya pernah pacaran satu kali. Jangan ditanya dengan siapa, tentu dengan Saka --pria yang menghilang di hari pertunangan-- seorang. 

Jenna bertemu dengan Saka ketika ia memulai pekerjaan pertamanya. Kisah romansa yang sempurna ketika bertemu dengan senior super baik dan perhatian, ditambah lagi wajah tampan yang membuat Jenna salah tingkah setiap melihatnya. Namun, kini Jenna harus berakhir dengan pria aneh yang selalu jadi teman bertengkarnya ketika SMA. 

"Woy, lo nggak mau ganti baju?"

Jenna mendengkus. "Suka-suka gue mau ganti baju atau nggak. Lo urusin hidup lo sendiri aja!"

Kamar berukuran 4 x 4 meter itu terasa sumpek karena sejak tiba, pria yang masih mengenakan jas itu berkeliling mengamati kamar Jenna. Ia menyentuh hampir setiap benda yang ada di ruangan itu. Jenna hanya bisa pasrah melihatnya. Wanita itu masih mengenakan gaun dan duduk di atas ranjang ketika Yujin membuka jas dan kemejanya.

"Lo mau ngapain?" Jenna berseru heboh.

Yujin menyeringai. Ia malah menyibak rambutnya setelah berhasil membuka kemejanya. "Nggak lihat?"

Jenna menutup wajahnya dengan bantal. "Gila, ya, lo. Ada kamar mandi di sana, jangan ganti baju di situ!"

"Kayak nggak pernah lihat gue nggak pake baju aja." Yujin mendekat dan mengambil bantal yang menutupi wajah Jenna. Begitu melihat wajah Jenna, pria bermata sipit itu tersenyum dan berbisik. "Ngomong-ngomong, muka lo merah."  

Jenna melempar bantal lain yang ada di dekatnya. 

Dengan ajaib, Yujin berhasil menangkap bantal tersebut. Kemudian ia mengambil pakaian di koper dan masuk ke kamar mandi. Sebelum menutup pintu, pria itu masih saja menggoda Jenna. "Gue mandi dulu."

"Gue nggak peduli!" Jenna sudah kesal.

Yujin keluar dari kamar mandi setelah menyanyikan lima lagu. Saat mendengar nyanyian Yujin, Jenna semakin sadar kalau ia menikahi pria gila. Namun, ia hampir berubah pikiran ketika melihat pria itu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan aroma sabun yang menyeruak. Pria itu mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang, kelihatan jauh lebih kalem dari biasanya. 

Yujin masih menyeka rambutnya dengan handuk, ketika ia menyadari kalau Jenna memperhatikannya tanpa berkedip. Yujin tertawa. "Gue tahu kalau gue ganteng."

Jenna mengerjap. Ia tidak percaya pada apa yang sudah ia lakukan. "Idih, ganteng dari Hongkong."

"Ganteng dari Jepang kali." Pria berambut basah itu beralih ke alat pengering rambut yang ada di laci meja rias Jenna. Tanpa meminta izin, Yujin menggunakan alat itu seperti miliknya sendiri. 

"Bener-bener nggak ada sopan santun!" Jenna menatap sebal.

Seringai di wajah tampan itu kembali muncul. "Sama suami sendiri nggak boleh pelit."

"Nyebelin banget, sih, lo!"

Suara alat pengering rambut menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu hingga Yujin berbicara. "Mandi sana. Tadi Bunda bilang kita bakalan makan malam jam 7. Kalo lo nggak mau buat orang tua lo mikir yang aneh-aneh, mending lo mandi."

Jenna mengepalkan tangan dan melayangkan tinju ke udara. Mata besarnya menatap punggung pria yang berbicara tanpa melihatnya. 

***

Yujin menuju ke meja makan lebih dulu. Ia keluar dari kamar dengan senyum cerah. 

"Lho, Jennanya mana?" Bunda bertanya sambil membawa beberapa piring berisi makanan.

Yujin mengambil alih piring tersebut dan meletakkannya di atas meja. "Masih mandi, Bun." 

Setelah meletakkan piring, Yujin mengikuti Bunda ke dapur dan kembali membantu membawa makanan lain, pria itu tidak berhenti hingga semua makanan pindah ke meja makan. Bunda tersanjung karena menantunya membantu dengan sigap.

Jenna dan Ayah tiba hampir bersamaan. Ayah menatap Yujin tidak suka, apalagi ketika pria itu kelihatan nyaman tanpa rasa bersalah duduk di depan Ayah.

Yujin mengisi piring dengan nasi, lalu menyerahkannya pada Jenna. Wanita itu menerima piring dengan santai. Hal itu membuat Ayah berdeham. 

Sadar kalau peran Yujin dan Jenna tertukar, Bunda langsung menegur. "Jenna, harusnya kamu yang nyiapin makanan Yujin, bukan sebaliknya."

"Nggak apa-apa Bunda, sekali-sekali." Yujin berbicara ditutup dengan senyum.

Jenna ingin murka. Bisa-bisanya Yujin merebut hati Bunda dengan cepat. 

"Kalian jadi pindah rumah besok?" Bunda bertanya sambil menatap Yujin.

Jenna yang sedang minum, jadi tersedak karena kaget. 

"Jadi, Bun. Harusnya hari ini kami langsung pulang ke sana, tapi Mami nyaranin kalau aku harus menginap di sini dulu malam ini."

Jenna menandaskan minumnya. Kemudian bertanya dengan cepat. "Bentar, siapa yang mau pindah?"

"Kita." Yujin tersenyum hingga mata sipitnya melengkung mirip bulan sabit kembar.

"Bun." Jenna tidak mengerti maksud Yujin. Sepengetahuan Jenna, mereka sepakat untuk tinggal di rumah orang tua Jenna setelah menikah.

"Papi Yujin sudah siapkan rumah buat hadiah pernikahan kalian, lagipula pengantin baru harusnya tinggal sendiri. Biar kamu belajar mengurus suami." Bunda tersenyum. "Iya, kan, Yah?" Bunda bertanya sambil menyentuh lengan Ayah.

Ayah berdeham. "Ya, kalau kalian tinggal di sini, Yujin pasti nggak akan nyaman."

"Nggak apa-apa, Sayang. Nanti aku bakal bantuin kerjaan rumah." 

Jenna ingin memukul pria yang ada disampingnya. Bisa-bisanya Yujin tidak membicarakan hal sepenting ini padanya. Jenna tidak peduli pada pekerjaan rumah, ia hanya khawatir kalau terjebak berdua dengan Yujin bisa membuatnya gila. Jenna sengaja meminta untuk tinggal di rumahnya karena lebih nyaman untuknya, tetapi Yujin malah ingin pindah ke rumah baru.

"Tenang aja, Ayah sama Bunda pasti sering nengokin kalian." 

Jenna menghabiskan makanannya dengan buru-buru. Ia segera masuk ke kamarnya setelah menyelesaikan makan malam, berbeda dengan Yujin yang malah sibuk membantu Bunda mencuci piring di dapur. 

"Adek lo beneran sinting!" Jenna berseru pada layar ponsel yang ada di depannya.

Gia tertawa. "Kenapa?"

"Katanya besok kami bakal pindah ke rumah yang dikasih sama Papi lo!" Jenna berbicara dengan menggebu-gebu.

"Rumahnya bagus, kok. Dua hari lalu gue cek, renovasinya bener-bener buat rumah itu kelihatan modern."

"Wah, lo juga ikut-ikutan? Gue nggak nyangka kalau lo bakalan berkhianat dari gue, Gi. Masalahnya bukan tentang rumahnya bagus atau nggak. Gue nggak bisa bayangin harus kejebak berdua sama Jin Tomang. Berdua, Gi. Cuma berdua. Gue bisa gila kayaknya."

Bukannya menenangkan Jenna, Gia malah kembali tertawa. "Bukannya bagus kalau kalian tinggal terpisah dari orang tua? Kalian bisa jalanin hidup sendiri tanpa tuntutan apapun."

Jenna mengangguk. "Betul juga. Gue nggak perlu cosplay jadi istri baik."

Jenna berubah pikiran. Ia batal protes. Benar kata Gia, tinggal terpisah dari orang tua bisa membuat mereka menjalani hidup sendiri dengan aturan mereka sendiri. 

Aloha!

Cie, yang pengantin baru. 

Terima kasih sudah baca dan berkenan vote.

Mantunya Bunda

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro