14. SHIFT + F1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna bisa mendengar lantunan musik yang berasal dari balik pintu. Ia tengah berdiri di depan pintu besar. Tangannya menggandeng pria yang paling ia cintai. Ketika mereka bertukar tatap, otomatis senyum Jenna mengembang. Pintu besar itu terbuka sempurna. Wanita bermata besar itu bisa melihat karpet merah yang membentang hingga altar. Rangkaian bunga juga sudah tersusun rapi sepanjang jalan menuju altar. Lampu sorot mengarah kepada mereka, hal itu membuat Jenna semakin gugup.

"Siap, Sayang?" 

Jenna mengangguk. Wanita yang mengenakan gaun putih panjang itu berusaha mempertahankan senyumnya untuk puluhan tamu yang ada di gereja.  Kain tipis yang menutupi wajahnya tidak mengganggu sama sekali. Ia bisa melangkah dengan yakin karena Ayah ada di sampingnya. Jenna sempat menoleh ke kanan dan mendapati Gia yang tengah tersenyum padanya. Semua orang yang hadir di sana kelihatan bahagia, kecuali Jenna dan tentu saja mempelai pria yang tengah menunggunya di depan altar. 

Langkah Jenna pelan dan teratur. Ia menggenggam buket bunganya dengan erat. Wanita berambut terurai itu menikmati waktu terakhirnya melajang karena dalam hitungan menit, statusnya akan berubah. 

Ketika sampai di tengah jalan menuju altar, Jenna melihat Yujin yang sudah berdiri di depan altar sambil tersenyum padanya. Dalam hati, Jenna bertanya-tanya, apa senyum itu benar untuknya? Tanpa sadar, wanita bergaun putih itu menghentikan langkahnya. Ia merasa kalau semua ini tidak benar, tetapi Ayah mengeratkan gandengannya dan menuntun Jenna untuk kembali berjalan.

"Yujin, saya serahkan anak saya satu-satunya, Jennaya Aurora, kepadamu. Untuk menjadi istrimu." Ayah menggenggam tangan Jenna dengan erat, lalu menyatukan tangan Jenna dengan Yujin.

Yujin mengangguk. Senyumnya membuat Jenna merasa kalau waktu sudah berhenti. Pria di hadapannya ini terasa tidak nyata. Ia tahu, semua yang Yujin lakukan adalah kepalsuan.

Kini Yujin dan Jenna berdiri menghadap altar dengan lambang salib besar di belakangnya. Jenna merasa bersalah karena harus mengucapkan janji palsu di hadapan Tuhan. Namun, perhatiannya teralih ketika Yujin mengambil buket bunganya dan menyerahkan buket itu pada Gia yang ada di belakang.

Yujin menggenggam kedua tangan Jenna dan menyebutkan sumpahnya. "Saya Yujin Azkadinata, mengambil engkau Jennaya Aurora menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." 

Biasanya mempelai wanita akan terharu mendengar janji suci dari mempelai pria, tetapi Jenna malah ingin marah. Kebodohannya membuat mereka harus terjebak dalan situasi seperti ini. Wanita yang mengenakan gaun putih itu ingin mengumpat di wajah Yujin karena pria itu mampu melakoni perannya dengan baik, bahkan kini matanya berkaca-kaca. 

"Silakan, saudari Jenna." Pendeta yang ada di tengah mereka mempersilakan Jenna untuk mengucapkan janji suci. 

Jenna menghela napas sebelum mengatakan janji yang sudah ia hapal semalaman. "Saya Jennaya Aurora, memilih engkau Yujin Azkadinata menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."

Jenna cukup terkejut ketika menyadari kalau air matanya menetes setelah mengucapkan janji suci itu. Jenna berusaha meyakinkan dirinya sendiri, mungkin ia merasa bersalah karena telah membohongi banyak orang.

Pendeta menempatkan tangannya di atas tangan Jenna dan Yujin, kemudian menyebutkan satu ayat dari kitab suci. "Demikian mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

Kalimat terakhir dari ayat itu terus terngiang di kepala Jenna. 

Setelah berdoa, Yujin diminta untuk membuka tudung pengantin Jenna. Tangan Yujin yang gemetar ketika membuka tudung itu membuat Jenna tambah ingin mencibir.

Gia menyerahkan sekotak cincin berhias pita pada Yujin. Pria berjas itu memasangkan cincin tersebut ke jari manis Jenna, begitu juga sebaliknya. Setelah itu, ritual yang biasa dilakukan adalah kissing, tetapi Jenna langsung melangkah mundur ketika mendapat kode dari keluarga. 

Yujin sadar kalau Jenna merasa tidak nyaman, akhirnya ia hanya menggandeng tangan Jenna dan meminta fotografer untuk memotret mereka. 

Ibadah pemberkatan selesai setelah khotbah singkat dari pendeta. Acara dilanjutkan dengan lempar bunga. Yujin kelihatan lebih antusias dibanding Jenna. Pria itu meminta Gia untuk berdiri di belakang mereka. Awalnya Gia menolak, tetapi akhirnya ia turut berdiri untuk menangkap bunga. 

Jenna melemparkan bunganya dengan kekuatan penuh. Buket tersebut berhasil mendarat di pangkuan Joel yang tidak ikut berbaris di belakang pengantin. Pria jangkung itu mengangkat buket bunga layaknya piala kemenangan.

Joel menghampiri Gia dengan buket di tangan. Ia tersenyum seperti orang bodoh ketika Gia menatapnya iri. "Lo pengen banget dapet bunga ini?"

Gia mendengkus. "Enggak, tuh."

Joel tertawa. "Yakin? Ini, buat lo aja." 

Gia menatap Joel dengan tatapan menyelidik. "Kalau lo kasih bunga ini ke gue, nanti lo bakal nikah lama."

Joel kembali tertawa. "Dengan atau tanpa bunga ini, gue bakal nikah dalam waktu dekat."

Tangan Gia mengambang di udara. Jarinya belum sampai ke buket bunga yang ada di tangan Joel.

"Jangan kaget gitu. Gue bakal nikah akhir tahun ini. Tenang, lo pasti gue undang." Joel memindahkan buket bunga yang didapat ke tangan Gia.

Gia masih membeku di tempat. Ia tidak percaya pada kata-kata Joel. 

Acara pernikahan sederhana itu berlangsung hingga tengah hari. Tamu yang diundang hanya keluarga inti dan teman dekat. Jenna tidak mengundang rekan kantornya karena acara yang tiba-tiba. Setelah dari gereja, mereka makan siang di sebuah rumah makan yang memang sudah disiapkan. 

"Senyum, lo."

"Gue lagi ngunyah. Mana bisa senyum." Jenna melotot.

Yujin berdecak. "Makannya pelan-pelan. Malu tahu."

"Gue perlu makan banyak supaya bisa tahan deket-deket orang gila kayak lo!" Suara Jenna cukup keras sehingga menarik perhatian keluarganya.

"Jangan bercanda gitu, dong, Sayang." Yujin langsung mengamankan situasi dengan merangkul Jenna.

Jenna mendengkus dan mengambil paha ayam, lalu memakannya dengan barbar.

"Lo bisa nggak, nggak bikin gue malu?" Yujin berbicara pelan sambil tersenyum pada keluarga yang masih memperhatikan mereka.

"Nggak bisa! Emang gue malu-maluin. Puas?" Omelan Jenna berhenti karena Yujin membekap mulutnya.

Yujin tersenyum lebar sambil menggeleng. "Nggak apa-apa, kok, kami udah biasa gini."

Aloha!

Yuk, kondangan ke pernikahan Yujin sama Jenna.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Mempelai Pria

Mempelai wanita

Yang dapet buket bunga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro