17. CTRL + B

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara hair dryer. Ia mengucek mata, lalu mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Jenna baru sadar kalau ia terbangun di atas ranjang. Hal pertama yang ia lakukan setelah melihat Yujin duduk di meja rias adalah memastikan kalau baju yang ia kenakan masih berada di tempatnya.

Jenna mengembuskan napas lega ketika menyadari pakaian masih membalut tubuhnya dengan baik. Wanita berusia 27 tahun itu merasa terharu karena mengira kalau Yujin memindahkannya ke atas ranjang. Namun, ia buru-buru menggeleng dan menata pikirannya kembali. Kalau Yujin memindahkannya ke ranjang, berarti pria itu menyentuhnya dan mereka tidur di ranjang yang sama. Jenna hampir berteriak ketika tiba-tiba Yujin menoleh.

Morning, istriku. Gimana tidurnya, nyenyak?”

Jenna bergidik ngeri. Ia sampai harus menyentuh bulu kuduknya yang merinding. Kemudian, ia bertanya sambil cemberut. “Lo mindahin gue ke ranjang?”

Yujin tidak menjawab, ia malah mematikan hair dryer dan tersenyum.

“Kok, lo senyum-senyum? Berarti lo udah megang-megang gue!”

Yujin tertawa kecil. “Gue sama sekali nggak berminat buat mindahin lo dari sofa yang ada di ujung itu ke ranjang. For your information, lo pindah sendiri.”

Wajah Jena merona. Ia tertunduk malu. Kini ia merutuki dirinya sendiri karena sudah menuduh Yujin atas hal yang ia lakukan sendiri. “Bentar. Berarti semalam lo sama gue tidur seranjang?”

Yujin menyeringai. “Berhubung gue cowok bermartabat, gue nggak menyingkirkan bantal yang menjadi batas daerah teritorial kita. Lo nggak usah khawatir, gue nggak nyentuh lo sama sekali.”

Jena ingin percaya, tetapi senyuman di wajah Yujin yang tak kunjung hilang membuatnya menjadi curiga. “Gue nggak ngelakuin kesalahan apapun, kan, semalam?”

Tawa Yujin pecah. Ia sampai bertepuk tangan heboh.

“Heh! Jin Tomang, gue serius!”

“Muka lo lucu banget, sumpah.”

Jenna kesal karena bukannya menjawab, Yujin malah tertawa semakin kencang. Akhirnya, Jenna bangkit dari duduknya dan menghampiri Yujin untuk menarik rambut atau memukul kepala pria itu dengan keras, tetapi ia batal melakukannya karena terlalu kaget begitu melihat pantulan wajahnya di cermin.

Hidung dan pipi Jenna dihiasi oleh bulatan berwarna merah yang diduga berasal dari lipstik. Kedua alisnya menjadi sangat tebal, tetapi dengan ukuran yang berbeda. Jenna sudah tahu siapa pelaku yang membuat wajahnya seperti badut. Ia menarik napas panjang sebelum berteriak. “Yujin!”

Yujin sudah tahu kalau wanita itu akan meledak. Jadi, ia memang sengaja bangun lebih pagi untuk segera kabur dari sana, tetapi ia sengaja menunggu hingga wanita itu bangun untuk melihat ekspresi marahnya.

Jenna langsung berlari mengejar Yujin dan melempar pria itu dengan beberapa mekap yang wadahnya terbuat dari plastik. Meski sangat marah, wanita itu tetap tahu mana benda yang aman untuk ia lemparkan. Jenna tidak mau merusak barang berharganya hanya karena Yujin.

Yujin sudah sangat siap untuk menjadi pelari cepat. Begitu melihat Jenna berteriak, ia langsung berlari keluar dan segera menutup pintu kamar itu.

Jenna mengejar dan membuka pintu kamar. Ia batal berteriak dan melemparkan barang di tangannya karena melihat Bunda juga ada di depan pintu.

“Enggak apa-apa, Bun. Kita lagi bercandaan aja.”

Yujin mampu menutupi kesalahannya dengan sangat sempurna. Hal itu terbukti dari tawa Bunda. Kalau saja Jenna tidak ingat akan perjanjian yang sudah mereka buat, pastinya ia akan segera meminta cerai pada Yujin. Saat ini juga.

***

Jenna langsung menganga begitu ia turun dari mobil. Penampakan rumah yang ada di hadapannya kini, sangat jauh dari kata sederhana. Rumah tersebut terdiri dari dua lantai dengan cat berwarna putih dan abu-abu serta memiliki taman yang cukup luas di bagian depan.

“Papi lo nggak salah ngasih rumah, 'kan? Gila, ini rumah bisa dijadiin kos-kosan saking gedenya.” Jenna berbicara sambil mendongak.

“Jangan mangap terus! Awas mulut lo kemasukan lalat.” Yujin membuka bagasi mobil dan mengeluarkan kopernya dari sana.

“Tamannya aja gede banget. Rumah ini tiga kali lipat lebih gede dari rumah Ayah sama Bunda.” Jenna masih berseru takjub.

Yujin berdecak. “Sekarang lo bersyukur nikah sama gue? Gini-gini gue kaya.”

Jenna melangkah ke bagasi dan mengeluarkan kopernya sendiri. Jangan harap Yujin membantu membawakannya karena laki-laki itu sudah melenggang untuk membuka pintu.

“Idih, bangga, kok, sama harta orang tua. Usaha, dong, Bos.” Jenna berteriak pada pria yang berdiri di depan pintu. Kemudian, ia segera berlari menyusul.

Jenna berdiri di samping Yujin. Ia bisa melihat kalau pria berkaus hitam itu kelihatan tidak mau membuka pintu. Yujin malah berdiri mematung di sana. Akhirnya, Jenna mengambil alih kunci yang ada di tangan Yujin. "Lama banget lo, buka pintu doang. Sini gue aja."

Jenna membuka pintu dan segera menarik kopernya masuk. Ia kembali takjub karena furnitur yang mengisi rumah tersebut juga sangat modern. Perpaduan furnitur kayu dan ornamen berwarna cokelat dan krem mampu memanjakan matanya.

Suasana di dalam ruangan sejuk karena bagian ruang tamu memiliki langit-langit yang tinggi. Jenna masih mendongak melihat langit-langit ketika ia menyadari sesuatu, Yujin masih berdiri di luar rumah.

"Jin! Sini! Lo kenapa masi di sana, sih?" Jenna meninggalkan kopernya di ruang tamu dan bergerak menghampiri Yujin.

Mata pria itu terkunci pada foto keluarga yang menggantung di dekat pintu.

Jenna melihat foto itu dan melihat Yujin bergantian. "Itu yang punya rumah ini dulu? Ibunya mirip Mami, tapi Bapak itu nggak kelihatan mirip Papi. Bentar, itu yang anak kecil, kok, mirip lo."

Yujin menghela napas. "Itu emang gue."

Jenna mengangguk, tetapi ia kembali bertanya karena menyadari sesuatu. "Gia mana?" Jenna membungkam mulut dengan tangannya sendiri. "Lo sama Gia saudara tiri?"

Yujin menatap Jenna dingin. Tatapan yang sebelumnya tidak pernah Jenna lihat. Mata yang selalu cerah itu, kini seolah diselimuti awan gelap.

"Sorry. Gue nggak bermaksud. Gue nggak tahu."

Yujin menarik kopernya masuk dan meninggalkan Jenna yang masih terkejut. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh dengan tatapan sinis. "Nggak usah banyak ngomong kalau lo nggak tahu apa-apa."

Jenna benar-benar terkejut. Ia merasa berhadapan dengan orang yang berbeda. Sejak SMA, Jenna tidak pernah melihat sisi Yujin yang seperti ini. Wanita bermata besar itu menatap foto yang ada di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Saat ini, banyak pertanyaan yang ada di kepalanya.

Aloha!

Yujin kenapa, ya?

Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote.

"Jin Tomang kenapa, sih?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro