18. CTRL + D

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna tidak berani bergerak. Ia memilih duduk di sofa yang ada di ruang tamu dengan posisi tegak sempurna. Ia tahu kalau kata-katanya terdengar tidak sopan. Hal itu membuat Jenna merasa bersalah dan ia berusaha merenungi kesalahannya. Setelah dua jam, wanita itu menghubungi Gia.

Panggilan telepon itu belum terhubung ketika Jenna mendengar suara pintu terbuka. Ia langsung mematikan teleponnya dan bangkit berdiri. Matanya mengikuti gerakan Yujin yang menuruni tangga.

Jenna berdiri canggung. Ia bahkan menautkan tangannya dan terus menunduk.

"Lo nggak masuk kamar?" Yujin bertanya sambil mengusap tengkuknya.

Dalam hati, Jenna sudah bersupah serapah. Mana mungkin ia berani masuk ke kamar kalau Yujin membentaknya seperti sebelumnya. "Gue nunggu lo nunjukin kamar gue."

Yujin berdiri canggung. Matanya berusaha menghindari tatapan Jenna. "Padahal lo bisa pilih sendiri."

"Jangan tarik ucapan lo!" Jenna segera mengambil kopernya dan berjalan dengan semangat.

Yujin mengikuti langkah Jenna. Setelah beberapa langkah, ia mengambil alih koper Jenna yang kelihatan berat.

"Punya manner juga, lo. Ya, meski ini rumah udah dikasih ke kita, yang artinya separuh rumah ini punya gue, lo kira gue berani pilih kamar setelah lo bentak gue kayak tadi?" Jenna merepet tanpa tahu diri.

"Sorry, buat yang tadi." Yujin meletakkan koper Jenna begitu mereka tiba di lantai dua.

Setelah mendengar permintaan maaf dari Yujin, Jenna malah jadi sombong. "Coba lo kurang-kurangin, deh, sifat lo yang kayak tadi. Gue hampir nangis tahu nggak? Selama kita temenan, lo nggak pernah kayak gitu. Ya, emang kata-kata gue keterlaluan, tapi respons lo lebay banget."

"Di lantai ini ada empat kamar. Lo bebas pilih yang mana aja, asal jangan yang ini. Ini kamar gue soalnya."

"Wah, di bawah ada dua kamar di atas ada empat kamar. Kalau kita cuma tempati dua, empat lagi bisa disewain." Jenna berseru takjub.

Yujin tersenyum. Wanita di hadapannya ini memang aneh. Bisa-bisanya ia berpikir untuk membuka indekos di rumah mereka.

"Lo menyarankan kamar yang mana?" Jenna membuka pintu kamar pertama dan cukup takjub dengan luas kamar tersebut.

"Tadinya ini kamar utama, ukurannya paling luas, tapi gue menyarankan kamar yang di sana." Yujin menunjuk kamar yang berada tepat di seberang kamarnya. "Pemandangan di sana bagus. Lo pasti suka balkonnya."

Untuk sejenak, Jenna lupa kalau beberapa saat lalu, Yujin membentaknya. Wanita itu mengikuti langkah pria yang menyeret kopernya. Begitu tiba di kamar yang pintunya dibukakan oleh Yujin, Jenna langsung menghambur ke balkon. Ia menyibak gorden yang menutupi jendela dan pintu kaca. Sebelum membuka pintu, ia menoleh pada Yujin untuk meminta izin. Yujin mengangguk.

Jenna melangkah keluar. Matanya langsung dimanjakan dengan pepohonan dan kolam ikan yang berada tepat di bawah balkonnya. Kemudian ia berlarian ke arah belakang dan mendapati halaman luas yang dihiasi rumput serta beberapa pohon buah yang tumbuh berdampingan. Yujin keluar dari sisi kamar lainnya. Pintu itu langsung menghadap halaman belakang.

"Halaman belakangnya bisa buat pelihara maung, nih." Jenna berseru sambil sedikit berjingkrak karena senang. "Wah, gue mau kamar ini. Gue suka banget."

"Gue tahu, lo pasti suka. Cuma kamar ini yang punya balkon luas dan jendela kaca yang berbentuk L. Dulu, Gia juga suka banget di kamar ini."

Jenna berbalik, ia menatap Yujin yang kini tersenyum, tetapi mata pria itu sendu. "Dulu?"

Ada hening sejenak. Mereka bertukar tatap, tanpa bicara.

"Kalau lo nggak mau cerita, nggak apa-apa." Jenna berbalik. Kini perhatiannya teralih pada ayunan yang ada di halaman belakang. "Gue mau ke sana!"

Yujin menghela napas, tetapi akhirnya ia mengangguk.

Sepasang suami istri itu berakhir di atas ayunan kayu. Jenna menyipitkan mata dan mendapati kalau ada sebuah rumah pohon di sana. Ia memajukan tubuhnya dan menepuk lengan Yujin setelah memastikan kalau benar itu rumah pohon.

"Jangan bilang kalau itu rumah pohon yang sering lo sombongin dulu?" Jenna menatap Yujin dan rumah pohon itu bergantian.

Yujin kembali menghela napas. "Gue lagi nggak pengen sombong sama lo, kalo mau ke sana sendiri, silakan."

Jenna penasaran, tetapi ia juga takut pergi ke sana sendirian. "Nanti aja ke sananya, kalau lo udah pengen sombong."

Yujin tertawa. Namun, tawanya hanya sejenak. "Gue sama Gia sepupu, bukan saudara tiri."

Jenna langsung mengunci mulutnya dan menyiagakan telinga begitu Yujin mulai berbicara serius.

"Mami sama Mama gue, saudara kembar. Gue sama Gia cuma beda setahun. Makanya, selain jadi saudara, dia juga salah satu sahabat yang paling bisa gue andalkan."

"Jadi, rumah ini, rumah lo dulu?" Jenna bertanya hati-hati.

Pria bermata sipit itu mengangguk. "Gue udah minta tolong Gia buat ubah semua furnitur dan foto yang ada di rumah ini, tapi kayaknya ketinggalan satu. Tadi gue lihat foto pernikahan kita di lantai dekat pintu. Sorry, gue emang agak sensitif untuk masalah keluarga."

"Makasih, lo udah mau cerita." Wanita berambut panjang itu menatap Yujin dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Lo nggak mau tanya kelanjutannya? Biasanya lo kepo banget."

Senyum Jenna mengembang. Ia bergerak turun dari ayunan. "Lo pasti bakal cerita, kalau lo mau. Gue bakal selalu siap buat dengerin. Oh, iya, gue bakalan gereja sore. Lo mau ikut?"

Yujin tidak mengira kalau Jenna rajin ke gereja. Walau Mami rajin beribadah, ia dan Gia sangat jarang pergi ke gereja, bahkan Joel menyebut mereka Kristen napas alias umat yang hadir hanya untuk hari besar, seperti Natal dan Paskah.

"Kalo lo nggak mau ikut, gue mau pinjem mobil."

Yujin berpikir sejenak. Kemudian ia turun dari ayunan. "Gue ikut."

"Wow, gue nggak nyangka kalau lo udah bertobat."

Yujin hampir saja mengumpat. Untung ia ingat, kalau ia berniat pergi ke gereja untuk memohon pengampunan. Alangkah baiknya ia tidak menambah dosanya yang sudah kepalang banyak.

Setibanya di gereja, mereka berjalan beriringan dan menyapa penyambut jemaat yang membagikan acara ibadah.

"Selamat hari Minggu. Saya baru melihat Saudara dan Saudari, apakah pasangan baru?"

Jenna berniat segera menyangkal, tetapi Yujin sudah terlanjur mengangguk.

"Padahal gue berniat buat duduk pisah sama lo. Kenapa pakai ngaku pasangan, sih?" Jenna berbisik.

"Ini gereja, Jenna. Jangan bohong." Yujin menggandeng tangan Jenna.

Wajah Jenna memerah. Bukan karena malu, tetepi karena menahan emosi. Kalau saja mereka tidak ada di gereja, pasti Jenna sudah memukul kepala pria yang ada di sampingnya. Jenna merasa, jalur damai memang tidak cocok untuk mereka berdua. 

Aloha!

Jenna Yujin bisa damai juga, kok. Walau kudu pakai agenda ribut dulu. Adem banget ke gereja bareng.

Biasanya kalau tenang-tenang gini, badai bakalan datang nggak sih?

Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote.

"Gereja dulu, siapa tahu bisa mengusir roh jahat yang merasuki Yujin tadi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro